Ketika di Mall kemarin, Jihan hanya melihat dari jauh keluarga atasannya ini.
Tidak seperti sekarang, ia melihat dengan begitu jelas.
Sosok wanita yang tampak anggun dan berkelas tengah menatapnya dengan serius.
Bahkan Jihan belum sempat menjawab pertanyaan keponakan bosnya ini, saat wanita dengan senyum ramah itu mendekat dan menghampiri sambil menggendong anak yang pernah Jihan kejar di Mall kemarin.
"Tante Jihan, ini Mommy aku."
Mauren memperkenalkan Ibunya pada Jihan.
Otomatis Jihan memusatkan perhatian pada wanita yang menurutnya sangat cantik sekali.
Bagaimana tidak, kulitnya saja seputih salju dan pasti lembut sekali.
Hidungnya bangir dan tubuhnya ramping, lebih tinggi dari tubuh Jihan.
Jihan berdecak dalam hati ketika menyadari ia terlihat pendek sekarang.
"Salam kenal Jihan. Saya Suci, Mommy Mauren dan David."
Mereka berjabat tangan.
"Saya ucapkan terima kasih atas pertolongan kamu kemarin. Saya gak tahu deh kalau David benar-benar hilang," ucap Suci sambil membetulkan kerah baju milik putranya.
Jihan melihat anak kecil bernama David ini memang aktif sekali. Ini saja sudah tampak tidak bisa diam ingin lepas dari gendongan. Suci sampai terlihat kewalahan sekali.
Jihan mengulas senyum tipis.
"Itu hanya kebetulan saja kok bu. Kebetulan saya ketemu Mauren di toilet dan kebetulan juga pas David lari, ada sepupu saya yang melihat. Jadi kami langsung mengejar."
Suci terkekeh.
"David biasa begitu, aktifnya gak ketulungan."
"Kemarin, adik ipar saya lengah. Dan saya begitu saja percaya jika Ivan bisa menjaga David. Aduh, David! Sayang sebentar dong."
David pun berontak turun, mau gak mau Suci menurunkan putranya tapi tetap dia pegang tangannya.
"El!" David menunjuk ke arah lift. Mungkin dia ingat jika lift itu akan membawanya ke ruangan Ivan.
"Iya sabar ya sayang, nanti dulu dong, Mommy lagi ngobrol sama Tante Jihan."
Mauren menatap bergantian pada Jihan dan Suci.
"Ini Tante baik hati yang aku kasih tahu kemarin Mommy."
Mauren pun ikutan bicara.
Tante baik hati? Jihan meringis tak enak hati.
"Oh iya, Mauren banyak cerita tentang kamu yang sudah menolongnya. Saya gak sangka ternyata kamu satu kantor sama Ivan. Sekali lagi terima kasih ya Jihan."
"Sama-sama bu. Saya juga senang kok bertemu anak-anak ibu yang cantik dan ganteng begini."
Jihan membelai pipi David yang chubby.
"Ayo Mauren bilang apa sama Tante, kita harus ke atas. Sepertinya David sudah tidak sabaran."
Suci mau tak mau harus mengikuti putranya. Tangannya sudah ditarik-tarik David menuju lift.
"L! Mom! L"
"Iya sayang sebentar ya. Jihan, saya naik ke atas dulu ya."
"Iya Bu, silahkan."
"Tante Jihan, terima kasih ya. Sampai ketemu lagi."
Mauren tersenyum sambil melambaikan tangannya.
"Sama-sama Mauren."
Jihan hanya mengangguk sebelum kembali ke kursinya.
"Jihan, kamu kenal dengan mereka?" Diah yang pertama bertanya.
Jihan mengangguk.
"Itu keponakannya Pak Ivan kan?" Jihan menjawab enteng.
"Kamu ketemu dimana? Bukannya pas Pak Ivan tunangan kamu gak ikut karena sakit?"
Jihan garuk kepala yang tidak gatal.
"Kemarin di Mall."
"Kok bisa?" Lani ikutan bertanya.
Aduh, Jihan lupa punya dua teman yang kepo banget.
"Ya kenapa gak? Mall kan tempat bebas. Aku bisa ketemu siapa saja di Mall kan? Termasuk mereka."
Diah dan Lani serentak mengangguk.
"Iya juga sih. Apa itu sebabnya Pak Ivan panggil kamu ke atas?"
Lani kembali bertanya.
Ah, Jihan ada ide.
"Iya, Pak Ivan mau mengucapkan terima kasih. Itu saja."
"Untuk?"
Kedua temannya semakin menatap Jihan serius.
Pasalnya apa yang tadi mereka lihat, antara atasannya dengan Jihan, raut wajah keduanya saat bertemu sangat aneh.
"Kemarin itu keponakan dia yang cowok sempat hilang dan aku sama mbak aku menemukannya. Sudah itu saja."
"Pak Ivan ke Mall sama keponakannya gitu?"
"Hmmm."
"Emang gak bawa baby sitter?"
"Gak."
"Wow!" Lani berdecak.
"Udah mirip bapak dua anak gak sih? Hot Daddy banget ya kan?"
Jihan menggeleng.
Mulai lagi deh!
"Eh tapi emang usia Pak Ivan itu sudah harusnya punya anak seusia mereka lagi."
"Hmmm benar itu."
"Sebentar lagi kali, kalau nikah pasti punya."
Mending kalau nikah! Ini kan gak!
"Tapi asli lho aku heran. Seusia Pak Ivan dengan tampang oke, duit ada, cewek tinggal tunjuk, terus kok lama gak nikah?"
"Kan udah tunangan. Tinggal menghitung hari saja!"
Apa yang mau dihitung?
"Iya ya, tapi kenapa sih pake tunangan segala. Kenapa gak langsung nikah."
Astaga!
Telinga Jihan makin berdengung.
"Guys! Sistaaaa! Kalian ini please deh jangan gosip! Ingat dinding bisa mendengar."
Lani dan Diah sama menoleh.
"Iya-ya! Kenapa kita jadi urusin urusan percintaan Pak Ivan sih. Oke balik ke kasus awal."
"Jadi Jihan!"
Lani kembali menatap temannya, bersamaan dengan jentikan jari tangannya, bak orang hendak memberi hipnotis yang biasa Jihan tonton di televisi.
Ya ampun kok interogasi lagi sih?
"Kamu dipanggil ke atas itu hanya untuk menerima ucapan terima kasih gitu?"
"Iya."
"Gak dapat apa-apa?"
"Memang harusnya aku dapat apa?"
Wajah Jihan nelangsa.
Gak dipecat aja sukur.
"Ya kali sambil jabatan tangan, kamu dapat pelukan?"
Ya Tuhan!
"Kamu ngarep banget ya dipeluk sama Pak Ivan, Lani?"
Mata Lani membola.
"Boleh memang? Mau dong!"
Diah terkikik.
"Lagian ya! Ucapin terima kasih saja sampe suruh ke atas. Kenapa gak sekalian saja coba pas di sini?"
"Eh Lani, suka-suka bos lah. Kita mah cuma karyawan yang harus menuruti semua titah."
Lani terkekeh.
"Iya juga ya. Tapi kalau aku ingat-ingat wajah Pak Ivan tadi melihat Jihan itu kayak orang yang tengah memastikan sesuatu deh. Belum lagi muka Jihan pucat kaya lihat hantu hahaha."
Tergelak sudah Lani dan Diah.
Tak mempedulikan raut wajah Jihan yang ingin sekali melempar sepatunya pada Lani.
"Case closed! Lanjut kerja ya!"
Jihan kembali membalikkan badannya.
Bukan apa, ia tak mau dijadikan tersangka jika ada gosip apapun di kantor ini.
Pekerjaannya dipertaruhkan.
Suci membuka pintu ruangan Ivan.
Setelah sebelumnya tersenyum pada sekretaris Ivan, Siska.
Segera ia menurunkan David yang langsung berlari ke arah Ivan yang sedang bertelepon sambil menatap pemandangan di depan kaca.
Terpaksa Suci menggendong anaknya, karena David kembali gak mau diam.
"El!" pekik David.
Ivan menoleh dan bergegas jongkok menangkap David yang menghambur ke arahnya, tanpa melepas ponsel di telinga.
"Oke, nanti aku kabari lagi. Selamat siang."
Ivan menggendong David dengan sebelah tangannya.
"El!" David menepuk pipi Ivan karena merasa diacuhkan.
"Hay, apa kabar ganteng." Ivan mengecup pipi David.
Dan putra bungsu Suci dan Gavin itu tersenyum senang.
Menoleh sebentar pada Suci dan Mauren, Ivan tersenyum pada Muaren yang langsung membuka kulkas dan meraih s**u kotak yang biasa Ivan letakkan di sana.
Tampaknya Mauren sudah hapal, jika persediaan di kulkas ini bukan untuk Uncle nya, tapi untuk dia dan David.
"Uncle, ini susunya tinggal sedikit."
Mauren protes.
"Iya sayang, Uncle belum sempat belanja."
Sementara Suci duduk di sofa dan meraih majalah.
"Kami ganggu gak?" tanya Suci tanpa berniat mengangkat wajahnya.
"Sebenarnya sih iya!"
Mendengar itu Suci melirik tajam.
"Eh tapi gak juga sih. Aku kan bos nya di sini, kerja ya suka-suka aku."
Ivan terkekeh ketika David memukul dadanya.
"El! El!"
"Apa? David mau s**u juga? Mauren kasih satu buat adik, sayang."
Mauren menurut dan menyerahkan s**u kotak pada David.
"Tumben, kamu kemari?" tanya Ivan. Jelas ia heran.
Biasanya kalau Suci marah, bisa seminggu mereka baru bertemu.
Kemarin Suci marah kan saat putranya ini hilang di Mall?
"David yang meminta kemari." Suci mulai berkata. Meletakkan majalah di meja. Ia sudah membaca majalah yang sama seperti ini di rumah.
"Kadang aku heran, yang keponakan kamu itu Mauren apa David sih?" tanya Suci saat melihat David menempel pada Ivan.
Ivan tergelak.
"Itu berarti David ini jagoan Uncle, oke boy."
David seolah mengerti menganggukkan kepala dan tersenyum, menunjukkan giginya yang mulai tumbuh.
"Uncle tadi aku ketemu sama Tante baik hati." Mauren kembali bicara.
"Tante baik hati?" Ivan melipat kening.
"Siapa?"
"Lho kamu gak tahu, Van?" tanya Suci heran.
"Gak, memang siapa?"
"Itu lho Uncle, yang membantu aku di toilet dan yang menemukan David."
Mauren memberi keterangan.
"Ya siapa?"
"Tante Jihan."
Ivan mengerjap.
"Jihan? Jihan yang-"
"Iya, Jihan yang dibagian Receptionist itu lho. Dia karyawan kamu ya." Suci menopang dagu.
"Kamu kenal Jihan?" tanya Ivan.
Kini Suci yang heran.
"Lho kamu gimana sih? Memang kamu beneran gak tahu tante baik hati yang dimaksud oleh Mauren?"
Aneh sekali.
"Memang pas Mauren ke toilet kalian gak ketemu? Kamu dan Jihan."
"Ya ampun! Masa iya aku ke toilet perempuan!"
"Oh iya ya!" Suci terkekeh.
"Aku pergi sendiri Mom. Terus resleting aku macet, Tante Jihan yang bantu. Dan Tante Jihan juga yang ikutan mencari David."
Kepala Ivan mnggeleng perlahan. Ia memanggil Jihan untuk memberi peringatan, dan gadis itu justru menolong keponakannya?
Terus aku harus mengucapkan terima kasih gitu?
Ribet sekali!
"Jihan sudah lama kerja di sini? Kok aku seperti baru melihat ya."
Suci mencoba mengingat.
"Dia karyawan baru di sini. Jadi, aku gak begitu hapal."
Suci mengangguk.
Pantas!
"Lalu bagaimana hubunganmu dengan Gladys? Kau sudah pasti memutuskan hubungan kalian?"
Menghela napas sambil mengusap puncak kepala David. Ivan padahal ingin sekali memiliki buah hati seperti David ini. Sayang, rencananya harus musnah dalam sekejap.
"Aku tetap harus menghadap kedua orang tua gadis itu. Kami bertemu baik-baik dan berpisah pun baik-baik pula."
Suci setuju, walau dia menyayangkan.
Mengapa Ivan kembali harus karam nasib percintaannya.
Padahal Gladys ini, menurut Suci adalah wanita yang sempurna di antara calon lainnya.
Waktunya makan siang.
Karena meja receptionist gak bisa ditinggal, jadilah Jihan gantian sama Diah dan Lani ke kantin.
Kali ini Diah yang mengalah. Jihan dan Lani dipersilahkan pergi ke kantin berdua terlebih dahulu.
"Makan apa ya Han?" Lani masih berdiri mencari menu. Kantin itu sudah mulai ramai.
"Apa aja deh, kamu pesan, aku pasti makan. Aku tunggu di meja ujung ya."
Jihan melangkah menuju meja yang sudah ia lirik.
"Oke."
Sementara di ruangan Ivan.
Lelaki itu melirik jam di lengannya.
"Kalian mau makan apa hari ini? Ini sudah jam makan siang lho," ucap Ivan pada kakak ipar dan kedua keponakannya.
Suci baru mau buka suara, ketika ponselnya berbunyi.
Ternyata dari suaminya, Gavin.
"Hallo Vin?"
Ivan menoleh memperhatikan Suci yang hari ini tampil cantik dengan gaun selutut.
Kapan sih kakak iparnya ini gak cantik? Andai ada dua wanita seperti Suci.
Ya, dulu Ivan berharap Suci menerima tawarannya untuk menikah, tapi sayang Suci menolak dan menikah dengan Gavin sahabat Nadya.
"Iya, aku sudah di kantor Ivan. Kayaknya Ivan lagi gak sibuk. Oke, aku turun, sebentar."
Suci mematikan sambungan telepon dan menoleh pada dua anaknya.
"Anak-anak, kita pulang yuk. Papa sudah mau jemput."
David menggeleng dan semakin memeluk leher Ivan. Sementara Mauren pun sama.
"Aku mau di sini Mommy."
"Ck, tadikan janjinya cuma sebentar. Kita makan di luar yuk."
Ivan terkekeh.
"Sepertinya mereka lebih cocok jadi anak aku daripada jadi keponakan aku."
Suci menghela napas.
Apalagi ketika melihat Ivan mengusap puncak kepala David dengan sayang. Kalau sudah begini, David akan benar tak mau diajak pulang.
"Ya sudah, biarkan mereka di sini. Biar mereka makan siang sama aku saja."
"Mereka akan ganggu kerjaan kamu lho Van?" Suci tak enak hati.
"Gak masalah sih, asal jangan setiap hari saja kemari."
Oke, karena si tuan rumah gak keberatan, Suci bangkit.
"Ya sudah, aku titip mereka ya. Nanti aku jemput kembali."
Ivan tersenyum. Akhirnya ia akan bersama dua bocah ini.
"Lalu sekarang, keponakan uncle yang paling uncle sayangi, kalian mau makan siang apa?"
"Eskrim!" Mauren menjawab cepat.
Suci yang sudah mencapai pintu masuk segera menoleh.
"Van, anak-anak kasih makan siang dulu sebelum makan es krim."
"Oke bos."
Suci tersenyum lalu ia keluar dari ruangan.
Ivan menatap pada kedua keponakannya itu.
"Oke boys girls, let's go kita ke kantin."
"Oke."
"Ke." David ikutan berseru.
Melirik lagi ke depan, masih saja Jihan menatap Lani yang masih antri.
Jadilah Jihan kembali menunduk sambil memainkan ponselnya.
Tubuhnya menegang ketika telinganya mendengar teriakan dari belakang tubuh.
"Tante Jihan!"
Kepala Jihan tertoleh. Dan matanya membola melihat atasannya berdiri dengan dua anak di pintu masuk kantin.
Jihan semakin bingung ketika gadis kecil yang ia ingat bernama Mauren mendekat.
"Tante Jihan mau makan siang ya?"
Mata Mauren menatapnya dengan ceria.
Ditanya begini tak mungkin ia diam saja kan?
"Iya sayang. Tante mau makan siang."
Mendengar itu, Mauren menoleh ke arah Ivan.
Selanjutnya Jihan hampir terlonjak ketika mendengar usul Mauren.
"Uncle Ivan, kita makan bareng Tante Jihan saja ya!"