BAB 12

1521 Kata
Emilio meminta disiapkan makan malam. Nina bergegas memerintahkan pelayan di dapur untuk membantunya memasak. Kiara tetap di tempatnya, duduk di samping Orley dan bicara dengan Emilio soal kuliah. Awalnya Kiara tidak berani mengutarakan keinginannya tapi Emilio mendesak. “Hanya ide, Pak. Belum fix. Sayang kalau harus cuti, apalagi Mama sudah mulai sehat.” “Kampusmu di mana?” “Kampus Wijaya Kusuma.” “Oh, nggak jauh dari kantorku ternyata.” Kiara terbelalak. “Pak Emilio kantornya di mana?” “Deretan gedung samping kampusmu, kantorku di situ.” Emilio melepas jas dan dasi, memanggil pelayan agar barang-barangnya diantar ke kamar. Mencuci tangan dan kembali duduk di depan Orley. “Kapan kamu kuliah lagi?” “Sekitar satu bulan lagi, Pak.” “Seminggu berapa kali?” “Lima kali, kadang satu mata kuliah, kadang juga dua.” Emilio terdiam, memikirkan perkataan Kiara. Ia mengerti kalau gadis di depannya ingin mengejar cita-cita sekaligus menjaga anaknya. Sayangnya itu hal yang sulit dilakukan bila mengingat kalau usia Orley sedang masa pertumbuhan yang harusnya banyak teman. “Pak, saya hanya mengutarakan niat. Kalau nggak bisa, saya sangat mengerti. Maaf sebelumnya,” ucap Kiara dengan tidak enak hati, melihat Emilio yang serius dalam berpikir. “Nggak apa-apa, Kiara. Namanya juga kita lagi diskusi. Justru aku senang kalau ada apa-apa kamu ngomong sama aku, kita akan cari jalan keluar bersama.” “Terima kasih, Pak.” Saat Emilio makan, Kiara membawa Orley ke ruang tengah untuk menonton televisi. Ia sendiri berniat untuk makan di dapur tapi Emilio justru mengajaknya makan di meja yang sama. “Nggak, Pak. Saya makan sama yang lain di dapur.” “Duduk, ini perintah! Ayo, ambilkan aku nasi dan sup.” Kiara menatap Nina seolah ingin minta pendapat. Kepala rumah tangga itu tersenyum, mengangguk pada Kiara. “Duduk, Kiara. Kamu Iayani Pak Emilio makan.” Dengan sedikit enggan serta malu, Kiara duduk di depan Emilio. Mengambil piring dan menyendokan lauk pauk. Tidak lupa menuang sop daging ke dalam mangkuk kecil. “Mamamu udah pindahan hari ini?” “Sudah, Pak.” “Berarti kamu lebih tenang sekarang. Tinggal berdekatan dan nggak usah jauh-jauh.” “Bener, Pak. Selain itu juga aman dari labrakan.” Emilio mengernyit bingung. “Labrakan? Maksudnya?” Kiara menyeringai malu-malu. “Bebas dari orang-orang yang selama ini selalu menganggu Mama. Maksud saya begitu.” Menunduk di atas piring dan mulai mengunyah, Kiara memaki diri sendiri karena keceplosan bicara. Harusnya ia tidak mengatakan pada Emilio tentang mamanya yang sering dilabrak. Sampai sekarang di rumah ini termasuk Emilio, tidak ada yang tahu asal usulnya. Siapa papanya dan bagaimana kondisi keluarganya. Mereka hanya tahu kalau dirinya anak seorang janda. “Soal kuliah, mungkin kamu harus memikirkan kondisi Orley lebih dulu. Lihat apakah dia nyaman ke kampus bersamamu atau nggak. Kalau dalam Minggu ini ada kegiatan di kampus, kamu bawa dia.” Kiara terbelalak. “Boleh, Pak?” Emilio mengangguk. “Tentu saja, hanya ingin tahu reaksinya. Sekalian kamu cari di sekitar kampus ada sekolah TK yang bagus nggak? Bukankah menyenangkan kalau Orley sekolah dan kamu kuliah di waktu bersamaan?” Saran dan ide Emilio memang luar biasa bila dipikirkan secara matang. Tentu saja akan menyenangkan kalau bisa kuliah sambil menjaga Orley. Sayangnya ia belum berani melepas Orley sendiri untuk berbaur bersama anak-anak kecil lainnya. “Pak, apa boleh saya bawa Orley ke taman bermain? Untuk lihat-lihat apa Orley bisa bergaul bersama anak-anak yang lain? Maksud saya apa Orley nyaman kalau berada di dekat anak-anak seusianya.” Emilio mengangguk. “Kamu mau melihat reaksi Orley bukan?” “Iya, Pak.” “Kalau dia lulus tes di taman bermain, kamu mau mencarikan sekolah TK buat Orley?” “Benar sekali, begitu niat saya.” Emilio tersenyum, menatap Kiara lekat-lekat. Gadis itu sedang mengunyah dengan gembira, dan kali ini menyuap sop panas serta pedas dari mangkok. Emilio berniat menjahilinya. “Tahu nggak Kiara, ide serta rencanamu untuk Orley nggak seperti pengasuh. Tapi lebih mirip mama pada anaknya. Jangan-jangan kamu pingin jadi mamanya Orley?” Sekali lagi Kiara tersedak, kali ini jauh lebih hebat dari yang tadi siang. Bukan hanya pedas tapi juga panas. Matanya basah karena tenggorokan yang sakit. Sedangkan Emilio justru tertawa. Tenggorokan Kiara membaik setelah minum air hangat. Ia tidak menyangka kalau Emilio ternyata sama jahilnya dengan Tiffany. Selesai makan, Kiara berpamitan pada Orley untuk mandi. Anak kecil itu mengangguk, matanya tetap fokus ke layar kaca. Seorang pelayan muda duduk menungguinya. Emilio juga masuk kamar untuk berganti pakaian. Kiara memutuskan untuk keramas, setelah berganti dengan baju tidur menghampiri Orley yang ternyata tertidur di sofa. “Sayang, ayo, kita pindah ke kamar.” Kiara berniat mengangkatnya tapi Emilio melarang. “Biar aku saja, Kiara.” Emilio rupanya juga baru selesai mandi, dilihat dari wajahnya yang basah dan beraroma sabun. Mengangkat Orley perlahan dan membawa ke kamar. Kiara bergegas merapikan tempat tidur, menepuk-nepuk bantal dan membiarkan Emilio meletakkan Orley dengan lembut. “Apa dia masih sering mimpi buruk?” tanya Emilio sambil menegakkan tubuh. Kiara mengangguk. “Masih, Pak tapi nggak seintens minggu-minggu lalu. Bisa dikatakan sudah jauh lebih tenang. Kalau pun mimpi buruk juga nggak lama.” “Kamu selalu bangun tiap Orley mimpi?” “Iya, Pak. Biasanya selalu kedengeran, sih.” “Kok bisa? Berarti tidurmu nggak pulas?” Kiara tidak bisa menguraikan alasannya yang selalu terbangun tiap kali Orley bermimpi buruk. Mungkin karena terbawa dari pengalaman masa kecilnya, saat masih tinggal di rumah besar itu. Sering terbangun saat malam untuk mendengarkan orang tuanya bertengkar. Sang mama yang suaranya kecil serta lembut selalu kalah berdebat dengan papa yang suaranya menggelegar. Kalimat yang sama selalu diulang dan tidak pernah dilupakan oleh Kiara. “Aku nggak masalah kamu punya simpanan. Kalau memang Winda bisa membuatmu bahagia, aku bisa terima. Tapi, kenapa harus membawanya ke rumah ini? Biarkan dia tetap di luar!” “Winda bukan simpananku. Dia istri sahku!” Masalah yang sama, penyelesaian yang sama. Puncak cerita sang mama terkena fitnah dan terpaksa angkat kaki dari rumah itu. Tinggal berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain bersama Kiara. Perubahan gaya hidup dari semula tinggal di kamar besar dengan pendingin udara, menjadi tidur di kamar kecil dengan alas seadanya membuat Kiara jarang sekali bisa nyenyak. Hampir setiap malam terbangun dan melihat mamanya terisak. Kebiasaan itulah yang membuat kepekaaan Kiara meningkat saat tidur. Sekecil apa pun suara yang dikeluarkan Orley, ia akan terbangun dengan begitu saja. Emilio duduk di pinggiran ranjang, menatap Kiara yang melamun. Entah apa yang ada di pikiran Kiara, sepertinya banyak masalah yang menggumpal di kepalanya. “Kiara, kenapa diam?” Kiara tersenyum dengan sedikit gelagapan. “Eh, tadi tanya apa, Pak?” “Oh, tanya kamu mau nggak jadi istriku?” Kiara mengerang seketika. “Pak Emilio, jangan bercanda terus nanti saya baper.” “Loh, memangnya kenapa kalau baper. Baguslah.” “Nggak bagus, Pak. Saya nggak siap patah hati.” Emilio mengernyit bingung. “Aku aja belum nembak kamu. Kita belum jadian, kenapa kamu takut patah hati? Aneh banget kamu.” Kiara tanpa sadar tertawa, lucu melihat Emilio kebingungan. Laki-laki tampan dengan wajah lembab karena baru saja mandi, duduk sambil menahan bingung mendengar perkataannya. Kiara mendesah dalam hati, tidak menyangka akan duduk berhadapan dengan begitu dekat bersama Emilio yang luar biasa tampan. Diam-diam Kiara mengamati rahang yang tegas ditumbuhi bulu-bulu halus saat malam dan akan mulus kala hendak bekerja. Emilio adalah laki-laki yang tidak hanya rapi tapi juga wangi. Bahkan dalam kondisi berpakaian santai pun tetap wangi. “Melamun lagi, Kiara? Aku jadi heran kenapa kamu jadi sering melamun tiap kali kita mengobrol.” “Hehehe, tadi Pak Emilio tanya bagaimana bisa orang patah hati padahal belum berpacaran?” Emilio mengangguk. “Bener banget. Aneh 'kan?” “Nggak ada yang aneh, Pak. Apalagi kalau udah baper. Tiffany pernah chat intens dengan cowok di internet. Mereka main game yang sama terus jadi suami istri. Nggak pernah ketemu hanya main game dan chat intens. Lama kelamaan, si cowok menghilang. Alasan karena sibuk bekerja dan Tiffany patah hati. Padahal belum pernah bertatap muka, nggak pernah ada kata cinta tapi bapernya ke ulu hati.” “Masuk akal. Kebiasaan yang akhirnya terbawa perasaan. Kalau begitu, apa setiap kata-kataku masuk dalam hatimu dan membuatmu terbawa perasaan.” Kiara mengedip bingung. “Maksudnya, Pak?” Emilio meraih jemari Kiara dan menggenggamnya. “Bagus kalau kamu baper sama aku, Kiara. Teruskan, jangan malu-malu kalau mau baper. Aku siap menjadi obyek kebaperanmu.” “Ini gimana, sih jadinya. Kok aku yang bingung?” gumam Kiara tanpa menyadari kalau jemarinya berada dalam genggaman Emilio. “Udah aku bilang, cukup jalani aja. Nggak usah bingung gitu. Kalau kamu ngerasa baper itu menyenangkan, ya, teruskan Kiara.” “Tapi—” “Nggak usah tapi-tapi, mumpung baper sama aku nggak bayar ini.” “Pak, bukan gitu maksud saya.” “Tenang Kiara, aku mengerti maksudmu.” Kiara mendesah, dibuat frustrasi oleh Emilio. Ia mengerang tanpa sadar dan terdiam saat Emilio mengecup jemarinya. Tubuhnya membeku dengan mata melotot. “Selamat malam, Kiara. Tidur yang nyenyak.” Emilio keluar begitu saja setelah melakukan kecupan di jari Kiara. Tanpa menyadari kalau hati Kiara serasa diobrak-abrik karenannya. Satu kecupan singkat tapi akibatnya adalah Kiara tidak dapat memincingkan mata semalaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN