PART 7 - PERMINTAAN RANTI.

1909 Kata
Sekarang David memang sudah berhenti menangis. Kini ia sudah sibuk dengan s**u kotak di tangannya. "Ih anaknya lucu banget ya." Jihan bahkan menciumi pipi David yang tampak anteng. Sepertinya ia kehausan. Mungkin lelah karena berlari dan menangis. Batin Jihan. Jihan merasa kasihan ketika anak ini terus saja menangis dan susah untuk didiamkan. Akhirnya ia inisiatif membelikan s**u kotak. Dan berhasil, anak bernama David ini diam. Pipi gembulnya tampak menggemaskan ketika menyedot isi s**u kotak. Tubuhnya gemuk dan Jihan yakin jika besar nanti anak ini pasti tampan sekali. Mungkin kedua orang tuanya cantik dan tampan. Begini nih kalau suami istri dianugerahi rupa yang rupawan. Pasti anak mereka menuruni kadar ketampanan dan kecantikan kedua orang tuanya. "Ganteng banget sih kamu," ucap Jihan lagi sambil membelai pipi David. "Unclenya saja ganteng Han, kayak orang bule gitu. Belum lagi kakaknya cantik banget." "Iya sih, tapi kenapa mereka gak sama orang tuanya ya, malah sama Uncle nya gitu." "Mungkin sama orang tuanya tapi lagi dimana gitu." Jihan dan Elina sudah kembali ke toilet, tapi kakak anak ini dan Unclenya tidak ada. Jadilah mereka berkelana di Mall ini mencari Uncle dan kakak David ini. "Kita sudah muter dua kali lho ini, kemana ya mereka?" Jihan membelai puncak kepala David yang terlihat mengantuk ini. "Iya ya, mereka carinya kemana sih? Kok kita gak ketemu." "Kalau gak ketemu juga, kita bawa pulang yuk mbak." "Eh, sembarangan! Nanti kita dikira culik anak repot lho. Kita tunggu di sini saja deh. Pegel juga ya gendong dia." Elina dan Jihan memang bergantian menggendong David yang lumayan berat. Hingga mereka mendengar pengumuman. "Han, itu dengar deh, pengumuman anak hilang," unjuk Elina tiba-tiba. Jihan mendengarkan dengan seksama. Sebuah pengumuman tentang anak yang hilang dengan nama David dan ciri-ciri yang sama dengan bocah yang kini bersama Elina dan Jihan. "Iya benar. Mungkin memang keluarga anak ini akhirnya menghubungi tempat bagian informasi. Pantes kita gak ketemu." "Yuk ah kita antar dia." Elina bangkit. "Hmmm, ayo David kita ketemu Uncle dan kakak kamu." "El!" seru David girang. "Iya El. Kamu belum lancar bicara ya." Sementara di bagian informasi. Suci dan Gavin sudah berkumpul bersama Ivan. Wajah Suci sudah berganti-ganti warna. Kesal dan khawatir menjadi satu. Ternyata mereka berada dalam satu Mall. Tentu saja Ivan terkejut. Astaga! Tahu gitu, kenapa gak bareng aja sekalian jalan! "Kamu gimana sih Van, kalau sampai David hilang bagaimana?" Ingin sekali Suci mencekik adik iparnya ini. "Atau kamu sengaja menghilangkan David karena masih dendam sama suamiku?" tuduh Suci dengan bicara begitu gamblang. "Sayang, sudah. Kita harus sabar." Gavin berusaha menenangkan istrinya. Suci masih tampak emosi. Begitu mendengar anaknya hilang, ia dan Gavin yang sedang menonton di lantai tujuh bergegas turun. Bersyukur mereka di Mall yang sama. Coba kalau gak! Semakin lama mereka ketemu. "Mommy tenang saja, Tante baik hati pasti menemukan David." Mauren berusaha menenangkan sang bunda. "Tante baik hati?" kening Suci melipat. Mauren menggangguk. "Siapa dia Van?" "Dia-" Ivan bingung juga. Karena dia gak paham dengan cerita Mauren. "Mommy, tadi Mauren ketemu dua orang tante. Tante yang satu cium pipi Uncle, Tante yang satu yang sekarang mengejar David, itu Tante baik hati. Mauren suka Tante baik hati dari pada Tante yang cium-cium Uncle." "Cium?" Suci menatap Ivan jengah. "Kamu bilang Gladys selingkuh? Jangan-jangan kamu yang selingkuh." Mata Suci kian menyipit. Tuhkan! Sekarang Ivan bersyukur tidak beristrikan Suci. Dalam sekejap marah-marah dalam sekejap curiga level tinggi. "Aish, gak ada hubungannya dengan Gladys." "Terus itu cewek cium-cium kamu di depan Mauren? Astaga Ivan. Kamu ini." Suci gemas, dan mencubit lengan Ivan sekencang-kencangnya. "Aish dia bukan cewek aku, dan aku gak tahu tiba-tiba dia nempel. Kamu boleh tanya sama Maurean." Ivan meringis kesakitan. Cubitan Suci mantap sekali. Pasti kulitnya besok ungu. "Sayang." Kembali Gavin dengan panggilan mesranya berusaha meredakan emosi sang istri. Ivan menggeleng. Panggilan sayang Gavin yang lemah lembut memang bisa gitu menentramkan Suci yang terlihat mau mengamuk gini? Padahal dulu Suci itu lemah lembut, dan itu yang membuat Ivan jatuh hati. Sekarang Suci seolah berubah jauh. Beneran, Ivan bersyukur tidak beristrikan Suci. "Itu David!" Mauren berteriak, membuat ketiga orang dewasa mengikuti arah yang ditunjuk. Jihan dan Elina hampir sampai ke tempat bagian informasi. Andai tidak memindai siapa sosok yang akan ia temui di sana. "Astaga." Jihan menarik lagi lengan sepupunya, sehingga mereka kembali ke balik dinding. "Mommy!" David ingin bergegas ke arah bagian informasi ketika melihat anggota keluarganya. "Lho kenapa Han?" Elina heran, langkahnya jadi tertahan. "Mbak, kamu saja yang antar anak ini ya." "Lho memang kenapa?" Elina bingung atas sikap Jihan yang mendadak aneh. Jihan menggeleng. Kenapa aku kebetulan banget sih ketemu bosku terus? "Hmm aku-aku mau ke toilet lagi. Aku tunggu kamu di sana ya mbak." Begitu saja Jihan berlalu pergi. Meski heran, Elina pun mengangguk. Ditambah lagi anak yang berada digendongannya sudah tak sabar ingin bertemu ibunya. "Jihan aneh amat sih. Yuk sayang, kita ke ibumu." Elina melangkah dan melihat beberapa orang tampak bicara serius. Sepertinya mereka tengah meributkan anak yang hilang ini. Tampak lelaki yang menurut Elina tampan itu tengah di marahi wanita yang ia yakini ibu dari David. "Mommy kamu cantik ya, pantas kamu ganteng begini." Semua menoleh ketika Mauren berteriak. Suci langsung bergegas menghampiri putranya yang kian merentangkan tangan ingin digendong. "Ya ampun David, kamu buat Mommy khawatir. Suci meraih David begitu anak itu ada di dekatnya. Ia langsung memeluk erat putranya, dan menciumnya gemas. Sungguh, ia sudah cemas sejak tadi. Walau suaminya mengatakan David akan ditemukan, tapi siapa yang tahu? Mall ini luas dan begitu banyak orang di Mall ini. Suci hanya takut putranya diculik, itu saja. "Terima kasih ya mbak." Suci menoleh ke arah Elina. "Kalau bukan mbak yang menemukan, entah apa saya akan bertemu anak saya lagi atau tidak." Suci tak bisa membayangkan kehilangan putranya. Putra kebanggaannya. "Tante baik hati mana, Tante?" Mauren menoleh ke arah belakang Elina. Berusaha mencari sosok satu lagi yang ia kenal di toilet tadi. Mungkin maksudnya Jihan. "Oh teman Tante tadi ada urusan, jadi dia pergi." Suci mengerti mengenai ucapan Mauren. Tante baik hati itu pasti teman wanita ini. "Tolong sampaikan terima kasih saya pada teman kamu, siapa namanya?" Suci penasaran. "Jihan, namanya Jihan." "Oh ya, sampaikan ucapan terima kasih saya pada Jihan." "Baik bu, kalau begitu saya permisi. Mari. Da-dah David." Elina berbalik pergi. Ivan bernapas lega. "Oke, berhubung David sudah ketemu, sekarang kita pulang." "Gak, kamu aku larang ke rumah dulu." Suci menolak Ivan. "Please Suci, David sudah ketemu." "Dan bukan kamu yang menemukan anak aku. Ayo Mauren kita pulang." Begitu saja Suci menuntun putrinya. Ivan menoleh pada Gavin. "Sorry." Gavin mengangkat bahu, tanda jika ia tak bisa banyak membantu. Suci kalau marah menyeramkan, dan Gavin gak mau ambil resiko. Jadilah ia meninggalkan Ivan sendiri di Mall itu. Biar saja bule yang satu ini pulang ke apartemennya. Biasa kalau begini, Suci akan melarang Ivan main ke rumah dalam waktu satu atau dua minggu ke depan. Tergantung suasana hati suci. Jihan menanti Elina dengan sabar di depan toilet. "Bagaimana mbak? Ketemu orang tuanya David?" Elina mengangguk. "Hmmm, mamanya cantik, bapaknya ganteng. Tapi asli ya! Lebih ganteng Uncle nya!" Jihan hanya mengangguk. "Cowok ganteng gitu, bahagia banget kali ya jadi ceweknya." Boro-boro. Mbak gak tahu aja kalau Pak Ivan baru diputuskan tunangannya dengan cara mengenaskan. Jihan baru saja selesai menggosok baju semua keluarga Omnya, ketika ia dipanggil sang Tante. "Om kamu mau bicara," ucap Ranti pada Jihan. "Baik Tante." Peluhnya belum hilang. Ia tinggal memasukkan baju miliknya ke lemari. Selain mencuci baju, masak dan menggosok, terkadang semua pekerjaan dikerjakan oleh Jihan. Tapi ia tidak mengeluh. Resiko tinggal menumpang ya begini. Jihan bergegas menemui Omnya di ruang tamu. Tampak Elina tengah asyik dengan ponselnya dan duduk manis bergabung bersama Ayahnya. Terkadang Elina juga kasihan melihat Jihan dan membantu pekerjaan Jihan di rumah. Itupun jangan sampai kelihatan Mamanya. "Jihan, kamu tanya sama Arga kapan kedua orang tuanya berencana melamar kamu. Supaya kita di sini ada persiapan." Mendengar itu, Elina yang menunduk sontak mengangkat wajahnya. Raut wajahnya menegang. "Baik Om, nanti aku tanya Mas Arga." "Memang kenapa sih Pa? Terburu-buru sekali." Ranti bertanya dengan nada tak suka. "Niat baik tak boleh diundur-undur Ma." Senyum Ranti tampak kecut mendengar ucapan suaminya. Lihat saja, gak akan kubiarkan anak ini bahagia. Sedang anakku harus bersedih. "Kalau memang Jihan dan Arga sudah cocok, kenapa gak langsung resmi? Kan lebih bagus juga. Om ingin cepat-cepat punya cucu. Rumah ini sepi gak ada anak kecil." Yudis terkekeh, sementara Ranti kian merengut. Cucu itu anak dari anak kandung, bukan dari keponakan yang gak jelas dari mana berasal begini. Kamar yang Jihan tempati ini lebih kecil jika dibandingkan milik Elina. Hanya berisi ranjang berukuran nomer tiga dan sebuah lemari. Bahkan tak ada pendingin ruangan seperti kamar yang lain. Bukan karena Omnya tidak mau memberikan fasilitas pada Jihan. Tapi Jihan menolaknya. Ia sadar diri sang Tante tak menyukai jika Omnya terlalu melebihkan perhatian padanya. Jadi ia cukup dengan kipas angin di dalam kamar. Beralasan tak suka memakai mesin pendingin. Tugas di rumah ini pun ia kerjakan dengan senang hati. Ibarat kata, ia beruntung ditampung oleh Om dan Tantenya di rumah ini. Sejak kecil, sang Tante selalu mengingatkan tak akan segan-segan melemparnya ke panti asuhan jika ia membangkang. Itulah sebabnya ia selalu menurut tanpa banyak mengeluh. Jihan baru saja selesai menelpon kekasihnya, Arga. "Pokoknya aku segera beri kabar secepatnya kapan kedua orang tua aku melamar. Kenapa? Kamu gak sabar ya?" Jihan tersenyum dengan raut bahagia. Ia memang ingin pergi dari rumah ini. Sudah cukup selama ini ia menyusahkan Om dan Tantenya. Ia ingin menjadi seorang istri yang berbakti pada suaminya. Menjadi istri Arga, menunggu suami pulang bekerja dengan anak-anak mereka nantinya. Ah, khayalan yang tak sabar Jihan ingin realisasikan. "Gak sih bukan itu. Om tanya aja. Biar kami punya persiapan di sini." "Aku pasti kabari jika sudah menentukan harinya dengan kedua orangtuaku." Lalu hening di antara keduanya. "Besok aku jemput, aku antar kerja ya. Jangan tidur malam-malam," pesan Arga. "Oke." Gak sabar rasanya Jihan bertemu Arga. Maklum mereka sedang sama-sama jatuh cinta. "Love you," bisik Arga. "Love you too." Jihan membalas dengan senyum mengembang. Sambungan terputus. Ini sudah jam sebelas malam. Tiga puluh menit sudah mereka saling berbincang. Ketukan di pintu membuat Jihan bangkit dari rebahannya. Ia beranjak dan membuka pintu secara perlahan. "Tante?" Keningnya melipat heran. "Kamu belum tidur?" Ranti masuk begitu saja ke dalam kamar. Ya belum lah, kalau sudah mana bisa dia buka pintu secepat ini. "Belum Tante." Jihan jelas heran, tak biasanya malam-malam begini Tantenya datang ke kamar. Kayak gak ada hari esok saja. "Ada yang ingin Tante bicarakan. Tutup pintunya," titah Ranti pelan. Sengaja, ia menunggu semua anggota keluarganya tidur sebelum ia melaksanakan rencananya. Jihan menurut. Ia yang semula bersandar di pintu segera masuk ke dalam kamar, dan menutup pintu kamarnya dengan rapat. Masih dengan keanehan di dalam hati. Biasa Tantenya gak seperti ini. "Apa yang hendak Tante bicarakan?" tanya Jihan pada akhirnya. Ranti menatap tajam ke arah Jihan. "Kamu masih ingat, jika Tante memiliki satu permintaan sama kamu?" "I-iya Tante." Jantung Jihan berdebar. Ia takut permintaan sang Tante ini sulit untuk ia dapatkan. Kalau barang itu mahal, semoga ia bisa diberi kesempatan untuk menabung dulu. Senyum Ranti yang kini Jihan lihat seperti sebuah ancaman. "Malam ini Tante akan mengatakan apa permintaan Tante sama kamu." Tatapan Ranti mengunci mata Jihan. Memfokuskan seolah Jihan adalah sebuah titik yang harus ia pandangi agar tidak hilang secara mendadak. "A-apa permintaan Tante?" Jihan menelan salivanya dengan susah payah. "Jauhi Arga." "Apa?" Serasa teremas jantung Jihan ketika mendengar sebuah kalimat dari mulut sang Tante. "Tante ingin kamu jauhi Arga, karena Tante ingin Elina yang menjadi istri Arga, bukan kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN