Tidak ada yang ingin hidup dalam kesendirian. Tiada ayah dan tiada ibu.
Begitupun Jihan. Tak pernah ia membayangkan akan hidup bersama keluarga Omnya.
Andai ia punya pilihan lain.
Jihan pun harus mengamini pepatah yang mengatakan kasih ibu sepanjang masa.
Seorang ibu akan melakukan apapun demi kebahagiaan sang anak. Apapun, sekalipun itu mengorbankan jiwa raga. Ini yang sedang Ranti lakukan demi putri semata wayangnya. Elina.
Sekalipun itu mengorbankan hati sang keponakan, Jihan. Yang seharusnya bisa ia anggap sebagai putrinya.
Jelas tidak! Sejak lama Ranti tak menyukai kehadiran anak ini. Tapi setelah itu tentu saya Ranti tak akan berbuat bodoh. Sebisa mungkin ia gunakan Jihan di rumah ini.
Selayaknya seorang pembantu!
"Kamu bukan putri raja yang harus ongkang-ongkang kaki di rumah ini."
"Sudah syukur suami saya mau bantu kamu."
Saat itu Jihan hanya terdiam, belum mengerti kemana arah pembicaraan Tantenya.
"Jadi mulai besok kamu kerjakan pekerjaan rumah, karena saya gak memakai asisten rumah tangga lagi."
Jihan langsung mengerti, dan ia menyanggupi.
Berawal dari mencuci piring hingga semua pekerjaan rumah ia kerjakan sepulang sekolah.
Tidak apa, ia ikhlas melakukannya.
"Saya gak segan-segan melempar kamu ke panti asuhan kalau kamu membangkang. Yang harus kamu dengarkan itu saya, bukan Om kamu. Mengerti?"
"Mengerti Tante."
Ya ia selalu menuruti semua keinginan Tantenya, hingga hidupnya nyaman di rumah ini. Ia anggap itu harga yang pantas untuk segala fasilitas di rumah ini yang selama ini ia dapatkan.
Tapi malam ini, adalah malam dimana lagi-lagi ia mendengar perintah yang sangat tidak masuk akal.
Jelas Jihan terkejut ketika mendengar permintaan sang Tante.
Dari semua permintaan Tantenya sebagai imbalan karena ia dibesarkan di rumah ini, haruskah Tantenya meminta kebahagiaan yang tinggal sebentar lagi Jihan cecap? Tidak adakah permintaan lainnya, yang berupa barang? Barang apapun, asal jangan Arga.
"Tante gak salah?" Pucat sudah wajah Jihan. Tidak menyangka akan permintaan yang selama ini Tantenya pesan.
Ruangan kamarnya ini memang aslinya panas, apalagi kipas Jihan kini hanya berputar satu arah dan itu ke arah dirinya saja. Tapi yang Jihan rasakan justru tubuhnya kian mengigil. Ranti seakan menikmati sekali perubahan wajah Jihan sekarang. Sebuah kepuasan untuk hatinya.
Tak akan ada pernikahan di rumah ini, jika putrinya belum menikah.
Enak saja melangkahi putrinya! Apa kata orang nanti! Yang ada Elina akan dicap perawan tua.
Apalagi yang menjadi calon Jihan adalah lelaki yang disukai putrinya sejak lama.
"Telinga kamu belum rusak kan? Belum budek kan?"
Menegaskan jika yang Ranti ucapkan benar adanya.
Mata Jihan masih nanar tak berkedip. Seolah yang ada di depannya ini bukanlah Tantenya yang biasa, tapi makhluk yang sangat menakutkan.
Jihan nyaris pingsan ketika mendengar ucapan Ranti selanjutnya.
"Elina mencintai Arga. Dan kamu, dengan tidak memiliki perasaan merampas hak anak saya."
Apa? Mbak Elina menyukai Mas Arga? Jelas Jihan terkejut luar biasa.
Ia sama sekali tak tahu kenyataan ini.
Mata Jihan langsung berkaca.
"Se-sejak kapan mbak Elina menyukai Mas Arga, Tante?" lirihnya lagi.
Ranti menyipit dengan raut wajah murka.
"Sejak kapan? Kamu tanya sejak kapan? Sejak mereka bersahabat. Putri saya sudah menaruh rasa pada Arga! Elina menyukai Arga jauh sebelum kamu menjalin hubungan dengan Arga!'
Jihan menggeleng.
Gak mungkin! Jadi, selama ini Mbak Elina, Ya Tuhan!
Menelan salivanya yang kian kesat, Jihan menatap mata sang Tante yang kini seolah melepaskan topeng kebaikannya yang pada dasarnya memang hanya pura-pura semata.
"Ta-tapi ... tapi ini bukan salah aku Tan. Mas Arga yang meminta aku jadi kekasihnya. Dan-dan aku gak tahu kalau mbak Elina-"
"Kau pikir untuk apa Elina mengundang Arga ke rumah ini hah! Bertahun-tahun putriku memendam rasa pada Arga, dan kau dengan tidak berperasaan merampas Arga begitu saja."
Jihan menggeleng.
"Demi Tuhan aku gak tahu, Tante. Aku gak tahu kalau mbak Elina menyukai Mas Arga."
Air mata Jihan berlinang. Ia mengingat bagaimana ia selalu menceritakan kisahnya dengan Arga pada Elina. Bagaimana baiknya Arga padanya dan segala tentang hubungan manisnya dengan Arga.
Ya Tuhan, pasti mbak Elina sakit hati selama ini.
Sungguh, ia tak tahu jika Elina sepupunya menyukai Arga.
Andai ia tahu, ia tak akan berani menerima cinta Arga, tak akan berani membalas salam yang Elina sampaikan dari Arga. Selama ini Jihan menganggap Elina dan Arga sahabat sejati. Seharusnya Jihan sadar, hubungan lain jenis tidak bisa jika tak ada rasa. Dan dia telah hadir ditengah-tengah Elina dan Arga tanpa Jihan sadari.
Jihan terlalu polos, atau Elina yang terlalu pandai menyembunyikan semua? Jihan merasa bersalah pada Elina, tapi ia juga tak bisa disalahkan bukan? Perasaan yang Arga miliki murni dari hati Arga, bukan paksaan darinya.
"Sekarang kamu tahu kan? Sekarang kamu tahu kalau Elina mencintai Arga."
Jihan duduk di atas ranjang dengan hati berdarah. Tubuhnya mendadak lemas seketika. Sebuah fakta yang mengejutkan sekali.
Apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan?
"Jadi, Jihan Mentari, kamu sanggupkan memenuhi keinginan Tante kali ini?"
Wajah Jihan terangkat perlahan dan menatap Ranti dengan mata nelangsa.
"Tinggalkan Arga, biarkan Elina yang menjadi istri Arga."
Kepalan tangan Jihan menguat, bersamaan dengan hatinya yang kian sakit. Seolah ada kepalan keras menghantam dadanya. Seolah ada duri yang mengganjal di tenggorokan.
Jihan tak mampu berkata-kata.
Hanya tatapan sendu dan pilu yang tampak di raut wajah lelahnya.
Sejak sore ia mengerjakan semua pekerjaan sendiri, tak sedikitpun rasa lelah menerpa.
Tapi kini, dalam sekejap Jihan butuh berbaring. Jiwa raganya letih seketika.
"Anggap ini balas budi atas semua kebaikan Tante merawat kamu di rumah ini."
Begitu saja, Ranti sudah puas sekali bicara. Dan ia bersorak melihat pucat di wajah Jihan. Ranti lalu beranjak ke ambang pintu.
Tapi baru saja jarinya mendarat di gagang pintu, tubuhnya berbalik lagi untuk sesaat ke arah Jihan.
"Dan ingat Jihan, ini antara kita saja. Tante gak ingin Elina dan Om kamu tahu mengenai perjanjian ini."
Jihan bergegas mengusap basah di pipinya. Masih ada yang membuatnya bingung di atas rasa sakit dan pedih hatinya.
"Tante, tapi ... bagaimana aku harus membuat Mas Arga menikahi mbak Elina?"
Jihan tidak berdusta. Bagaimana bisa diminta seperti itu? Sedang dirinya dan Arga sudah merangkai hari bahagia mereka. Bahkan baru saja Arga menyampaikan akan segera memberi tahu lamaran yang akan dilakukan kedua orang tuanya.
"Itu urusan kamu, Tante gak mau tahu! Pastikan Arga meninggalkan kamu dan menikahi Elina putriku!"
Ranti keluar dari kamar Jihan, meninggalkan Jihan yang termangu menatap ke arah pintu kamar.
Malam terus merayap jauh, tapi Jihan tak bisa memejamkan mata. Ia sungguh dilemma. Ia pikir menikah dengan Arga akan membuatnya keluar dari rumah ini. Tapi nyatanya, ia akan lama terus di sini. Bukan karena tidak betah, tapi Jihan tahu sang Tante tak begitu menyukainya.
Dan jika Arga menikahi Elina, apa itu artinya, dia akan lama terpenjara di rumah ini?
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus menolak rencana Mas Arga? Tapi apa Mas Arga mau menerima alasanku membatalkan lamaran?
Jihan yakin ia harus secepatnya mencari cara lepas dari Arga.
Pagi ini Jihan tampak lesu. Seperti biasa mereka sarapan bersama.
"Hari ini menu sarapannya apa nih?"
Yudis menarik bangku dan menatap sepiring nasi kuning buatan Jihan.
"Wah sarapan nasi kuning, pasti enak."
Jihan tersenyum.
Ponselnya berbunyi.
Arga sudah menjemputnya.
"Om Tante, aku pamit kerja duluan. Soalnya Mas Arga sudah jemput."
Jihan bangkit dan meraih tasnya.
"Lho ini masih pagi lho Han." Elina melirik jam di dinding.
"Iya, aku ada kerjaan pagi ini mbak, permisi."
Jihan melangkah ke luar rumah, dan tampak mobil milik Arga sudah terparkir di depan rumah.
"Pagi calon istri," sapa Arga seperti bisa.
"Pagi Mas." Jihan masuk ke dalam.
"Tumben kamu minta jemput pagi-pagi begini, ada kerjaan ya?" Arga mulai menjalankan mobilnya. Jihan memang sengaja ingin berangkat pagi. Itu sebabnya ia menghubungi Arga. Beruntung Arga tidak keberatan.
"Iya, Mas sudah sarapan? Aku bawakan nasi kuning bekal sarapan aku. Mas Arga coba ya."
Jihan membuka box kecil yang ia bawa dari rumah.
Meraih sendok dan mengulurkan ke depan Arga.
"Coba deh Mas, kasih tahu aku enak apa gak?"
Arga menyuap dan mulai mengunyah.
"Hmmm enak lho Han. Wah bisa gemuk aku kalau jadi suami kamu nanti," goda Arga.
Jihan hanya menunduk.
Semoga saatnya tiba, kamu bisa menerima alasan aku ya Mas. Terima kasih atas sayang kamu selama ini sama aku. Maaf kalau aku gak bisa melanjutkan rencana indah kita.
Ada sesak yang mati-matian Jihan tahan pagi ini. Ia sudah memutuskan untuk mencari cara lepas dari Arga, entah cara apa. Tapi yang jelas ia akan memenuhi keinginan sang Tante.
Di sebuah apartemen yang tampak sunyi. Sesosok tubuh sedang sibuk di dapur. Bunyi teko mengisi kesunyian ruangan itu. Ivan mematikan kompor dan meraih teko kecil itu.
Ia ingin menyeduh kopi.
Ivan meraih stoples kopi yang kosong.
"Ck, aku lupa belanja."
Lalu tangannya tertuju pada laci.
Senyum mengembang.
"Untuk aku stok kopi sachet."
Sambil menghela napas, Ivan menyobek bungkus kemasan.
Aroma wangi kopi hitam menyeruak ke dalam hidungnya.
"Wangi."
Ivan membawa cangkir kopinya ke ruang depan.
Sepotong roti sudah ia siapkan untuk bekal sarapannya pagi ini. Menggulung kembali kemejanya sampai siku, sebelum memutuskan duduk bersandar di sofa. Ia menggigit roti dan mengunyahnya perlahan.
Sebenarnya ia bosan sarapan roti. Ingin sekali-sekali sarapan yang berbeda. Tapi apa? Memasak pun dia tidak bisa. Pandangannya menjelajah apartemen miliknya. Perabotannya lengkap. Mulai dari alat masak dan alat membuat kue. Yang tidak lengkap adalah makhluk berjenis wanita yang biasa menggunakan alat itu.
"Aku gak biasa masak lho Van." Itu ucapan Gladys ketika ia memborong aneka mesin pembuat kue dan lain sebagainya.
"Lho bukannya kamu pernah ikut kursus membuat kue?"
Ivan dengar dari Suci, itu sebabnya ia membeli perabotan membuat kue lengkap. Suci sih yang beli, dia hanya terima di tempat.
"Ya tapi aku tetap gak bisa. Lagipula kamu cari istri kan? Buat cari tukang kue."
Oke, saat itu ucapan Gladys ia anggap biasa. Wajar bukan zaman sekarang wanita gak bisa ke dapur.
"Nanti juga bisa dipakai kok Van. Aku dulu mana bisa masak, pas punya baby, otomatis aku fokus urus anak dan keluarga. Terus tiba-tiba aku suka buat kue. Kamu taro saja dulu di gudang perabotan ini."
Ivan menurut. Berharap Gladys akan memakai peralatan itu. Nyatanya, justru Gladys yang batal menjadi ratu di rumahnya. Padahal ia sudah menjadi calon suami yang baik.
Habis sudah roti di piring. Ivan pun meneguk habis kopi di tangannya. Melirik jam dan langsung membawa piring dan gelas kotor ke dapur.
Membersihkannya dengan cepat. Ia tidak biasa meninggalkan barang kotor saat pergi ke kantor.
Jadi setelah memastikan sisa sarapannya bersih, Ivan langsung bersiap berangkat ke kantor.
Meraih jas warna abu dan mengenakannya sambil melangkah menuju pintu utama. Tujuannya satu, PT. VERMONT.
PT. VERMONT adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang mesin-mesin dan alat berat. Sebuah perusahaan bonafide, di mana gedung berlantai dua puluh lima itu adalah tempat Jihan bekerja sebagai receptionist kantor.
Gedung ini adalah salah satu perusahaan yang berada di bawah naungan Collins group. Dan pemiliknya tak lain dan tak bukan adalah Juan Ivander Collins.
Seorang lelaki dengan fostur tubuh tinggi dan tegap. Dan satu lagi, selalu menjadi perbincangan dikalangan karyawannya. Apalagi sejak melangsungkan pesta pertunangan yang sangat megah.
Dan kemarin nyaris ia bertemu lagi di Mall dengan atasannya dan juga keluarganya.
Habis sudah seporsi nasi kuning, masuk ke lambung Arga, tepat ketika mobilnya berhenti di lobby kantor.
"Sampai ketemu nanti sore ya calon istri."
"Terima kasih Mas."
Jihan keluar dari mobil.
Sementara dari jarak yang tidak begitu jauh, dari dalam sebuah mobil sedan Nissan Teana ada sepasang mata menatap Jihan dengan mata tak berkedip.
Sejak Suci melarangnya datang ke rumah karena membuat David hilang, Ivan pun pulang ke apartemennya di bilangan Jakarta selatan. Sungguh, ia kesepian. Padahal ia ingin sekali mengajak David dan Mauren menginap barang semalam di kamarnya. Tapi karena ancaman Suci yang tidak bisa lagi dibantah, jadilah Ivan kembali ke apartemen.
Seperti biasa, pagi ini ia kembali ke kantor. Dan pagi ini arah menuju lobby agak macet karena banyak karyawannya diantar hingga lobby oleh keluarga atau mungkin kekasihnya.
Ivan memiliki banyak karyawan di gedung perkantorannya, dan ia tak akan hapal semua nama dan wajah staffnya selama ini. Kecuali karyawan yang bertugas di sekitar ruangannya.
Tapi pagi ini, ia jelas mengenali gadis yang keluar dari sebuah mobil. Gadis yang mengenakan seragam receptionist di kantornya.
Ivan memicingkan mata, memastikan ia tidak salah lihat.
Itu adalah gadis yang melihatnya di restoran malam lalu saat ia berkelahi dengan laki-laki yang telah merebut tunangannya, Gladys.
"Gadis itu ... astaga dia karyawan aku?"