Bab 2

1070 Kata
Hari-hari berlalu dan Viana mulai terbiasa dengan rutinitasnya di rumah sakit. Namun, keberadaan Evan yang nyaris selalu di sisinya menimbulkan perasaan yang sulit ia jelaskan. Meski pria itu bersikap perhatian dan lembut, Viana masih tidak bisa sepenuhnya menerima kedekatan Evan—Viana tidak bisa menghilangkan rasa asing yang terus menghantui hatinya. Pagi ini, Viana terbangun dan mendapati kamarnya sunyi. Tidak ada Evan di ruangan itu bersamanya. Dan anehnya, Viana justu merasa bisa bernapas lega tanpa pengawasan pria itu. Namun, rasa lega itu hanya berlangsung sesaat. Pintu kamar terbuka dan Evan tiba-tiba muncul dengan senyum manis menghiasi wajah tampannya. Di tangannya, ada buket mawar putih segar sementara tangan lainnya membawa paper bag berisi makanan. “Selamat pagi,” sapa Evan penuh kehangatan sambil menghampiri Viana. “Aku membawakan mawar putih untukmu. Ini adalah bunga kesukaanmu,” katanya, kemudian meletakkan bunga tersebut ke dalam vas di samping tempat tidur Viana. Viana menatap mawar-mawar itu tanpa ekspresi. “Terima kasih,” katanya berusaha terdengar tulus. Ia tidak tahu apakah Evan berkata benar atau hanya untuk menyenangkan hatinya. Evan menarik kursi ke sisi tempat tidur Viana, lalu mengeluarkan isi paper bag-nya. “Aku juga membawakan croissant isi cokelat kesukaanmu. Biasanya kau memakan ini dengan kopi susu.” Viana memandangi Evan dengan pandangan tak terbaca. Sikap pria itu sempurna—bahkan terlalu sempurna. Setiap tidakannya seperti dirancang untuk membuat Viana merasa diperhatikan, tapi hal itu justru membuatnya semakin gelisah. “Uhm, aku tidak yakin aku benar-benar menyukai semua itu,” gumam Viana. Evan tersenyum tipis. “Itu wajar. Kau kehilangan ingatan. Tapi percayalah, semua ini adalah bagian dari dirimu. Kau hanya perlu waktu untuk mengingatnya kembali,” sahutnya sambil menyodorkan croissant pada Viana. Viana mengambil croissant tersebut dengan ragu, lalu menggigitnya sedikit. Rasanya memang enak, tapi tidak menimbulkan perasaan akrab. Ia menelannya dengan perlahan, kemudian meletakkan croissant itu kembali ke piring. “Ada apa?” tanya Evan. Viana menggeleng pelan. “Aku hanya merasa aneh. Seperti semua hal ini … bukan bagian dari diriku. Kau yakin kita benar-benar dekat sebelumnya?” katanya sambil menatap Evan dengan bingung. Pertanyaan itu membuat Evan terdiam sejenak. Ada keraguan singkat yang melintas di matanya, tapi ia dengan cepat menepisnya. Dengan gerakan tenang, Evan mengeluarkan ponselnya dari saku dan membuka galeri. “Lihatlah,” ujar Evan dengan suara lembut sambil menyodorkan layar ponselnya ke arah Viana. “Ini foto-foto kita.” Viana mengambil ponsel itu dengan ragu. Di layar, terlihat sebuah foto yang menunjukkan mereka berdua sedang berdiri di tepi pantai saat matahari terbenam. Evan tersenyum tipis sambil merangkul bahu Viana, sementara Viana di foto itu tampak begitu ceria dengan rambut yang sedikit tertiup angin. Viana memandangi foto itu dengan alis sedikit berkerut. Ia tidak ingat tempat itu, momen itu, atau perasaan hangat yang terlihat jelas dalam gambar. Tangannya bergerak menggulir ke foto berikutnya. Mereka berdua sedang duduk di sebuah kafe. Di foto itu, Viana tersenyum sambil memegang secangkir kopi, sementara Evan tampak menatapnya dengan lembut. Foto demi foto terus bergulir—foto mereka di taman, di sebuah pesta dengan gaun dan jas yang mewah, bahkan foto candid Viana saat ia terlihat sedang tertawa lepas. Semua foto itu menggambarkan kedekatan mereka yang terasa nyata. Namun bagi Viana, lagi-lagi semua terasa seperti potongan kehidupan orang lain. “Lihat betapa bahagianya kau di foto ini,” ucap Evan dengan suara pelan. “Ini adalah kenangan kita.” Viana menatap layar itu lebih lama, berusaha merasakan sesuatu—apa pun—yang bisa menghubungkannya dengan gambaran kebahagiaan itu. Tapi yang ia rasakan hanyalah kehampaan. Dia mengembalikan ponsel itu dengan hati-hati, lalu menatap Evan dengan sorot mata penuh ragu. “Mungkin aku memang terlihat bahagia,” ucap Viana lirih. “Tapi aku benar-benar tidak bisa merasakannya sekarang. Jujur saja… aku bahkan tidak yakin apakah kau benar-benar tunanganku.” Senyum di wajah Evan perlahan memudar, tapi ia dengan cepat kembali memasangnya. “Kau hanya butuh waktu, Viana,” ujarnya mencoba menenangkan. “Aku akan membantu sampai kau mengingat semuanya.” Viana menggeleng pelan. Matanya yang biasanya berkilau kini seolah kehilangan sinarnya, hanya menyisakan sorot keraguan yang membekas. Bibirnya terbuka sedikit, seperti ingin bicara, namun tak ada satu kata pun yang sanggup keluar. “Aku tahu ini tidak mudah,” ujar Evan lembut. “Banyak orang bilang kehilangan ingatan rasanya seperti harus belajar hidup dari awal lagi.” Viana mendesah pelan. “Dengan semua bukti yang kau tunjukkan, aku tetap merasa semua yang kau katakan masih sulit untuk kupercaya,” gumamnya ragu sambil mengedikkan bahu. “Entahlah… mungkin kau benar. Aku hanya perlu waktu.” Viana berhenti bicara, lalu menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Sesuatu di dalam dirinya menahan, namun ada dorongan yang lebih kuat untuk bertanya. Akhirnya dengan suara yang hampir bergetar, ia berkata, “Aku ingin tahu tentang orang tuaku. Mengapa sejak kemarin mereka tidak muncul menjengukku?” Pertanyaan itu membuat udara di ruangan seakan membeku. Evan terdiam sejenak, pandangannya tajam dan penuh pertimbangan. “Sebenarnya …,” jawab pria itu. Tapi kemudian ia berhenti, seolah menimbang-nimbang apakah ia benar-benar harus melanjutkan. “Tapi ada hal yang harus kau siapkan sebelum aku mengatakannya. Jika kau ingin tahu kebenarannya, kau harus siap menghadapi konsekuensinya.” Viana mengernyit bingung. “Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?” Evan menatap Viana dalam-dalam. “Ayahmu sedang terbaring di rumah sakit, dia koma,” katanya dengan suara berat. Viana menahan napas, perasaan tak menentu menggulung di hatinya. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Evan melanjutkan, “Sementara ibumu ....” Ia menggantung kalimatnya lagi, membiarkan suasana semakin tegang. Viana meneguk saliva dengan susah payah, suaranya bergetar saat bertanya, “Bagaimana dengan ibuku?” Evan menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, “Ibumu sudah meninggal.” Hening sejenak. Udara di sekeliling terasa lebih berat. Sementara Viana seperti sedang dibelenggu oleh sesuatu, wanita itu membeku. Evan melanjutkan dengan nada pelan namun tegas, “Selama ini, kau hidup bersama ibu tirimu. Dan hubungan kalian sama sekali tidak bagus. Dia memperlakukanmu seperti boneka yang tidak memiliki perasaan serta pikiran.” Mata Viana sedikit melebar. Informasi itu seperti tamparan dingin yang mengantam batinnya. Ia menatap Evan tanpa suara. Matanya mulai memanas, tapi air matanya tetap tertahan di balik kelopak yang bergetar. Evan melihatnya dengan tatapan hati-hati, lalu menambahkan pelan, “Kau pernah bilang, sebelum kau bertemu denganku... hari-harimu selalu berat.” Viana tidak menjawab. Tenggorokannya terasa tercekat. “Kau bilang, di mata ibumu, kau selalu salah dan tak dihargai.” Suara Evan merendah. “Dan saat itu… kau menyebut hidupmu seperti di neraka.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN