Bab 11

1540 Kata
Dalam waktu tiga hari lahan kosong di samping kamar Risa sudah bisa ditanami sayuran dan tanaman lainnya. Berkat kerja keras Rendi dari pagi hingga sore mengubah tekstur tanah di sana menjadi tidak padat lagi, dan dibuat gundukan setinggi lutut yang panjangnya hingga lima meter, kedepannya mereka akan menambah kegiatan berkebun. Gundukan paling pinggir sudah diisi dengan bibit mentimun, sementara yang kedua sudah ditanami dengan bibit pare. Dan yang ke tiga masih kosong, hendak dipakai untuk menanam cabai jika bibitnya sudah tumbuh setinggi satu hingga dua jengkal. Saat ini mereka berada di tempat lain, ditutupi daun pisang untuk meningkatkan suhu supaya bibit-bibit unggul itu berkecambah. Rendi menyiram calon tanaman yang dia pelihara, menaruh harapan besar supaya mereka tumbuh dengan baik. "Kalian semua harus sehat, makan dan minum yang cukup supaya aku bisa memanen hasilnya." Risa mencebikkan bibir, mengamati Rendi dari dalam kamar. "Wah, adikku sangat menyayangi anak-anaknya." Rendi sontak berbalik badan, matanya menyipit, membalas cemoohan sang kakak. Dia lalu berseru, "jangan ikut campur! Semua ini adalah masa depanku!" Tangannya memukul d**a dengan keras, menekankan kepemilikan atas palawija yang lebarnya tiga kali lima meter persegi itu. "Gila, dasar gila. Dia udah nggak waras." Risa menggelengkan kepala, tatapannya tak berarti, lalu menutup jendela dengan keras dan pergi dari kamar. Daripada berurusan dengan Rendi yang semakin hari semakin menjadi sifat pelitnya, Risa lebih baik berkutik dengan kegiatan lain seperti bersih-bersih rumah. Dia bisa mencuci tirai-tirai jendela, mengepel lantai, atau menyusun barang-barang yang terlihat berantakan. Sembari mengelap meja menggunakan kain basah, Risa mengarahkan pandangannya ke lantai dua yang terlihat lebih mencekam dari biasanya, seolah-olah apa yang tinggal di lantas atas adalah sesuatu yang menyeramkan dan berbahaya. "Sebenarnya apa yang dilakukan orang itu sepanjang hari?" rasa penasaran Risa tentang yang satu itu belum terjawab hingga sekarang. Tidak sekalipun Risa bertemu pandang dengan sang majikan. Jangankan bertatap muka, melihat wajahnya saja tidak pernah. Dan entah bagaimana caranya, dia bisa melakukan hal apapun tanpa diketahui. Sebut saja soal makan, pria itu belum pernah terlihat duduk di meja makan, tetapi selalu meninggalkan piring kotor dengan gelas kosong yang basah di bagian dalamnya. Risa saja sampai heran mengapa dia tidak pernah memergoki majikannya tengah menyantap masakan yang dibuat dengan sepenuh hati selama satu minggu ini? "Jangan bilang dia punya wajah jelek, terus malu berhadapan dengan kami," Risa mendengkus di akhir ucapannya. "Kamu tuh ada masalah apa sih, Ris? Kayaknya benci banget sama Mas Danu." Rendi datang dengan napas terputus-putus, keringat bercucuran dan kulit wajahnya tampak merah akibat terbakar sinar matahari. Dia lalu berjalan ke dapur mengambil air mineral dari dalam kulkas, membawanya ke ruang tamu. "Enggak, penasaran aja kenapa sampai detik ini aku nggak pernah bertemu sapa dengan majikan yang kamu panggil Mas Danu itu." suaranya terdengar jengkel. "Kamu penasaran? Jangan deh ... nanti jatuh cinta," Rendi meledek dengan senyuman nakal yang membuat Risa muak. "Bisa-bisa Bayu kalah kalau saingannya macam Mas Danu." "Rendi ... Rendi. Kamu tuh makin lama bicaranya makin ngawur," cibiran keluar dari mulut Risa. "Kalau nggak percaya ya udah, aku udah bilang apa adanya." Rendi menyenderkan punggung, lalu merentangkan tangannya di atas senderan kursi, memoerlihatkan bagian ketiak yang basah, sementara kakinya menyilang. Tak mau hilang kesabaran, Risa menyudahi tugasnya yang satu itu, kemudian bergegas keluar mencari udara baru untuk mendinginkan kepala. Perempuan itu berkeliling di sekitar rumah, menyusuri jalan setapak yang sengaja dibuat menuju mata air yang terdapat di dekat rumah itu. Kanan dan kiri jalannya dipagari dengan bambu, permukaannya dilapisi pecahan batu-bata yang tidak terpakai. "Wah ...." Risa terpesona saat melihat mata air yang begitu bening terpampang nyata di hadapannya. Dalamnya tidak melebihi satu meter serta lebarnya hampir dua meter, dan beningnya air membuat dasar kolam itu terlihat dengan jelas. Batu-batu kecil yang tenang dan berlumut, menandakan tingkat kemurnian dan kondisi air yang sehat. Sementara di sisi yang lebih tinggi mengalirkan air yang entah berasal dari bukit bagian mana. Risa mencelupkan kedua kakinya, merasakan kesegaran yang membuat perasaannya menjadi tentram, seolah-olah ikut berendam di dalam mata air yang dingin itu. "Aku penasaran apakah ini yang mereka sebut dengan Onsen?" Risa bertanya-tanya dengan mata tertutup, menerima kesan dimanjakan oleh Onsen air dingin di tempatnya berada. Beberapa menit dia habiskan untuk merendam kaki, mengistirahatkan mata serta otaknya yang beberapa hari ini terus bekerja. Hingga suara seseorang membuatnya sadar, lalu mengeluarkan kakinya dan menyusul seorang wanita yang berlari melawati rimbun pepohonan. "Tunggu! Kau tidak boleh ke arah sana! Jalannya ada di sebelah sini!" teriakan Risa cukup keras untuk menghentikan wanita itu, tetapi ia tidak mendengarkan peringatan Risa dan terus berlari membelah semak-semak setinggi perut. Risa berada dalam masalah, apakah dia harus menyusul wanita itu atau membiarkannya tersesat di pegunungan. Jarinya dia gigit sembari menentukan pilihan, dan tak berselang lama, Risa melangkahkan kaki mengejar wanita itu. Namun, sebelum dia mengambil langkah ketiga, tangannya ditahan seseorang. "Rendi?" "Kamu ngapain mau ke sana? Pengin dimakan macan?" pertanyaan Rendi terdengar mengejek meski menakutkan di bayangan Risa, tangannya masih mencengkeram lengan kakaknya dengan kuat. "Ada seorang wanita pergi ke sana, aku mau menyusulnya sebelum dia tersesat!" "Aduh, Ris ... udah kubilang nggak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga, kecuali kalau hari minggu, pasti ada orang dateng nganterin kebutuhan harian." "Tapi, Ren ... beneran ada yang pergi ke arah situ." Risa menunjuk ke arah wanita itu pergi. Rendi menghela napas, kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Risa dan berbisik, "itu setan ... kalau kamu mau pergi ke sana, kamu nggak bakal bisa balik." Sontak saja hal itu membuat Risa merinding, lalu mendekat memeluk lengan Rendi untuk berlindung. Rendi menyeringai melihat kakaknya ketakutan. "Yuk, balik. Lagian ngapain sih masuk ke sini sendirian?" "Bosen gitu di dalam rumah, apalagi liat wajahmu." "Huh." Rendi menghempaskan pelukan Risa di lengannya, kemudian berjalan cepat tanpa memedulikan teriakan kakaknya yang ketakutan. Dalam perjalanan kembali ke rumah, Rendi merasa lega karena dia belum terlambat menghentikan Risa. Jika saja Danu tidak pulang dan memberitahu apa yang akan terjadi, mungkin dia akan kehilangan kakak satu-satunya itu. Hutan dan gunung adalah sesuatu yang ajaib, yang mempunyai kekuatan magis, membuat orang-orang berhalusinasi, bahkan hilang entah kemana. Bukit Awan sendiri berada di tingkat yang lebih berbeda dan sulit dijelaskan. Ia memiliki rahasia dan keanehan yang membius orang-orang dan membuat mereka hilang tanpa jejak. Pohon-pohon bisa berbicara dan menunjukkan arah, aliran sungai bisa menjerat seseorang, bahkan gesekkan antar dedaunan pun bisa mengecoh siapa saja, kecuali Danu. "Kamu tau darimana aku ada di sana?" "Mas Danu. Dia tadi lihat kamu turun ke arah mata air." "Orang itu udah pulang?" Rendi berdecak. "Orang itu, orang itu! Namanya Mas Danu, Danu Atmawijaya!" Kalau boleh jujur, sebenarnya Rendi sudah mulai menyerah untuk mengajari Risa bagaimana memanggil Danu dengan benar, alih-alih menyebutnya dengan sebutan orang itu. Namun, setelah dipikirkan lagi, ada kesalahan Danu dalam hal ini. Sudah lebih dari satu minggu mereka berada di bawah atap yang sama, tetapi Danu belum pernah menemui Risa sama sekali. Entah mengapa dia melakukan hal kurang pantas seperti itu, tetapi yang pasti sebuah kewajaran bagi Risa menyebutnya demikian. ••• Hari berganti menjadi bulan, semuanya menjadi semakin terbiasa. Risa menikmati pekerjaan rumah tangga meski Monica terus menerus merayu mengembalikan Risa ke perusahaan. Selain gaji yang lebih tinggi, rupanya hal-hal yang dikhawatirkan melebur tak berbekas. Dirinya bisa tidur nyaman di atas ranjang empuk, tidak perlu khawatir soal makanan sehari-hari, dan penghasilannya bisa utuh tanpa dibagi-bagi. Kamarnya susah senyaman kamar kontrakan dulu, dapur rumah itu pun sudah hangat seperti dapur sepetak yang pernah berguna selama beberapa tahun belakangan. Palawija yang diurus Rendi sudah dua kali dipanen meski hasilnya selalu masuk kulkas, dan lelaki itu meminta bayaran lebih dari Danu. Risa pun mulai menanam beberapa jenis bunga di halaman rumah yang tadinya kosong ditumbuhi rumput. Ada bunga mawar, bunga marigold hingga bunga matahari. Semua itu masih belum berbunga, harus menunggu beberapa minggu atau bulan untuk menikmati keindahannya. Hidup jauh dari perkotaan sudah bisa mereka atasi dengan kegiatan-kegiatan berkebun, terkadang Risa dan Rendi datang ke peternakan kuda yang jaraknya lima kilometer dari Bukit Awan, membersihkan kotoran dan memandikan kuda-kuda di sana. Ada satu kuda yang menarik perhatian Risa, namanya Raksa, si kuda jantan berwarna hitam pekat yang tingginya hampir dua meter. Kuda itu berbadan atletis, gagah seperti tuannya. Dengusan yang keluar dari hidungnya terkesan ganas, menunjukkan betapa besar keberanian yang ia miliki. Hingga pukul lima sore, kakak beradik itu baru sampai di kediaman Danu setelah seharian mengurus kuda-kuda yang jumlahnya mencapai dua puluh ekor. Saat Risa membuka pintu depan, aroma lezat menyambutnya dengan kepulan uap di atas meja. Mereka baru saja matang, dan orang yang memasaknya pun kini tengah berada di tangga, bergerak naik tanpa menyambut kepulangan mereka. Risa sempat kesal, tetapi perhatiannya teralihkan kepada bagian tubuh Danu yang tidak lengkap. Perempuan itu terperanjat, lalu berhenti di depan pintu ketika matanya tidak melihat tangan kanan Danu. "Kenapa, Ris?" Tanya Rendi yang terpaksa berhenti di belakang Risa. "Orang itu—" Rendi mendesah mendengar Risa yang lagi-lagi menyebut Danu dengan orang itu. "..., nggak punya tangan kanan?" "Punya, disini." Lelaki itu menunjuk dirinya sendiri. Risa sontak menyikutnya. "Aku serius, Ren. Aku nggak liat tangan kanannya!" "Oh ... ya gitulah." Rendi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kemudian mendahului Risa yang masih bergeming di tempat, memandangi Danu yang terus berjalan ke kamarnya. Rupanya terbesit suatu dugaan konyol di kepala Risa tentang Danu yang tidak pernah menyapa berkaitan dengan tangan kanannya. Pria itu pasti malu berhadapan dengan orang luar ketika kondisinya tidak sempurna. Iya, Risa berpikir jika Danu malu dengan kecacatan yang dia miliki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN