PART 12 - BABY SITTER DADAKAN.

2336 Kata
Seingat Jihan, sejak ia bekerja di perusahaan ini, ia tak pernah melihat atasannya ini turun gunung untuk makan siang ke kantin. Untuk seorang Juan Ivander Collins, biasa makan siang mungkin di hotel atau rumah makan elite. Jangan kata sekelas big bosnya, setara manager saja, tidak akan mau makan di kantin, yang biasa penuh oleh staff kantor yang hanya berstatus karyawan biasa seperti Jihan dan teman-temannya. Jadi, sangatlah aneh jika mata Jihan menatap kehadiran big bosnya kali ini. "Aku senang ketemu Tante lagi di sini. Aku ingin makan siang bareng Tante Jihan." Mauren langsung mengambil tempat duduk tepat di samping Jihan. Jihan hanya tersenyum menyembunyikan kecanggungan hatinya saat ini. Apalagi melihat Mauren tampak nyaman dengan berada di dekatnya. Padahal kan banyak kursi kosong. Jihan meringis sambil membatin. "Tante sudah pesan makanan?" Mata Mauren menatap keseluruhan tempat ini. "Oh sudah, teman Tante yang pesan makanan dan sedang antri di sana." Jihan menunjuk ke arah Lani. Kenapa sekarang ia jadi sering bertemu dengan atasannya ya? Bukan apa, sepanjang dia bekerja pun mereka hampir tidak pernah bertegur sapa, kecuali hari ini. Selama ini, Jihan hanya mendengar selentingan kabar dari Lani dan Diah yang biasa bergosip. Jihan sendiri, bukan tipe wanita yang suka bergosip. Ia gak mau mencari masalah di kantor ini. Apapun tentang atasannya dan seputar percintaannya yang konon sering gonta-ganti pasangan, tak pernah Jihan pedulikan. Intinya Jihan menjauhi masalah dimana pun ia berada. Ia hanya ingin bekerja dengan nyaman dan memiliki uang yang cukup supaya bisa membeli sebuah rumah dan hidup mandiri, lepas dari bayang-bayang Om dan Tantenya. Tapi hari ini, ia tidak mungkin bisa dibilang mendapatkan undian berhadiah atau mungkin kejatuhan durian runtuh, hanya karena bertemu Pak Ivan sebanyak tiga kali! Bayangkan, tiga kali! Padahal, baru empat jam waktunya di kantor ini! Pertemuan mereka bahkan melebihi standar minum obat yang wajib diminum tiga kali sehari dengan jarak delapan jam. Itupun kalau dia demam! Seolah jantungnya kini bekerja lebih giat lagi ketika mendengar permintaan gadis kecil bernama Mauren ini. "Uncle kemari! Makannya bareng Tante Jihan saja ya! Uncle pasti belum kenalan kan?" Spontan Jihan menoleh ke arah Ivan yang sepertinya kesulitan menenangkan keponakannya yang satu lagi. "El! Te!" David berteriak sambil menunjuk ke arah Jihan. Tampaknya yang ingin dekat dengan Jihan bukan hanya Mauren. Ivan sungguh mengumpat dalam hati. Ia sendiri tak jauh berbeda dengan Jihan. Kenapa serba kebetulan sekali sih? Lagi-lagi dari sekian banyak karyawannya di sini, kenapa Mauren memilih mejanya Jihan? Oh jelas! Mauren mengenali Jihan. Ya tapi kan, Ivan jadi bingung sendiri sekarang. "Makanannya di sini enak-enak kan Tante?" Mauren kembali bertanya di saat Jihan seperti patung. Jihan tengah membayangkan ia akan makan bersama atasannya. Astaga! Apa aku harus membatalkan makan siang aku kali ini? Tapi aku lapar sekali, dan Lani sudah terlanjur pesan makanan. "David juga senang kok ketemu Tante." Jihan menoleh ke arah Ivan dan melihat bagaimana lelaki yang berstatus atasannya itu tampak kewalahan. David sudah ingin turun, tapi Ivan masih menggendongnya. Terlihat merepotkan, atau memang bosnya ini gak bisa gendong anak? Oh jelas, dia masih single! Jangan lupakan tragedy hilangnya sang keponakan di Mall kemarin. Dalam kerepotannya menenangkan David, Ivan mendekat meja Jihan. Membuat Jihan semakin bingung. Beneran nih makan siang bareng? Situasi yang terjadi kali ini, bukan hanya membuat tanda tanya di benak Jihan, Ivan pun sama. Hingga lelaki itu pun tak menyangka ketika tungkai kakinya begitu mudah melangkah mendekati meja Jihan. Bukan karena ingin mendekati Jihan. Demi Tuhan beberapa pasang mata menatap ke arahnya. Jangan kata mereka, Ivan pun bingung. Lebih bingung lagi ketika dengan tak sadar, bibirnya berucap. "Kamu bisa bantu saya?" Kali ini Jihan yakin, pertanyaan itu memang ditujukan untuknya. Jelas, masa iya Ivan bertanya pada Muaren. Apalagi bentuk bantuannya itu pasti berkaitan dengan bocah kecil yang tampak riang dan semakin memberontak ketika melihat Jihan. Jihan mengerjap. Maksudnya? Jihan masih berusaha mencerna. "Kamu pegang David." Begitu saja, seperti seorang suami yang menyerahkan anaknya pada sang istri. Ivan memberikan David yang langsung merentangkan tangan ke arah Jihan. Ivan tak perlu susah payah bertanya apakah Jihan keberatan atau tidak. Karena Ivan yakin, keinginannya tidak akan ditolak. Ya iyalah! Dia kan atasannya di sini. Lihat saja, David kini sudah tampak nyaman dipangkuan Jihan yang masih menunjukkan raut wajah bingung. "Te!" teriak David riang. Walau tangannya memeluk David, tapi mata Jihan masih ke arah Ivan. "Ini-" "Saya mau pesan makanan dulu." Lalu tanpa banyak bicara lagi, Ivan beranjak pergi. Meninggalkan Jihan dan kedua keponakannya. David yang berada di pelukan Jihan, tampak bahagia. Mata bundar itu menatap Jihan sambil menepuk pipi Jihan dengan ceria. "Te!" sapanya riang. "Hay David. Kita ketemu lagi," ringis Jihan dengan bahu lemas. Jihan tersenyum sesaat, sambil menatap ngeri ke arah Ivan yang berjalan menuju konter makanan. Maksudnya aku suruh jaga keponakannya gitu? Terus jangan bilang mereka makan bersamaku? Astaga! Mimpi apa aku semalam. "Uncle pasti senang berkenalan dengan Tante Jihan." Ucapan Mauren berbanding terbalik dengan kenyataan yang Jihan rasakan. Senang? Jihan meringis dalam hati. Awalnya Ivan tak ada niat makan di kantin. Tapi daripada ia keluar bersama dua bocah dan terjadi lagi tragedy seperti kemarin, tampaknya kantin di kantornya pilihan yang sangat tepat sekali. Dan ketika matanya menangkap Jihan, kembali satu pemikiran terlintas di benaknya! Gadis itu bisa membantunya menangani David. Apalagi kedua anak Suci tampak nyaman bersama Jihan. Bagus bukan? Lani masih menunggu antrian sambil berdendang ketika mendengar titah di belakang tubuhnya. "Saya minta nasi dengan sayur dan ayam suir asem manis, untuk keponakan saya, dua porsi. Dan tidak usah pedas. Satu porsi lagi boleh pedas buat saya." Tubuh Lani menegang. Sepertinya ia mengenal suara itu. Masa iya sih? Lani tak percaya. Barangkali telinganya bermasalah. Meyakinkan jika pendengarannya tidak salah, Lani menoleh secara perlahan-lahan dan ia terbelalak ketika melihat di sampingnya sudah berdiri sosok yang selama ini ia kagumi, Pak Ivan. Hah! Serius Pak Ivan makan di kantin? Mungkin memang hal yang aneh, atau mungkin Lani harus salto ketika lagi-lagi ia berdekatan dengan Ivan. Aroma parfum atasannya kini lebih terendus hidungnya dari pada yang tadi pagi. ya iyalah, mereka kan deketan sekarang! Ivan yang merasa ditatap, menoleh spontan ke arah Lani. Mungkin Ivan terganggu karena wajah Lani menatapnya bak melihat hantu di siang hari. "Kenapa? Ada yang salah dengan saya?" Lani mengerjap. "Ah gak! Gak kok!" Kembali menoleh ke arah kasir. Gadis itu merutuk dalam hati. Kok bisa aku bengong sih! Dan kok bisa bosku makan di sini! Aish Lani! Inikan kantornya, bebas dong! "Ini pesanannya mbak." Pelayan kantin memberikan pesanan Lani. Lani tersenyum melihat pesanannya di nampan. Menu makan siangnya dan Jihan. Wah aku bisa gosip nih bareng Jihan. Pak Ivan makan di kantin.Batinnya. "Saya permisi duluan ya pak," pamit Lani sambil memberi tempat pada bosnya itu. "Hmmm." Ivan hanya bergumam. Lani berbalik dan melangkah ke meja Jihan. Hufff! Lani menghela napas. Pak Ivan itu ganteng banget, wangi lagi! Berdiri dekatan saja sudah membuat jantung berdebar. Tinggal beberapa langkah lagi sampai meja, Lani sontak berhenti. "Lho kok!" Mata Lani membola melihat ke arah Jihan. Lalu gadis itu menoleh lagi ke arah Ivan. Terlihat, lelaki itu sudah menerima nampan pesanannya dan berjalan ke arah meja yang sama, bahkan mendahului posisinya berdiri. Seolah Ivan sama sekali tidak terganggu oleh sikap Lani yang kembali menatapnya aneh. Mata Lani kali ini membola. Ia melihat Jihan duduk dengan keponakan atasannya dan Lani sampai menahan napas ketika bosnya meletakkan nampan di meja dia dan Jihan. "Aduh Jihan, emang ini hari apa sih? Perasaan meja banyak, kenapa pilih semeja sama pak Ivan? Yakin bisa makan satu meja sama Pak Ivan?" Lani menggerutu dalam hati. Inginnya sih ganti meja, tapi gimana dengan Jihan? Gimana mau gosip? Masa gosip depan orangnya sih! Memang sih dia mau disapa Pak Ivan, tapi kan gak gini-gini juga. Apa karena ucapan terima kasih, jadinya Jihan kini akrab dengan atasan mereka? Bisa jadi sih! Jadilah mau tak mau, Lani melanjutkan langkahnya ke arah Jihan. Sepertinya Lani menyesal ikutan makan siang bareng Jihan kali ini. Jantungnya jadi ikutan berdebar hebat. "Han, ini pesanan kamu." Lani kembali mengangguk pada Ivan, ketika meletakkan nampan di meja Jihan. Ivan hanya memandang sekilas. Lani mencoba melirik Jihan, bertanya lewat isyarat mata. Tapi tampaknya gagal. Temannya itu masih sibuk menenangkan David, yang tak sabar ingin makan. Padahal sudah dalam posisi dipangku, tapi tampaknya bocah kecil itu gak puas dan ingin makan sendiri. "Kamu makan duluan deh Lan. Aku bantuin Pak Ivan suapi David." Ucapan Jihan begitu santai. Membuat Lani berpikir hubungan Jihan dan Pak Ivan sudah seperti teman. Teman? Perasaan tadi pagi mereka gak gini deh! Ivan sih tidak menyuruh Jihan membantunya, tapi ketika ia meletakkan nampan berisi makan siang David dan Mauren, sontak David langsung menunjuk dengan tidak sabaran. "Mau." Melihat Ivan yang tampaknya akan kesulitan menenangkan David, Jihan menjadi gak tega. Jadilah ia meraih piring David dan mulai menyuapi anak bungsu Suci yang tampak tak sabar untuk segera makan, sementara Ivan sesekali makan sambil menyuapi Mauren. Lani menatap keduanya bergantian. Serius! Kok mereka kayak pasangan suami istri yang lagi sibuk sama anak-anaknya ya. "Kamu gak makan?" tanya Ivan pada Lani. Yang langsung membuat Lani tersentak. "Oh i-ya Pak." Lani langsung menyuap makanannya. Jihan menggeleng. Lani kenapa sih? Memang Pak Ivan mau terkam apa? Sampai pucat begitu mukanya? Jihan lupa, tadi pagi ia juga seperti itu! Kali ini ia lebih bisa menguasai hatinya, karena sibuk dengan David. Akhirnya David selesai juga disuapi Jihan. Anak itu menolak ketika Jihan akan kembali menyuapinya. "Mungkin dia sudah kenyang," ucap Ivan sambil tersenyum pada David. Pada David ya, nyatanya Lani dan Jihan ikutan tersenyum juga. Senyum Pak Ivan bikin aku meleleh. Coba senyumnya buat aku. Batin Lani. "Terima kasih sudah membantu. Biar David sama saya sekarang." Jihan sampai melirik ke arah Ivan ketika mendengar ucapan terima kasih dari lelaki di sampingnya ini. Ivan meraih David yang sudah selesai menyelesaikan makannya. "Kamu sudah bisa makan." Jihan hanya mengangguk dan memulai makan. Sementara Lani, sejak tadi makan teramat perlahan. Bagaimana tidak, ia sama sekali grogi untuk makan. Pasalnya baru kali ini ia makan satu meja dengan big bos mereka. Bukan dalam arti kata makan yang seratus persen hanya menatap isi piring, tapi mata Ivan sesekali menatap bergantian ke arahnya dan Jihan. Jihan sendiri, apakah dia grogi? Sepertinya tidak! Gadis itu bahkan makan dengan sesekali menjawab pertanyaan Mauren. Keponakan atasan mereka. "Tante Jihan kok kerjanya gak sama Uncle Ivan sih?" Jihan mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Mauren. "Ini kan sama, satu gedung." Jihan menjawab asal. Tapi benar kan? "Maksud aku ruangannya kenapa gak dekat dengan Uncle?" "Oh itu." Jihan menelan makanannya sambil menatap ke arah Ivan yang saat ini tengah menatapnya juga. "Tante beda lantai karena beda pekerjaan dan jenisnya." "Oh gitu." Mauren mengangguk. "Apakah menurut Tante, Uncle aku ini bos yang baik? Atau bos yang galak?" Uhukk! Jihan tersedak. Bergegas, Jihan menghabiskan minumannya. Ia tersedak karena kaget mendengar pertanyaan polos dari Muaren. Ya kali nanya di depan orangnya. Jihan mengangkat wajahnya, dan lagi-lagi Ivan juga menatapnya. Tapi kali ini tatapannya begitu tajam. Seolah memberi isyarat jika ia tidak boleh salah menjawab. Lalu Jihan menoleh ke arah Lani, bermaksud meminta perndapat, tapi Lani pura-pura menikmati sekali makannya. Waduh, jawab apa dong! Masa aku harus bilang unclenya nyebelin! Yang ada aku dipecat, repot! "Mauren kamu sudah belum makannya?" tanya Ivan menyelamatkan Jihan dari pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. "Sudah Uncle. Terus beli eskrimnya dimana Uncle?" Ivan menoleh ke arah Jihan lagi. "Kamu sudah selesai makan?" Matanya melirik ke piring Jihan yang memang sudah habis. "I-iya pak." "Temani saya ke super market depan." "Mak-maksudnya?" Jihan tidak mengerti. Ivan bangkit dari duduknya. "Itulah kenapa saya mengharuskan karyawan saya minimal sarjana." Apa? Jihan bergegas bangkit. "Baik, saya akan ikut bapak ke super market depan." Lani melongo. Hah! Serius? Mereka mau pergi bareng? Ke supermarket? Aduh, Jihan bikin gosip baru aja sih! "Kalau begitu kamu gendong David. Pastikan dia tidak hilang," pesan Ivan. Jihan berdecak kesal. Gak salah? "Sepertinya yang menghilangkan David bukan saya. Masa bapak lupa?" "Ck, kamu menyindir saya?" tanya Ivan tak suka. "Ah gak. Bukan begitu." Jihan menggigit bibirnya. Perasaan aku kan gak salah bicara ya? Kalau dia tersindir ya, bukan salah aku dong. Lani menatap dengan meringis ketika Jihan menggendong David. "Saya tunggu di lobby." Ivan langsung melangkah pergi. Menatap atasannya yang pergi, kesempatan Lain untuk bertanya pada Jihan. "Han, kamu beneran mau ikut Pak Ivan?" Melirik temannya sebentar, sebelum Jihan melihat mulut David yang belepotan makanan. Ia meraih tisue di atas meja, dan mengusap sudut bibir David. "Aku kan karyawan yang harus ikut apa titah bos. Memang bisa menolak? Gak kan?" Benar sih, tapi kan sebatas kerjaan kantor, masa jaga anak gini sih? Ini sih lebih mirip baby sitter dong. "Ya tapi gak anter dia beliin es krim juga kali Han? Emang ini bocah gak bawa suster apa?" Lani jelas heran. Jihan memutar malas bola matanya. "Ya mana aku tahu? Ya kali aku tanya, Bapak gak kuat bayar suster ya, sampai suapi keponakan sendiri? Atau perlu aku tanya, bapak kok mau-mauan sih jaga keponakan di saat kerja. Mau kerja apa ngasuh?" "Saya dengar lho Han." Jihan mematung. Jantungnya nyaris copot. Ia gantian meringis. Mati aku! Berbalik setelah sebelumnya meneguk ludah, demi menemukan tatapan Ivan yang menghunus tajam. "Ba-bapak kok balik lagi sih?" Jihan menggigit bibirnya. "Kunci mobil saya ketinggalan." Ya Tuhan! Jihan melihat lelaki itu meraih kunci yang tergeletak di atas meja. Seakan hendak mengejek, Ivan menggoyang kunci itu di depan wajah Jihan. "Cepat ke lobby kalau kamu gak mau saya pecat," titah Ivan yang langsung beranjak dari hadapan Jihan dan Lani. "Laniii." Jihan ingin sekali menjambak rambut temannya ini. "Sorry Han, aku gak lihat Pak Ivan balik lagi." Jihan menggeram dalam hati. Jadilah ia menurut apa kata bosnya ini. Sambil menggendong David yang anteng dalam dekapannya, Jihan beranjak ke arah Lobby kantor. "Selamat bekerja Jihan." Lani bahkan melambaikan tangannya pada Jihan. Membayangkan berat sekali menggendong anak itu yang kini tampak nyaman memeluk leher Jihan. Padahal tubuh Jihan itu mungil sekali. Lani menggeleng sambil berucap di dalam hati. Biasa ya kalau di sinetron itu, karyawan bisa dekat dan jalan sama bos bisa diartikan hubungan mereka bakal jadi sepasang kekasih. Tapi untuk Jihan pengecualian. "Kok aku beneran ya, lihat Jihan itu lebih mirip kayak baby sitternya Pak Ivan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN