Jihan tak pernah mengira bisa diterima bekerja di sebuah perusahaan sebesar PT. Vermont ini.
Ia sadar diri hanya lulusan setaraf sekolah menengah atas.
Seluruh karyawan di gedung ini harus memiliki titel walaupun menduduki jabatan sebagai receptionist.
Lulusan sekolah seperti Jihan, biasa menempati bagian office boy atau office girl saja.
Rata-rata pendidikan paling rendah di sini minimal pendidikan diploma tiga. Seperti Diah dan Lani. Rekannya.
Jihan hanya lulusan sekolah menengah kejuruan, jurusan sekretaris. Mungkin masuknya Jihan ke perusahan ini bisa dianggap sebuah keberuntungan.
Semua bermula ketika ada receptionist yang mendadak mengundurkan diri dan meminta cari pengganti, secepatnya.
Dia adalah Sera, kakak kelasnya Jihan. Dan karena Jihan mengenal baik Sera, maka Sera meminta Jihan menggantikan posisinya.
Kebetulan saat itu Jihan sedang menganggur karena perusahaan tempat kerjanya yang lama gulung tikar.
"Selamat pagi, Pak." Jihan menyapa pak satpam di depan pintu masuk lobby.
"Selamat pagi, Jihan."
Pak Satpam dengan nama Sarip membalas sapaannya.
Jihan langsung melangkah ke dalam lobby kantor.
Sudah banyak karyawan kantor ini yang berkumpul di depan lift ujung. Ekor mata Jihan menangkap kebiasaan pagi di gedung ini.
Dalam tugasnya, Jihan bersama dengan karyawan lainnya yang bernama Diah dan Lani. Mereka berdua bisa dibilang teman juga sahabat. Karena kerap belanja bersama jika habis gajian.
Enaknya menjadi receptionist di kantor ini, mereka bertiga tidak berdiri, tapi duduk dengan meja setinggi leher. Di bawah meja banyak telepon yang biasa mereka angkat untuk disambungkan ke line telepon sesuai permintaan.
Ada tiga buah computer sebagai sarana ketiganya bekerja.
Dari jauh, Jihan sudah melihat kedua rekannya sudah datang dan siap bertugas.
"Selamat pagi Jihan." Lani menyapa begitu melihat kedatangan teman kerjanya yang hari ini mengenakan bando berwarna biru muda. Jihan tampak cantik. Tubuhnya terlihat ramping. Bisa dikatakan diantara mereka bertiga Jihan yang paling cantik. Itu sebabnya sering kali mendapat salam dari klien yang datang ke perkantoran ini.
Dan itulah alasannya sang kekasih, Arga teramat protektif mengantar jemput Jihan. Ia tak ingin sang kekasih dirampas lelaki lain.
"Met pagi Jihan." Diah ikutan tersenyum.
"Pagi semua." Jihan membalas sapaan temannya sambil mendudukkan tubuhnya di kursi dan meletakkan tasnya di laci yang ada di samping kursinya. Ia membuka bedak padatnya dan kembali memperbaiki tatanan wajah dan rambutnya.
Bekerja di sini, penampilan harus dijaga. Kalau tidak, akan mendapat teguran dari atasan.
Kebetulan meja receptionisnya berbentuk L. Dan kursi Jihan membelakangi pintu masuk, lebih menghadap pintu samping dan lift.
Setelah meyakinkan semua rapi, Jihan duduk di kursinya. Bersiap menyambut dering telepon.
"Bagaimana acara malam minggunya? Ih kayanya sukses ya dilamar?" goda Lani sambil melirik jari manis Jihan. Matanya menemukan sebuah cincin yang baru hari ini tampak tersemat di jari manis Jihan.
Ya, Lani dan Diah tahu jika Jihan memiliki kekasih bernama Arga.
"Iya ada yang bening-bening di jari manis euy! Kita kalah." Diah tak kalah heboh.
"Kapan ya ada yang kasih gituan sama aku."
"Ho oh, aku juga lama lho jomblo. Gak ada gitu klien pak bos yang kasih salam gitu sama aku."
"Eh siapa tahu Jihan udah taken mah, salam seantero yang Jihan terima pindah ke kita."
"Gak ngaruh juga ya kita tukeran tempat, mau Jihan ngadep pintu masuk atau ngadep lift, salam mah tetap milik Jihan."
Diah terkikik geli.
Pasalnya Lani suka tuker tempat duduk biar tamu yang datang dari pintu masuk lobby bisa langsung ia sapa. Siapa tahu jomblo.
Eh ternyata, lagi-lagi salam mereka hanya untuk Jihan.
Jihan memutar bola matanya.
"Ini cuma tanda saja kok, belum ada janur kuning ya, belum pasti jadi."
"Kan tinggal tunggu lamaran, Jihan. Nanti kalau kamu nikah aku mau curi bunga melatinya ah, siapa tahu nular."
"Gak sekalian kamu curi calon lakinya si Jihan?"
Tergelak sudah mereka.
"Eh gini-gini aku sahabat ya, masa tega nyuri calon laki teman. Kecuali kalau lakinya model Pak Ivan. Ya ampun kapan sih ada cowok model Pak Ivan melamar aku?"
Kehaluan Lani mulai.
Ya, semua karyawati kantor ini mengidolakan Ivan, atasan mereka.
Mereka semua patah hati ketika Pak Ivan akhirnya bertunangan.
Yang lebih aneh ketika Lani bicara.
"Pernah gak sih ada kisah Receptionist sama atasan? Ya kali Pak Ivan bisa kepicut sama aku?"
"Bangun Laniii. Kamu kerja udah bertahun-tahun, pernah gak kamu ke ruangan Pak Ivan sekali aja?"
"Gak!"
"Nah itu, jangan mimpi ada kisah bos sama sang receptionist."
Jihan saat itu hanya tertawa.
Ya iyalah, hanya karyawan tertentu yang bisa masuk ke ruangan bigbos.
Jangan kata ke sana, di sapa saja sudah bagus."
"Terus kapan acara nikahnya, sis?"
tanya Lani dengan gaya penjual di aplikasi online.
"Belum pasti juga, siapa yang tahu hari esok." Jihan menghela napas panjang.
Ucapannya benar, baru dua malam cincin ini di jarinya, tapi kepastian hubungannya berakhir, semakin jelas.
"Sttsss ada Pak Ivan baru datang."
Tuhkan! Lani selalu heboh kalau atasannya mereka masuk lobby. Sama sih Diah juga.
Mungkin hanya Jihan yang biasa aja.
Karena menurut Jihan, Pak Ivan itu atasan mereka, bukan boy band yang harus dielu-elukan layaknya artis.
"Ya ampun gantengnya. Gimana aku gak terbayang-bayang coba. Punya atasan ganteng, cute dan gagah gini."
"Nyender di d**a nya enak kali ya."
"Gak enak ah, enak kalau dipeluk."
"Diusel-usel sama cambangnya."
"Di gesek-gesek sama kumisnya juga."
Jihan geleng kepala.
Mereka itu kenapa sih?
"Eh dia kemari lho."
Jihan menegang.
Maksudnya?
"Iya serius dia kemari, ya ampun mimpi apa coba aku bakal di sapa."
"Untung aku udah semprot parfum."
"Untung aku udah semprot pewangi mulut."
"Gak sekalian pewangi ruangan?"
Lani dan Diah saling berbisik, sedang Jihan membuka telinga.
Posisinya tak bisa melihat ke arah pintu masuk. Dan tak tahu apakah benar atasan mereka tengah mendekati meja mereka?
Jantung Jihan mendadak berdebar.
Ivan memang bermaksud memastikan penglihatannya.
Itulah kenapa langkah kakinya kini terarah ke meja receptionist.
Dua orang gadis yang duduknya terlihat dari arah masuk, sepertinya sudah bersiap-siap menyambut kedatangannya, tapi tidak dengan satu gadis lagi yang duduknya membelakangi arah masuknya.
"Selamat pagi Pak." Lani tersenyum dan mengangguk.
"Selamat pagi Pak." Diah mengekori Lani.
Ivan menoleh ke karyawan yang satu lagi. Yang tidak mau bersusah-susah menyapanya. Bahkan tidak bangun dari posisi duduknya.
Diah dan Lani saling melirik dan mengerti kemana arah pandangan Ivan.
Diah menggerakkan kakinya dan menyentuh kaki Jihan dari arah bawah.
"Jihan, sttsss."
Jihan bukan tak tahu tapi dia pura-pura tak tahu. Ia hanya berharap atasannya segera berlalu.
Tapi tampaknya Jihan sedang apes.
"Jihan!" Diah mengeraskan sedikit suaranya.
Bagai orang tak bersalah, Jihan hanya bertanya. Ia bahkan tak mau susah-susah membalikkan tubuh.
"Apa?"
Diah ingin sekali rasanya menjambak rambut Jihan saat ini juga. Sudah tahu ada atasan, bukannya bangun, tapi asyik main computer. Memang Jihan lagi apa sih? Kok kaya pura-pura sibuk, lagian di komputer Jihan cuma ada layar dengan pemandangan laut saja. Jihan lagi gak melamun kan?
"Jihan, ada Pak Ivan. Kasih salam."
Diah bersuara kembali.
DEG!
Jihan mematung.
Lalu ia memutar sedikit kursinya dan saat itulah ia bertemu tatap dengan lelaki yang dua malam lalu ribut di restoran.
"Se-selamat pagi pak." Jihan menyapa sambil tersenyum semanis mungkin.
Padahal hatinya sudah ketar-ketir.
Dia gak kenalin aku kan?
Ivan menyipitkan mata. Ia tidak salah lihat, ini adalah gadis yang menyerahkan cincin lamarannya yang terjatuh di lantai.
"Siapa nama kamu?" tanya Ivan dengan mata menyelidik.
Padahal jelas-jelas ada name tag di sebelah kanan baju Jihan bagian depan d**a.
"Jihan Pak," jawab Jihan lirih.
Jemarinya sudah saling meremas.
Ia gugup luar biasa.
Perasaannya mengatakan akan ada hal yang akan terjadi setelah hari ini.
"Nama lengkap." Ivan mengangkat dagunya. Tatapannya tetap terarah pada Jihan yang kini bak musang yang masuk ke perangkap musuh.
Jihan menatap pada Diah dan Lani bergantian.
Seolah meminta bantuan. Tapi kedua temannya bak patung yang berdiri dengan tubuh ikut menegang.
Pak Ivan gak mungkin naksir Jihan kan?
Otak Lani sudah traveling yang aneh-aneh.
Seumur kerja, baru ini atasannya datang menyapa dan langsung bertanya tentang nama Jihan.
Kok aku gak dia tanya ya?
"Jihan Mentari." Akhirnya Jihan menjawab dengan hati ketar-ketir.
"Oke."
Lalu Ivan berlalu dari hadapan ketiganya. Berjalan menuju lift.
Posisi Jihan duduk memang menghadap lift. Seharusnya Ivan hapal gadis ini. Tapi ia justru tidak hapal wajahnya, sampai kejadian di restoran tempo hari.
Mungkin karena Ivan menganggap ia tak harus mengenali semua karyawannya.
Ada banyak orang di gedung ini. Ya kali dia harus hapal, tidak kan?
Diah dan Lani sama menoleh ke arah Jihan.
"Serius kamu saja yang ditanya?" Lani heboh.
"Aku lho kerja di sini bertahun-tahun boro-boro dia tanya nama aku." Diah pun protes.
Jihan meringis. Andai mereka tahu, ia lebih baik tidak ditanya sama sekali oleh atasan mereka. Perasaan Jihan semakin gak enak. Ini gak ada hubungannya sama kejadian malam itu kan?
Dia gak mungkin dipecatkan?
"Bagaimana rasanya disapa Pak Ivan?" tanya Lani penasaran.
Jihan memutar bola matanya malas.
"Please deh aku cuma disapa belum diajak nikah."
Upss Jihan menutup mulutnya. Lancang sekali dia bicara, Memang siapa dia?
"Jihan, kalau mimpi jangan ketinggian, nanti kamu terjun bebas nyungsep. Diajak nikah sama Pak Ivan? Hah aku gak bisa bayangin jadi istri Pak Ivan. Gila gak sih?"
Diah hanya menggeleng mendengar Lani dan Jihan saling melempar kata.
"Sudah-sudah jangan bergosip. Nanti dinding bisa bersuara, repot kalau sampai ke telinga Pak Ivan. Lagian Pak Ivan mau otewe ke pelaminan sama bu Gladys. Karyawan yang jomblowati jangan banyak berharap. Sekarang mari kita mulai bekerja."
Jihan hanya menghembuskan napas. Mereka tidak tahu kalau Pak Ivan gak akan menikah dalam waktu dekat ini.
Ivan sudah memasuki lantai tempatnya bekerja.
Ia menghampiri sekretarisnya yang bernama Siska. Kebetulan meja Siska berada di depan ruangannya. Jadi siapapun yang mau menemui Ivan, harus berhadapan dulu dengan Siska.
Siska ini hanya sekretaris sementara yang ditugaskan dari divisi lain, karena sekretaris Ivan mengundurkan diri.
Ia belum mendapatkan pengganti.
"Selamat pagi Pak." Siska memberi hormat.
"Pagi."
Ivan bermaksud melangkah ke dalam ruangan. Namun saat mencapai pintu, seketika ia berhenti. Kembali menoleh ke arah Siska.
"Siska, kamu kenal dengan karyawan receptionist di bawah?"
Ivan menoleh kembali ke arah Siska.
"Yang mana ya Pak? Kan ada tiga di sana."
"Yang bernama Jihan?"
"Oh yang itu. Dia belum lama kerja di sini pak. Memang kenapa ya?" tanya Siska aneh.
"Kamu bisa minta data diri dia ke bagian HRD?"
"Data diri Jihan, Pak?"
"Iya, secepatnya kamu antar ke meja saya."
"Baik Pak."
Walau bingung Siska segera menekan tombol bagaian HRD.
Apakah Jihan berbuat kesalahan?
"Masuk."
Ivan baru saja mengecek laporan rugi laba dari bagian akunting.
"Permisi pak, saya mau menyerahkan data diri Jihan yang bapak minta."
Siska menyerahkan map berwarna biru.
Ivan menerima dan mengangguk.
"Oke, terima kasih. Kamu bisa kembali ke meja kamu."
"Oh iya Siska. Apakah sudah ada pengganti sekretaris buat saya?"
"Belum pak, masih di seleksi pihak HRD."
"Oke." Ivan mengangguk.
Siska mundur keluar ruangan.
Ivan membuka map biru sambil menyandarkan tubuhnya dikursi kerjanya. Perlahan ia membaca data diri salah satu karyawannya.
"Jihan Mentari, usia dua puluh dua tahun. Masih sangat muda."
Tentu saja muda, dibanding dirinya yang kini berusia lebih dari tiga puluh tahun.
"Apa kemarin dia bersama pacarnya di restoran itu ya?"
Ivan berusaha mengingat wajah lelaki yang semeja dengan Jihan. Tapi ia lupa sama sekali.
Bukan apa. Ivan tak pernah berharap ketika kelakuannya yang arogan dan menimbulkan keributan di restoran akan tersebar luas di kantor ini. Apa jadinya jika kelakuannya kemarin itu menjadi hot gosip di kantornya sendiri?
Selama ini, Ivan selalu menunjukkan ia seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan memegang prinsip sebagai pemimpin yang jauh dari gossip dan skandal. Intinya ia ingin terlihat sempurna di mata klien dan karyawannya.
"Sial! Kenapa juga aku kemarin terbakar emosi sih? Sampai harus menghajar lelaki itu! Padahal kalau memang Gladys mau membatalkan tunangan denganku ya udah, tinggal bicara baik-baik."
Ya, Ivan menyesal. Ia emosi karena merasa dipermainkan gadis itu.
Ivan harus mengambil sikap sebelum seluruh karyawannya tahu semua kejadian malam itu.
Tangan Ivan terulur ke gagang telpon.
"Hallo Siska, tolong suruh karyawan yang bernama Jihan itu untuk datang ke ruangan saya."
"Sekarang juga!"