Entah karena kaget, setelah disapa atasannya, Jihan mendadak ingin ke toilet.
"Kamu shock itu Han, awas ngompol." Lani masih saja berbisik ketika Jihan izin ke kamar kecil.
"Han, mending kamu minum dulu deh, itu muka kamu kok pucat amat sih?'
Diah tidak bohong, Jihan memang pucat. Andai ia ditanya lebih lama, mungkin ia bisa pingsan. Atau mungkin mereka bertiga yang pingsan? Mengingat Lani dan Diah baru kali ini disapa sang atasan.
Biasa Ivan langsung masuk tanpa mau berbasa-basi pada karyawan receptionist. Lani dan Diah pun memiliki atasan lain sebelum berhubungan langsung dengan Ivan.
Jadi jika Ivan tiba-tiba datang menyapa, dan setelahnya Jihan mendadak ingin ke kamar kecil, berbeda dengan dua temannya.
Diah dan Lani sudah lebih dulu menghabiskan segelas air putih. Keduanya bernapas lega.
Sementara Jihan yang usai dari bilik toilet menatap cermin lebar yang ada di kamar mandi beberapa saat.
"Ya Tuhan, semoga gak ada kelanjutan dari sapaan tadi. Dia kenalin aku gak ya? Ck, kayaknya kenalin deh. Terus kalau kenalin juga gak apa-apa kan? Ya gak apa kali ya."
Jihan menghembuskan napas.
Oke, jangan takut Jihan. Lagipula kan aku gak macam-macam ini sama Pak Ivan. Seharusnya ia berterima kasih karena cincinnya yang mahal gak hilang.
Setelah yakin semua teratasi, Jihan pun melangkah ke luar.
Namun saat membuka pintu, ia nyaris bertabrakan dengan Lani.
"Ya ampun Lani! Kamu bikin kaget aja ih." Jihan mengusap dadanya.
"Jihan kamu lama amat sih di toilet," gerutu Lani gemas.
"Memang kenapa? Kamu mau ke toilet masuk saja. Kosong kok, cuma aku saja di sini."
Toilet banyak kok repot sih Lani!
"Bukan begitu Jihan, kamu itu diminta datang ke ruangan Pak Ivan."
Jihan tersentak.
"Apa?"
Rasanya jantung Jihan berhenti berdetak.
"Ke ruangan Pak Ivan?" tanyanya dengan nada tak percaya.
"Iya, sudah cepat kamu ke lantai lima belas sana. Kata Bu Siska, kamu kalau sudah ke lantai lima belas, cari ruangan paling ujung dan nanti ketemu dia."
Merasa sudah menyampaikan pesan pada yang bersangkutan, Lani beranjak.
"Eh tunggu!" Masih tidak percaya, Jihan menatap Lani.
"Kamu gak salah?" Mata Jihan sudah horor.
"Gak, beneran. Aku gak bohong, Suer!" Lani memberikan dua jarinya ke wajah Jihan.
"Ta-tapi mau apa aku dipanggil Pak Ivan?"
Jihan kian nelangsa.
Lani menghembuskan napas. Jangan kata Jihan, Lani dan Diah pun kaget ketika menerima telepon dari Bu Siska.
"Ya mana aku tahu?" Lani mengangkat bahu.
Perasaan Jihan jadi ketar-ketir.
Ini gak ada hubungannya sama kejadian malam itu kan?
"Kamu yakin gak berbuat masalah kan Han?" Mata Lani menyipit, seolah mencari tahu kenapa tiba-tiba temannya langsung diminta ke ruangan bigbos mereka.
"Masalah apa sih Lan, aku kan selama kerja gak aneh-aneh."
Kecuali malam itu di restoran.
"Ck ya sudahlah! Sebaiknya kamu kesana sekarang. Tunggu apa lagi? Pak Ivan meminta kamu itu sepuluh menit yang lalu, lho!" Lani menyuruh dengan tidak sabaran.
"Iya, aku dandan dulu ya sebentar."
Jihan bergegas ke mejanya.
Memperbaiki tatanan rambut dan wajahnya.
Bertemu Pak Ivan? Sepanjang ia bekerja di sini, mana pernah naik ke atas?
Ini yang Jihan takutkan. Bagaimana jika atasannya itu membahas perihal malam itu?
Ck, Mas Arga juga. Kenapa pilih restoran yang itu sih? Dan kenapa juga aku harus ketemu bosku di sana dan melihat semua kelakuannya. Mana itu cincin jatuh pas tepat di kaki aku lagi!
Andai ia menikah dengan Arga, mungkin Jihan tidak akan pusing. Ia akan berhenti bekerja dan mengabdi pada suaminya kelak.
Tapi nyatanya, ia sendiri tak yakin bisa menikah dengan Arga.
Lalu bagaimana jika diberhentikan di perusahaan ini?
Ck, masa iya sih gara-gara malam itu aku dipecat? Salah dimana coba!
Astaga! Kepala Jihan mendadak pusing.
Jihan menutup bedaknya. Ia harus berani naik ke atas. Apapun akan ia hadapi. Ia percaya Tuhan tidak akan kejam pada hambanya. Apalagi ia anak piatu.
Sambil mengucap doa, Jihan bangkit dari tempat duduknya.
"Jihan, semangat. Kali aja kamu dapat promosi jabatan." Diah menepuk bahunya memberikan semangat, yang ditanggapi Jihan dengan cengiran.
"Memang bisa? Ini saja sudah bersyukur aku bisa kerja di sini."
"Eh kalau dapat promosi jabatan mana mungkin lewat Pak Ivan." Lani menimpali.
Padahal Jihan sudah berharap.
"Ya kali si Jihan pengecualian."
Lani ikutan tersenyum.
"Semangat Jihan, aku doakan kamu dapat promosi menjadi istri Pak Ivan." bisik Lani dengan terkikik geli.
Diah pun ikutan terkekeh. Mereka berdua tertawa melihat raut wajah Jihan yang bak menanti hukuman gantung.
"Ya ampun padahal aku lho pengen banget dipanggil Pak Ivan ke ruangannya." Lani kembali berbisik.
"Mau apa kamu dipanggil?" tanya Diah iseng.
"Ya kali Pak Ivan butuh secangkir kopi sambil memandang muka aku yang manis kayak gulali."
Jihan hanya memutar bola matanya dengan malas.
Dengan mengangkat wajah, dan berusaha merapal doa di dalam hati, Jihan berjalan menuju lift. Kebetulan hanya ia sendiri di dalam lift.
Jihan menekan angka lima belas. Sepanjang ia bekerja di sini, baru kali ini ia akan ke lantai tempat atasannya berkantor. Lantai lima belas.
Jangan tanya jantungnya. Detaknya pun mengalahkan detakan jantung orang yang habis lomba lari.
TING!
Pintu lift terbuka.
Jihan melangkah ke luar.
Sebuah lantai yang terlihat luas dan terdiri dari beberapa pintu. Ia melangkah. Sepanjang lorong ia melihat kanan dan kiri ruangan kantor yang berdinding kaca.
Tampak dari luar beberapa kubikel yang di isi beberapa karyawan. Keadaan terlihat sunyi. Tampaknya semua sedang menatap komputer masing-masing.
Kerja di lantai ini, sepertinya enak. Sayang aku cuma jadi receptionist.
Huff Jihan, begitu saja kamu harus bersyukur. Dimana lagi bisa bekerja enak dan gaji besar dengan modal ijazah setaraf sekolah lanjutan atas saja! Dan tanpa titel! Sudah untung ia tidak menjadi office girl di kantor ini.
Dari jauh Jihan langsung menuju ruang kantor yang berdinding coklat.
Ia memasuki ruangan dan bertemu dengan seorang wanita yang ia yakini sekretaris atasannya. Ibu Siska.
"Selamat siang Bu Siska," sapa Jihan ramah.
Wanita yang duduk dan dalam posisi menunduk itu, mengangkat wajahnya. Senyumnya mengembang.
"Siang Jihan, kamu sudah ditunggu di dalam sama Pak Ivan."
Siska bangkit dan membuka pintu coklat di samping mejanya. Jihan mengekori dari belakang.
"Siang Pak. Mbak Jihannya sudah datang."
"Suruh langsung masuk saja."
Jihan mendengar suara dari arah dalam. Jantungnya kian berdebar hebat.
Tangannya bahkan sudah berkeringat.
Semoga aku gak dipecat.
"Silahkan masuk mbak Jihan." Siska mempersilahkan.
Jihan tersenyum pada Siska sebelum masuk ke dalam.
Mata Jihan menemukan sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan yang sungguh membuat Jihan berdecak indah. Bagaimana tidak, posisi duduk sang atasan membelakangi dinding kaca, yang menampilkan gedung-gedung bertingkat yang bisa ditatap kala jenuh melanda. Tak jauh dari pintu masuk dimana Jihan berdiri sekarang, ada satu set sofa besar yang diperuntukkan untuk menerima tamu.
Beberapa lemari besar memenuhi ruangan, ada juga lemari pendingin dan tiga buah pintu lagi yang entah pintu apa.
Matanya juga melihat satu set meja dan seperangkat computer tak jauh dari meja Ivan.
Pak Ivan pakai dua meja kalau bekerja?
Tampak sesosok tubuh masih sibuk menulis dan masih tak juga menghentikan pekerjaannya, padahal Jihan sudah beberapa detik ada di dalam ruangan.
"Selamat siang Pak," sapa Jihan dengan sopan.
Ivan menyelesaikan sedikit lagi pekerjaannya, jadi ia diam tak membalas sapaan Jihan.
"Selamat siang, Pak Ivan." Kembali Jihan mengulangi sapaannya.
Pak Ivan masa gak dengar?
"Saya gak tuli Jihan, jadi gak usah kamu mengulangi kata-kata kamu."
Masih dengan gerakan menulis, Ivan tak juga mengangkat wajahnya.
Jihan menipiskan bibirnya.
Kesan pertama masuk ke ruangan atasannya berbeda dengan yang ia bayangkan.
Tak lama Ivan meletakkan pulpennya dan kini, ia memfokuskan matanya menatap Jihan. Netranya memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki sosok di depannya, yang menampilkan seorang gadis dengan rambut terurai panjang melewati bahu dan memiliki tubuh yang bisa dibilang ramping. Bando di kepala tampak menghiasi penampilan gadis ini.
Mirip anak sekolah.
Beberapa detik terlewati begitu saja. Terus terang, Jihan merasa jengah melihat mata Ivan yang menatap ke arahnya dengan seksama. Seolah penampilannya ada yang aneh.
"Bapak panggil saya?" Akhirnya kembali Jihan buka suara.
"Memang kalau saya gak panggil, kamu bisa kesini?"
Ugh! Jihan baru tahu kalau atasannya seperti ini.
Apa aku salah tanya ya?
"Seharusnya kamu bertanya ada apa sampai saya memanggil kamu ke sini!"
Tegas dan jelas buat Ivan, tapi masih membingungkan buat Jihan.
Ivan menyandarkan tubuhnya ke kursi kebesarannya sambil menautkan kedua tangannya di atas meja. Seolah ia ingin bersikap santai saat berbicara dengan karyawannya yang satu ini.
"Duduk."
Perintah Ivan membuat Jihan duduk di kursi berbatas meja dengan atasannya.
Ia memasang wajah tegang.
"Kamu sudah lama bekerja di sini?" tanya Ivan lagi sambil menatap map di mejanya, yang tadi sudah ia baca dengan berulang kali.
"Belum ada satu tahun Pak."
Ya, benar. Ivan sudah membacanya tadi dari data diri gadis ini. Standar lamanya bekerja jika belum ada setahun masih dianggap baru.
"Apa pendidikan terakhir kamu?"
Jihan meneguk salivanya yang terasa kesat. pertanyaan yang membuatnya mati kutu.
"Jihan?" Ivan kembali bertanya.
"Se-sekolah Menengah Kejuruan Pak."
Mendengar itu, Ivan bangkit berdiri.
Sekilas ia menatap pemandangan di belakang kursinya, pada dinding kaca yang menampilkan pemandangan yang pastinya indah di kala senja. Dan ia suka menatap lama-lama saat sang pemilik cahaya tertinggi tenggelam di ufuk barat.
"Setahu saya, selama menjadi pemimpin di perusahaan ini. Posisi receptionist dan posisi manapun di kantor ini harus melebihi itu. Terkecuali office girl, office boy, dan satpam. Jadi Jihan Mentari ..."
Ivan menjeda ucapannya.
"Bagaimana bisa kamu bekerja di kantor saya?"
Mata Ivan menyipit, curiga.
Jihan mendadak kalut. Tenggorokannya bak tersangkut benda sebesar biji salak.
"Maaf Pak, saya sebenarnya menggantikan Mbak Sera yang resign."
Oh begitu!
Sepertinya Ivan harus menegur bagian HRD.
"Saya bisa memecat kamu sekarang juga, Jihan." Suara Ivan begitu dingin.
DEG.
Jantung Jihan seakan berhenti.
"Ta-tapi saya salah apa Pak? Kalau alasan saya bekerja di sini tidak memenuhi kriteria, saya minta maaf. Tapi bapak bisa tanya kok selama saya bekerja di sini, saya tidak berbuat yang aneh-aneh."
Ivan menyipitkan matanya. Menangkap gurat ketakutan dari wajah Jihan.
Bagus.
Ivan suka begini.
"Kamu membutuhkan pekerjaan ini?"
Maksudnya?
Ivan sudah sering memenangkan tender dalam beberapa proyeknya. Dan namanya sudah dikenal dalam jajaran pengusaha muda yang ambisius. Ya, ia pintar membaca situasi dalam berbisnis.
Tapi hari ini, Ivan akan gunakan kelebihannya untuk urusan yang berbeda.
Memang terkesan curang, tapi Ivan tak mau ambil resiko.
"Saya bisa saja mempertahankan kamu bekerja di kantor ini, Jihan."
Dada Jihan berdebar hebat. Masih ada kelanjutan dari perkataan atasannya yang dia tunggu.
Ivan berbalik perlahan dari posisinya yang semula menatap gedung pencakar langit yang tampak mempesona, ganti menyorongkan tubuhnya ke hadapan Jihan, dengan kedua tangan memegang ujung meja.
Bukan untuk bertumpu karena tak kuat menahan bobot tubuhnya yang tinggi menjulang.
Tapi dengan posisi begini, ia ingin mengintimidasi Jihan.
"Dengan satu syarat!"
Matanya lekat menatap sepasang mata sebening telaga yang terlihat khawatir sekali.
"Syarat?" cicit Jihan dengan alis tertaut.
"Kamu gak membocorkan perihal kejadian malam kemarin pada siapapun di kantor ini."
Bahu Jihan lunglai.
Astaga! Jadi karena itu?
Jihan bahkan menahan napas demi perkataan apapun yang akan dia dengar, tapi ternyata?
Apakah menurut atasannya ini, ia merupakan gadis yang biasa bergosip?
Eh, tunggu! Jadi lelaki ini mengenali dirinya?
"Maaf Pak Ivan yang terhormat."
Jihan mengangkat dagunya. Jika tadi ia kalut, kini ia tunjukkan jika ia bukan gadis penakut!
"Saya bukan orang yang mau mencampuri urusan orang lain, termasuk urusan bapak."
Mungkin dia gak mau citranya buruk di kantor ini. Batin Jihan.
Ivan mengangguk. Baguslah!
"Oke, saya akan lihat ke depannya. Cuma kamu yang tahu kejadian di restoran malam itu. Dan cuma kamu yang tahu kalau hubungan saya dan tunangan saya berakhir."
Hah, berakhir? Kasihan amat!
"Jadi kalau sampai di kantor ini ada yang tahu perihal kasus malam itu dan kabar tentang tunangan saya yang mengakhiri hubungan kami tersebar luas, maka itu semua pasti dari kamu."
"Lho kok gitu pak?" Jelas Jihan tidak terima. Ini sih sama saja dia dijadikan tersangka!
Seakan sirna sudah rasa takut Jihan dalam sekejap!
Bisa saja kan ada yang membocorkan dan itu bukan dia? Gak adil jika ia tetap yang dituduh!
"Kamu kira saya mau capek-capek adakan pengumuman tentang pembatalan pertunangan saya? Atau mantan tunangan saya mungkin yang mengumumkan ke publik?"
"Ya, maksud saya, itukan bukan urusan saya, Pak. Lagipula gak ada kepentingannya juga saya mengatakan kepada karyawan yang lain tentang pertunangan bapak yang batal."
"Kaya gak ada kerjaan aja," lirih Jihan kesal dengan mulut merengut.
"Kamu bilang apa?"
Jihan menggeleng cepat.
Aduh, aku keceplosan!
"Ah gak Pak. Saya gak bilang apa-apa kok."
Telinganya awas amat sih!
Ivan masih menatap Jihan dengan penuh pertimbangan.
"Kamu boleh keluar, tapi kalau saya dengar gossip tentang saya di kantor ini, saya gak akan segan-segan memecat kamu, Jihan Mentari."
Jihan menatap kesal pada atasannya. Sungguh, ia sama sekali tidak menyangka jika orang yang selama ini dihormati oleh nyaris seluruh karyawan di gedung ini, memiliki permikiran yang dangkal!
"Pak, saya gak suka diancam. Tapi saya pastikan mulut saya tidak akan ember pada siapapun. Dan saya paling tidak suka jika masalah pribadi dicampur adukkan dengan masalah pekerjaan. Jika memang sudah selesai pembicaraan hari ini, saya permisi. Terima kasih."
Jihan berbalik pergi.
Ivan menganga.
Serius dia ngomong gitu sama aku? Ck, dia pikir dia siapa? Cuma karyawan receptionist yang bisa aku keluarkan sesuka aku.
Sebenernya Ivan bukan orang yang suka mengedepankan emosi, tapi ia tak ingin citra baiknya tercoreng di hadapan bawahannya karena kasus kemarin malam.
"Oke Jihan, kita lihat apa kamu memang bisa dipercaya."
Ivan menatap berkas di mejanya yang menampilkan data diri Jihan.
Seingatnya kemarin Jihan bersama seorang lelaki. Apa itu kekasihnya?
Ck, buat apa aku mencari tahu dia kekasihnya atau tidak.
Ivan mengusap dagunya yang dipenuhi bulu halus yang belum sempat ia cukur.
Kalau dia masih bekerja sebagai receptionist, dia seharusnya tahu jika dilarang hamil untuk posisi itu di sini.
Oke, semoga memang dia akan menikah dan keluar dari kantor ini. Jadi aku bebas dari gossip.
Gak salah kan Ivan curiga pada Jihan? Karena setahu Ivan, wanita biasa identik dengan gossip.
Jihan baru saja keluar dari lift dengan menggerutu.
Mentang-mentang dia bos di sini, dikira aku gak ada kerjaan apa gosipin dia! Kerajinan!
Ia hampir berjalan mendekati meja kerjanya, ketika lengkingan suara terdengar.
"Tante baik hati!"
Suara cempreng anak kecil membuat Jihan tersentak.
Ia menoleh ke arah pintu masuk dan melihat keponakan atasannya berlari menghampiri.
"Tante baik hati? Maksudnya apa ya Jihan?" Lani ikutan menoleh ke arah pandang Jihan.
Sepertinya Jihan harus memutar otak mencari alasan guna menerangkan pada kedua temannya. Terlebih gadis kecil yang sama sekali tidak mengerti telah membuat Jihan ketar-ketir kembali bertanya.
"Tante kerja di kantor Uncle Ivan?"