Bab 3

1205 Kata
Mata Viana bergetar halus. “Seperti di neraka?” gumamnya serak. Evan menatapnya dengan sorot mata yang seolah menembus dinding pertahanannya. “Ya, seperti di neraka,” ulangnya. “Dan sekarang kau harus tahu… neraka itu belum sepenuhnya berlalu.” Perasaan tak nyaman semakin menjalari sekujur tubuh Viana. “Apa maksudmu? Apa lagi yang kau tahu, Evan?!” Evan tak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas pelan. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Viana.” Kening Viana mengernyit. “Tapi—” “Aku hanya ingin melindungimu.” Evan tersenyum. “Sejak kau bertunangan denganku, segalanya berubah. Hidupmu tak lagi seperti dulu. Setidaknya, itulah yang selalu kau katakan padaku.” Viana memandang Evan dengan sorot mata tak percaya. Di dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan bersliweran seperti badai tak berujung. Namun sebelum ia sempat menyuarakan satu kata pun, Evan kembali berbicara. “Percayalah,” bisik Evan sambil menatap Viana lekat-lekat. “Ada alasan kenapa beberapa kenangan lebih baik dibiarkan terkubur.” Beberapa detik hening berlalu sebelum Evan berdiri perlahan. Ia menunduk sedikit, menatap Viana dari atas bahu. “Kau butuh udara segar,” ucapnya pelan. “Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar? Sinar matahari pagi ini sangat bagus.” Viana memandang pria itu dengan ragu. Tawaran itu terasa seperti upaya mengalihkan perhatian, dan ia tahu Evan sedang menyembunyikan sesuatu. Namun rasa lelah yang menjalar di tubuh dan pikirannya membuatnya menyerah untuk sementara waktu. “Baiklah,” gumam Viana. *** Evan mendorong kursi roda Viana menyusuri taman rumah sakit. Viana menunduk, memperhatikan bayangan dedaunan yang menari di kakinya. Beberapa langkah kemudian, suara Viana akhirnya memecah udara. “Aku masih tidak mengerti,” kata Viana dengan suara pelan. “Kenapa kau tidak mau menjelaskan semuanya padaku? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa kau terlihat seperti ... kau menyimpan sesuatu dariku?” Evan menahan langkahnya. “Ada hal-hal yang jika kau mengetahuinya, hanya akan membuat segalanya lebih buruk,” katanya. “Aku ingin kau bahagia, Viana. Itu saja.” Viana merasakan emosi bercampur aduk membanjiri dirinya. “Tapi aku janji, jika waktunya tiba, kau akan tahu segalanya. Dan saat itu ... aku hanya berharap kau bisa memaafkanku.” Viana mengernyit bingung, tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara gemerisik dari semak-semak di dekat mereka menarik perhatian mereka berdua. “Apa itu?” tanya Viana dengan nada waspada. Evan menegang, wajahnya berubah serius. Ia melangkah maju hingga berdiri di depan Viana. “Tetap di sini,” bisiknya dengan nada tegas namun rendah. Langkah Evan mantap saat ia mendekati semak-semak itu. Begitu mencapai sumber suara, ia melihat seseorang berjongkok di sana. Keningnya langsung berkerut. “Apa yang kau lakukan di sini?” Orang itu adalah Alex, asisten Evan sendiri. Pria itu langsung berdiri dengan wajah yang tampak gugup. Kedua tangannya memegang seekor anak kucing kecil berbulu putih yang menggemaskan. “Saya melihat anak kucing ini, Sir,” katanya gugup sambil mengangkat anak kucing itu. Evan menghela napas panjang sementara tatapannya tetap serius. “Itu tidak menjelaskan kenapa kau ada di sini, Alex. Aku bertanya kenapa kau di sini?” Alex melirik sekilas ke arah Viana yang berada tak jauh dari mereka, lalu kembali menatap Evan. “Saya kemari untuk—” “Cukup.” Evan memotong cepat. Ia melirik Viana, lalu kembali ke Alex. “Tunggu di sini. Aku akan mengantar Viana kembali ke kamarnya, lalu aku akan menemuimu.” Alex mengangguk patuh, langkahnya mundur sedikit. Evan berbalik dan berjalan menghampiri Viana. “Kita kembali ke kamar,” katanya singkat. Viana mengerutkan kening, rasa ingin tahunya semakin memuncak. “Ada apa sebenarnya? Mengapa kita tiba-tiba harus kembali? Dan siapa pria itu?” cecarnya. “Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan,” jawab Evan. “Dia adalah sekretarisku dan dia kemari untuk melaporkan sesuatu.” Viana ingin membantah, tapi suara tegas Evan membuatnya ragu. Dengan berat hati, ia pun menurut saja saat pria itu mendorong kursi rodanya kembali ke kamar. Saat mereka mencapai kamar rawat inap Viana, Evan membuka pintu dan merebahkan Viana ke atas ranjang. “Beristirahatlah,” kata Evan pelan. “Aku akan segera kembali.” “Tapi Evan, aku—” “Tidak sekarang, Viana,” potong pria itu. “Aku akan kembali secepatnya padamu.” Viana hanya bisa menatap Evan dengan tatapan penuh keraguan saat pria itu menutup pintu di belakangnya. Ia mendengar langkah-langkah kaki Evan yang semakin menjauh, meninggalkannya sendirian di dalam kamar. Di luar, Evan berjalan cepat kembali ke taman tempat Alex menunggu. Namun, ekspresinya berubah serius dari sebelumnya. “Aku harap kau punya alasan yang cukup bagus untuk muncul di sini,” ujar Evan dengan nada dingin saat ia berdiri tepat di belakang Alex. Alex tersentak, lalu berbalik sambil menelan ludah. Meski sudah bertahun-tahun bekerja dengan Evan, aura dingin dan dominan pria itu masih membuatnya merasa gugup. “Maaf, Sir. Tapi ini sangat penting. Ini tentang Nyonya Helena, ibu tiri Nona Viana.” Mendengar nama itu, sorot mata Evan menggelap. Ia melangkah mendekat dan berhenti tepat di depan asistennya. “Ada apa dengan wanita itu?” Alex melirik sekeliling sebelum merendahkan suaranya. “Dia menolak bekerja sama. Katanya Anda harus menawarkan lebih ... jika ingin dia tutup mulut.” Evan menyeringai tipis, lalu menatap Alex tajam. “Padahal kau bisa melaporkannya padaku melalui telepon. Tidak perlu datang ke sini dan membuat Viana curiga.” Alex mengangguk kecil, terlihat sedikit terintimidasi. “Selain hal tadi, saya juga ingin memberikan ini pada Anda.” Ia menyerahkan sebuah amplop besar pada Evan. Amplop itu tampak lusuh, seperti sudah disimpan lama di tempat yang tidak terlalu terawat. Evan menerima amplop itu tanpa ekspresi, tetapi tatapannya menjadi lebih serius. “Apa ini?” “Dokumen penting, Sir. Sesuatu yang saya pikir akan membantu Anda terkait Nyonya Helena.” Evan membuka amplop itu sedikit, cukup untuk melihat sebagian isi di dalamnya. Ekspresinya yang semula datar perlahan berubah menjadi tajam, lalu ia segera menutup amplop itu kembali dengan tenang. “Bagus,” gumamnya pelan. “Kau sudah melakukan hal yang benar dengan membawanya langsung padaku.” Alex tampak lega, tetapi ketegangan masih menyelimuti atmosfer di antara mereka. Evan mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Alex. “Sekarang dengarkan aku. Kau tidak akan membahas ini dengan siapa pun, mengerti? Bahkan tidak dengan bayanganmu sendiri.” Alex mengangguk cepat. “Ya, Sir. Saya mengerti.” Evan melirik arlojinya, lalu melangkah mundur. “Kembali ke tempatmu. Dan pastikan Helena tidak mencoba melakukan sesuatu yang bodoh.” Alex mengangguk dan siap membuka langkah, tetapi kemudian ia merasa ragu. Tubuhnya tetap diam di tempat, seolah ada beban berat yang membuatnya enggan pergi. “Apa ada hal lain yang ingin kau katakan?” tanya Evan saat melihat hal itu. Alex kembali meneguk ludah dengan sedikit payah. Ekspresinya menunjukkan dilema. “Maaf, Sir. Tapi soal Nona Viana … apakah Anda yakin ingin melakukannya?” Pernyataan itu membuat rahang Evan langsung mengeras. “Ini bukan urusanmu, Alex,” jawabnya dengan nada tajam. “Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan. Jangan lebih, jangan kurang.” Alex tersentak, lalu menundukkan kepala. “Dimengerti, Sir,” sahutnya, lalu segera pergi tanpa menoleh lagi, langkahnya terburu-buru meninggalkan taman. Evan berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa tegang. “Soal Viana ... tidak ada jalan lain,” gumamnya pada dirinya sendiri. Kata-katanya seolah-olah mencoba meyakinkan hatinya yang mungkin juga ragu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN