Bab 1

1059 Kata
Satu minggu kemudian …. Viana membuka mata dengan berat. Pandangannya buram sesaat sebelum akhirnya ia menyadari bahwa dirinya terbaring di atas ranjang rumah sakit. “Syukurlah, kau sudah bangun ….” Suara bariton itu memecah kesunyian, membuat Viana refleks menoleh meskipun gerakannya begitu lemah. Seorang pria bertubuh tinggi berdiri di samping tempat tidur. Wajahnya begitu tampan dan tampak tenang, namun sorot matanya menunjukkan emosi yang sulit diterka. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku, membuatnya tampak begitu memesona. Viana mengernyit, mencoba mengenali pria di sampingnya. “Kau siapa?” tanyanya pelan. Pria itu tersenyum kecil. “Aku akan memanggil dokter,” ucapnya singkat. Sebelum Viana sempat berkata lebih jauh, pria itu sudah berbalik dan melangkah cepat keluar ruangan. Kurang dari satu menit, seorang dokter masuk diikuti dua perawat yang membawa peralatan medis. Mereka langsung menghampiri Viana, lalu mengecek kondisi tubuhnya dengan hati-hati. Sementara pria tadi, ia berdiri di pojok ruangan sambil menyaksikan dalam diam. “Keadaannya stabil,” ujar dokter sambil mencatat sesuatu di clipboard. Viana memandangi dokter tersebut dengan serius. “Aku… tidak bisa mengingat namaku,” katanya pelan. Dokter menghentikan tulisannya sejenak dan menatap Viana dengan ekspresi tenang. “Itu hal yang wajar, Nona. Anda mengalami trauma kepala yang cukup serius akibat kecelakaan. Kehilangan ingatan bisa saja sementara. Kami akan terus memantau kondisi Anda.” Viana mengangguk paham. Setelah memberikan beberapa instruksi pada perawat, dokter itu akhirnya meninggalkan ruangan. Setelah dokter dan perawat pergi, pria tadi kembali mendekati Viana. Ia duduk di kursi di samping tempat tidur, tatapannya begitu lembut saat memandang Viana kali ini. “Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Viana masih dengan nada lemah. “Siapa kau?” Pria itu menarik napas panjang, seolah-olah bersiap untuk mengatakan sesuatu yang penting. “Namaku Evander Collins, tapi kau biasa memanggilku Evan. Dan aku adalah tunanganmu.” Mata Viana tampak membesar, sedikit terkejut dengan jawaban pria tersebut. “Tunangan?” katanya sambil mencoba mengingat, tetapi sekeras apa pun Viana mencoba, kepalanya terasa seperti kertas kosong. “Kenapa aku tidak mengingat soal itu?” Evan meraih tangan Viana dan menggenggamnya dengan hangat. “Seperti yang dikatakan dokter, kau kehilangan ingatan akibat kecelakaan itu. Wajar jika kau bahkan tak bisa mengingat namamu sendiri, apalagi mengingatku. Tapi kau tak perlu khawatir, Viana. Aku ada di sini untukmu.” Viana terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. “Viana? Jadi namaku adalah Viana?” Evan mengangguk. “Ya. Viviana Seraphine Aldaire.” “Kalau begitu, bisakah kau menceritakan tentang aku… dan tentang kita?” ujar Viana. Evan tersenyum tipis. “Tentu saja,” sahutnya. Evan pun mulai menceritakan kisah tentang hubungan mereka yang penuh cinta. Evan menggambarkan Viana sebagai wanita yang ia cintai sejak lama, dengan segala detail yang tampak masuk akal. Sementara Viana, wanita itu mendengarkan dengan hati-hati, sorot matanya dipenuhi keraguan sekaligus rasa penasaran. “Jadi, kita benar-benar bertunangan?” gumam Viana. Evan mengangguk. “Ya. Kita bahkan sudah merencanakan pernikahan sebelum kecelakaan itu terjadi.” Viana menatap Evan dengan mata penuh keraguan. “Tapi, aku benar-benar tidak bisa mengingat apa pun soal semuanya. Tentang kau, pertunangan kita, dan pernikahan.” “Kau hanya perlu waktu. Percayalah padaku, semuanya akan kembali seperti semula.” Evan berkata dengan nada lembut, lalu tersenyum hangat pada Viana. Viana kembali terdiam, merenungkan semua informasi yang baru saja Evan sampaikan panjang lebar. Namun, semakin ia mencoba memahami, semakin kuat rasa asing menyelimuti diri wanita itu. Evan—pria yang mengaku sebagai tunangannya—terasa seperti sosok yang jauh, seperti bayangan buram di tengah kabut. Semua kata-katanya terdengar masuk akal, tetapi hati Viana tetap terasa kosong dan tak bisa menerima. ‘Apakah kehilangan ingatan juga berarti kehilangan perasaan?’ pikir Viana dalam hati. Viana menatap tangan Evan yang menggenggam lembut jemarinya. Sentuhan itu terasa hangat, dan seharusnya mampu menghadirkan rasa nyaman, namun yang Viana rasakan hanyalah perasaan canggung. Seolah pria di sampingnya ini adalah orang asing yang mencoba menyelinap masuk ke ruang pribadinya. Viana berusaha keras untuk mengingat, mencari secercah kenangan yang mungkin tersembunyi di sudut pikirannya, tetapi hanya kehampaan yang ia temukan. “Viana? Sayang…?” Suara Evan memecah lamunan Viana. Mata pria itu menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Apa ada yang salah? Kau terlihat tidak nyaman.” Viana meneguk saliva dengan sedikit payah. “Tidak, aku hanya merasa lelah,” jawabnya singkat. Evan mengangguk. “Kalau begitu, beristirahatlah. Aku akan menemanimu di sini.” Viana tersenyum tipis sebelum memejamkan mata. Bukan karena ia benar-benar mengantuk, tetapi untuk menghindari percakapan lebih lanjut dengan Evan. Dalam diam, Viana berharap bisa menemukan setitik cahaya terang dalam ingatannya, sesuatu yang bisa menjelaskan siapa dirinya dan apakah semua yang dikatakan Evan adalah kebenaran. Namun, harapan itu pupus dan usahanya sia-sia. Pikiran Viana tetap kosong seperti halaman putih tanpa jejak tulisan. Tidak ada kenangan, tidak ada emosi, hanya kehampaan yang membingungkan. ‘Rasanya sungguh menjengkelkan. Mengapa aku tak bisa mengingat apa pun?’ gumam Viana dalam hati. Waktu terus berjalan dan langit yang tadinya cerah mulai beranjak gelap. Lampu-lampu di kamar rumah sakit serentak menyala, menerangi ruangan yang begitu sunyi. Evan masih berada di sisinya. Tanpa lelah, ia melakukan berbagai hal kecil untuk menunjukkan perhatian. Semua yang ia lakukan tampak alami, seperti benar-benar seorang tunangan yang peduli. Namun bagi Viana, perhatian itu terasa seperti beban. Ia tidak tahu apakah ia seharusnya merasa nyaman, berterima kasih, atau justru curiga seperti yang ia rasakan sepanjang hari ini. “Sekarang waktunya makan malam. Aku akan menyuapimu,” ucap Evan sambil mendorong meja makan pasien ke samping ranjang Viana. Evan menarik kursi, lalu duduk di dekat Viana. “Aku bisa makan sendiri,” kata Viana pelan, mencoba menolak dengan sopan. Evan hanya tersenyum. “Aku sudah membiarkanmu makan sendiri tadi siang, dan kau benar-benar kesulitan melakukannya dengan satu tangan. Sekarang biarkan aku membantu, oke?” ucapnya, kemudian mengambil sendok dan perlahan mengarahkan makanan ke mulut Viana. Viana ragu sejenak sebelum akhirnya menerima suapan dari Evan. Situasi ini benar-benar terasa aneh sekaligus asing bagi Viana. Meski ia sudah bersama Evan cukup lama hari ini, tetap saja wanita itu merasakan sesuatu mengganjal di hatinya. “Rasanya enak, ‘kan?” tanya Evan sambil tersenyum. “Uhm… ya, enak,” jawab Viana singkat, meski sebenarnya ia tidak benar-benar memperhatikan rasa makanan tersebut. Saat Evan kembali menyuapinya, Viana memandangi pria itu dengan tatapan dalam. ‘Pria ini tampak begitu sempurna, tapi kenapa hatiku sama sekali tidak mengenalinya? Apakah benar aku pernah mencintainya seperti yang ia katakan?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN