Prolog

686 Kata
Langkah kaki Viana menghentak keras jalanan basah yang dipenuhi ranting dan dedaunan gugur. Napasnya terengah-engah, dadanya naik-turun hebat. Di belakangnya, suara langkah berat terus membayangi, seolah bayangan maut mengejar tanpa henti. Rasa takut menguasai setiap pikirannya. Ia tidak tahu ke mana harus lari, hanya tahu bahwa ia harus menjauh dari villa itu. Dari pria bertopeng yang muncul entah dari mana. Dari suara tembakan yang menewaskan seseorang tepat di hadapannya. Dari semuanya. “Ini tidak nyata… ini tidak nyata!” gumamnya hampir menangis sambil terus berlari. Matanya sesekali menoleh ke belakang, mencari tanda-tanda sosok yang mengejarnya, namun bayangan pria bertopeng itu justru menghilang begitu saja. Bukannya lega, justru firasat buruk menggerogoti perutnya. Dan dalam napasnya yang memburu, pikirannya terus memutar ulang kejadian mengerikan yang baru saja ia saksikan. Semua bermula kurang dari satu jam yang lalu. Saat itu, Helena—ibu tirinya yang sejak awal tidak pernah memperlakukannya dengan baik—tiba-tiba bersikap berbeda. Ia tidak berteriak saat meminta Viana mengantarkan sebuah amplop kepada seseorang di sebuah vila di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, hati Viana dipenuhi kekhawatiran. Selama ini ia selalu memercayai bahwa firasatnya jarang meleset, namun kali ini ia tidak memiliki pilihan selain menuruti permintaan Helena. Sejak ayahnya jatuh bangkrut dan koma, Viana menjadi satu-satunya yang menopang kehidupan keluarganya dengan menjadi aktris kelas dua selama tiga tahun terakhir. Semua demi kelangsungan hidup dan pengobatan ayahnya. Villa itu terletak di kawasan cukup terpencil dan hanya satu-satunya bangunan yang berdiri di kawasan perbukitan. Helena berpesan padanya untuk langsung masuk saja ke dalam villa. Dengan napas yang berat, Viana mendorong pintu dan ternyata tidak terkunci. Interior villa itu mewah dengan lukisan-lukisan mahal dan dekorasi klasik memenuhi dinding. Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya keheningan yang mencekam. Viana bersuara pelan. “Halo... apakah ada orang di sini?” Di balik nada suaranya yang terdengar seperti cicitan, terselip harapan—bahwa mungkin, seseorang akan menjawab. Saat hendak berbalik, tiba-tiba suara langkah berat terdengar dari tangga. Viana menoleh cepat dan mendapati seorang pria tua muncul, mengenakan setelan formal yang tampak mahal tapi kusut. “Ah, jadi kamu yang datang?” ucap pria tua itu sambil tersenyum. Tapi senyumannya justru membuat bulu kuduk Viana meremang. Tatapannya bukan tatapan ramah. Tapi lebih mirip seperti hewan yang lapar. Pria tua itu mendekat perlahan. Senyumnya tidak berubah, malah semakin mengembang ke arah menyeramkan. Detik berikutnya, ia yakin bahwa ini adalah jebakan ibu tirinya sendiri. Viana mundur beberapa langkah, nalurinya berteriak agar segera pergi dari tempat itu. Pria itu semakin mendekat. Di tengah kepanikan, tangan Viana mencari-cari benda apa pun untuk melindungi diri. Dan saat ia yakin pria tua itu akan menerkamnya— DOR! Suara tembakan meletus, mengoyak keheningan dan membuat tubuh pria tua itu jatuh tersungkur tepat di depannya. Viana menjerit. Tubuhnya gemetar, matanya membelalak tak percaya. Lalu, dari arah jendela, muncul seorang pria bertopeng. Tubuhnya tinggi besar. Langkahnya mantap dan cepat mengarah pada Viana. Tanpa berpikir panjang, Viana berlari keluar dari villa. Ketakutan memberinya kekuatan untuk berlari sekencang mungkin. Viana masih berlari. “Aku harus keluar dari sini. Aku tidak boleh berhenti!” Vianna memaksakan tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga untuk terus berlari. Ia melihat gerbang depan tak jauh lagi. “Aku … aku harus menghubungi polisi.” Ia merogoh ponselnya dengan gemetar, dan mulai mengetik angka darurat. Namun sebelum sempat menekan tombol panggil, seberkas cahaya terang menyilaukan dari belakang. Vianna menoleh. Matanya melebar saat sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya. Dan— BRAKK!! Tubuh Viana terlempar keras ke tanah. Rasa sakit luar biasa langsung menjalari seluruh tubuhnya. Darah segar mengalir deras dari kepala Viana, membasahi tanah dan menggenang di bawah tubuhnya yang tak berdaya. Napas Viana tersengal-sengal dan semakin tak beraturan. Suara deru mesin mobil yang menjauh perlahan memudar di telinga Viana, bergabung dengan dengungan samar yang semakin memenuhi pikirannya. Viana merasa tercekik oleh rasa sakit yang tak tertahankan. ‘Apakah ini akhir hidupku?’ Namun, sebelum Viana sepenuhnya tenggelam dalam kegelapan, suara langkah-langkah berat terdengar mendekat. Ada sesuatu yang bergerak di dekatnya—lebih tepatnya seseorang. Dengan sisa-sisa kekuatan, Viana memaksakan matanya terbuka sedikit. Air mata bercampur darah membasahi pipinya. “Tolong aku …,” bisiknya lemah. Lalu semuanya gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN