Pagi-pagi sekali sekitar pukul delapan, Monica bertingkah seperti dikejar-kejar debt kolektor lantaran Bayu menghubunginya dan mengatakan bahwa rapat dimajukan menjadi jam sembilan. Pak Agus mempunyai jadwal dadakan yang berbenturan dengan jadwal rapat yang seharusnya berlangsung setelah pukul satu siang.
Pakaiannya kurang rapi, bahkan wajahnya pun hanya dilapisi bedak dasar serta lipstik berwarna nude, tidak seimbang dengan setelan berwarna hitam yang kini Monica pakai.
"Aku udah dua hari nggak nyuci rambut! Malah rapat dimajukan secara mendadak begini." Monica bersungut-sungut, mengambil beberapa helai rambutnya yang lepek, kemudian mengendusnya. "Nggak bau, cuma berminyak dikit."
Monica mengambil duduk di sebelah kanan Pak Agus, berhadapan dengan Bayu yang terlihat lebih santai memakai kaos hitam dipadukan dengan kemeja salur hitam putih, menyisakan dua kancing di atas tetap terbuka.
"Saya hanya punya waktu sekitar tiga puluh menit," kata Pak Agus membuka rapat. Pria itu menggelung lengan bajunya supaya bisa melihat jam yang melingkari pergelangannya.
"..., jadi mari kita putuskan proyek untuk bulan depan."
Kiran mengajukan proyek tentang taman hiburan yang baru-baru ini banyak digandrungi pemuda-pemuda, khususnya seseorang yang aktif di media sosial. Semetara Bayu, lelaki itu mempunyai gagasan baru, yaitu mengenalkan tradisi-tradisi yang kini semakin terkikis oleh perkembangan jaman.
Kemarin saat hari libur, Bayu bersama dengan seorang teman datang mengunjungi sebuah desa, dan kebetulan sedang ada sebuah acara peringatan hari lahir desa tersebut. Mereka mempertontonkan sebuah seni kuda kepang kental dengan tradisi dan bau mistisnya.
"Bagaimana kalau ... kita meliput tempat tinggal Risa sekarang?" Monica menengahi dengan ide yang sontak ditolak Pak Agus.
Apa yang Monica tuturkan secara tidak langsung akan mengusik sang empunya rumah, apalagi tempat itu memang bukan tempat yang menerima wawancara, apalagi diliput ke dalam sebuah majalah.
"Mereka mempunyai peternakan kuda," Monica belum menyerah, masih membujuk Pak Agus untuk menerima usulannya.
"Kalau kangen sama temanmu, datang kunjungi dia sendiri, jangan menggunakan dana kantor dengan alasan dinas."
Ucapan Pak Agus membuat Monica bersungut-sungut, hidungnya mengerut, menandakan betapa jengkelnya dia saat ini. Belakangan sikap Pak Agus memang selalu waspada dan hati-hati, para karyawan terkena imbasnya. Untung saja Monica bukan tipe orang yang menaruh ucapan buruk di dalam hatinya dalam waktu lama. Perempuan itu akan membaik kalau sudah menemukan obatnya. Makan enak, misalnya.
"Pak Agus kebangetan. Padahal aku udah mengusulkan tempat bagus." Dengkusan keluar dari hidungnya lagi, lalu menggigit besar roti isi yang barusan dia beli di kafe depan kantor.
"Lagian, memangnya kamu udah minta ijin sama pemiliknya? Kalau tiba-tiba Pak Agus menyetujui dokumen milikmu gimana? Sementara belum ada ijin sama sekali, dan kita nggak yakin bakal dapat sambutan atau enggak."
Monica hanya bergumam tak jelas menanggapi keprofesionalan Bayu yang terkadang membuatnya kalah. Monica bukannya ijin menggunakan dana perusahaan untuk mengunjungi Risa, dia hanya ingin menunjukkan tempat terpencil yang dia dengar tidak ada tandingannya.
Risa bilang tempat itu terlalu indah dan sunyi, berada di atas bukit sendirian jauh dari perkampungan. Gaya arsitektur yang modern dilengkapi barang-barang antik, juga perapian selebar satu meter.
"Aku bisa banyangin kalau Risa sedang hidup di suatu istana."
•••
Sore harinya ketika Risa tengah menyiram tanaman bunga, Monica menelpon, mengutarakan semua rencananya tadi seperti saat di tengah-tengah rapat.
"Gila ya kamu? Untung saja Pak Agus nggak setuju. Bayangin kalau Beliau setuju, tapi pemilik rumah ini enggak. Kacau balau semuanya, Ca!" begitu reaksi Risa mendengar usulan Monica tentang meliput istana di Bukit Awan. Kepalanya pening, merasa kesal dengan Monica yang tidak berpikir panjang lebih dulu, tidak memperhitungkan apa yang akan terjadi bagi kedua belah pihak. Apakah majikannya akan mempersilahkan mereka masuk, atau justru mengusir mereka karena datang tanpa pemberitahuan.
Perempuan itu kemudian memutus sambungan secara sepihak, meski dia tahu apa yang dilakukannya bisa saja membuat Monica tersinggung. Namun, Risa pikir Monica sering membuatnya pening akhir-akhir ini.
Risa tiba-tiba tertawa, berkacak pinggang, lalu berbalik menghadap rumah di belakangnya. Ia besar dan megah, arsitektur dan dan furniturnya saling bertubrukan. Dia tahu jika rumah itu memiliki karakter kuat yang akan menyukseskan majalah edisi bulan Oktober, tetapi kewarasannya masih cukup besar untuk menilai bahwa melakukan wawancara tanpa persetujuan orang pertama, tidak akan disetujui.
Dan ... dia menyesal pernah berpikir seperti Monica, meliput istana di Bukit Awan ini.
"Bodohnya aku pernah memikirkan hal seperti itu ...."
Risa menggelengkan kepala, kemudian meraih teko penyiram dan membawanya masuk. Sudah hampir pukul empat, dia harus menyiapkan makan malam.
Rendi masih belum pulang dari peternakan kuda, padahal sebelum pukul enam petang dia sudah harus kembali ke rumah lantaran jaraknya lumayan jauh, sepanjang jalan pun hanya ada hutan lebat tanpa penerangan.
Di peternakan kuda, rupanya Rendi sedang bersama Danu, berdua menyuapi suplemen untuk menjaga daya tubuh mereka karena perubahan cuaca. Kali ini giliran Danu menyuapi Raksa, kuda yang paling dia sayangi.
"Dia mirip dengan Sultan," ujar Danu tiba-tiba. Tangannya mengelus kepala Raksa dengan lembut.
"Kau masih ingat dengan Sultan? Kudamu dulu? Yang mana?"
"Sebelum aku hidup selama ini."
"Gila. Orang-orang mana percaya dengan semua omong kosong yang kau katakan!" suara Rendi meninggi, kemudian berbalik sembari melepas sarung tangan sintetis. "Ayo pulang. Udah hampir malam."
Danu mengikuti di belakang Rendi sembari melepas sarung tangan dengan bantuan giginya. Kalau saja tangan kananya peka, dia tidak akan menggigitnya sebagai satu-satunya cara. Kotor, jorok. Namun, Rendi sama sekali tidak acuh soal itu.
"Mau sampai kapan kau menghindari dia terus?"
"Kata siapa aku menghindar?"
Rendi menunjuk dirinya sendiri. "Risa juga bilang begitu. Kalau aku boleh jujur ...."
"Tidak usah. Aku tidak menginginkan kejujuranmu," pungkas Danu. Dia sungguh tidak ingin mendengar kalimat bijak keluar dari mulut lelaki yang diberi nama diriku yang lain di ponselnya.
"Aku yakin sekali bahwa kaulah yang membutuhkannya. Jadi, kau juga yang seharusnya terbuka, bukan malah main kucing-kucingan."
"Hidup terlalu lama bersama orang-orang di luar sana membuatmu bijak, ya?" cibiran Danu membuat Rendi mengangkat tangannya yang mengepal.
"Dasar." Rendi menurunkan tangannya, kemudian berkata, "kalau saja kau tidak penting bagiku. Sudah kupukuli wajahmu sampai babak belur."
Sekitar setengah jam berlalu, mereka berdua sampai di rumah. Saat itu Risa sedang berada di kamar mandi, tidak bisa menyambut sang tuan yang baru saja kembali dari peternakan. Lagi-lagi dia kehilangan kesempatan untuk bertatap muka dengan sang majikan yang misterius.
Ketika keluar dari kamar mandi, Risa menampilkan ekspresi bengong, melihat Rendi yang tengah duduk menyantap makanan, sementara terdapat piring kotor kosong di ujung meja, seperti biasa.
"Kamu bercanda, 'kan?" pertanyaan frustrasinya diberi gelengan oleh Rendi. Lelaki itu menunjuk tangga, memberitahu jika Danu baru saja kembali naik ke atas.
Risa mendengkus, tangannya yang tadi berada di kepala, mengeringkan rambut menggunakan handuk, kini terkulai lemas.
"Pokoknya gajian bulan ini aku bakal memintanya langsung. Kamu ...." Jarinya menunjuk Rendi. "Jangan terima uang gajianku, atau kamu bakal menyesal."
Peringatan itu sudah berlalu sejak lama. Sembilan bulan sudah berlalu, Rendi masih saja menjadi perantara Danu menyangkut gaji bulanan Risa selama ini.
Perempuan itu memang pernah memintanya langsung, tetapi karena itu pula dia menjadi tidak berani mengulanginya dan menunggu gajian melalui Rendi.
Saat itu adalah awal bulan Februari, pukul delapan malam Risa mengetuk pintu kamar Danu setelah mengetahui jika tuannya baru saja pulang dari luar kota. Beberapa kali mengetuk tidak ada sambutan, Risa mulai menggedor dan menyapa dengan suara keras.
"Permisi! Ini saya, Risa!" sudah hampir habis kesabarannya, Risa membentak.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Sesuatu yang pertama kali Risa lihat adalah lengan kiri yang berotot, sisa-sisa air yang belum kering terkena sinar lampu dan membuatnya gemerlap.
Risa terperangah, kemudian mengalihkan pandangannya ke bahu basah milik pria itu. Tanpa sadar dia menelan saliva, melihat tetesan air dari rambut panjang kecoklatan yang berada di pundak Danu. Pandangannya turun, memerhatikan lekukan indah di antara bahu dan d**a, tulang selangka yang gagah dan seksi. Jika Risa bisa cepat mengalihkan pandangannya ke bawah sedikit lagi, dia bisa melihat perut kotak-kotak milik Danu.
Akan tetapi, kesadarannya kembali saat Danu membuka suara, "ada perlu apa?"
Risa sontak menatap mata Danu terkejut, wajahnya merah padam malu sendiri, lantas meraih gagang pintu dan menutupnya lagi secara tiba-tiba. Dengan pikiran kosong, Risa berbalik arah, berlari turun dengan mulut terbuka.
"Ya ampun, apa itu tadi!"
Seumur hidupnya baru kali ini Risa melihat seorang pria bertelanjang d**a secara langsung, di depan mata pula. Jika itu Monica, pasti akan kegirangan.
•••
Dahulu, Danu yang sering menghindar saat berpapasan dengan Risa. Sekarang, posisi keduanya terbalik. Perempuan itu yang sering menghindari pria-pria di sekitarnya, Danu maupun Rendi.
Pukul empat pagi alarm selalu berbunyi, Risa membersihkan rumah terlebih dahulu. Sembari menunggu cucian bersih di mesin cuci, dia mengerjakan yang lain, menyapu atau mengepel. Sesudah itu giliran meracik masakan dan selalu matang sebelum pukul enam.
Pada awalnya Rendi kebingungan, karena semua pekerjaan sudah beres, dia tinggal sarapan dengan masakan yang hampir dingin.
"Agak asing, sih. Namun, bagus juga kalau dia udah sadar posisinya di rumah ini," ucap Rendi enteng tanpa mengetahui penyebabnya. Jika saja lelaki itu tahu apa yang terjadi, dia pasti selalu menyudutkan Risa menggunakan fakta memalukan tersebut.
Dan Risa mau tak mau harus mengalah supaya mulut Rendi berhenti berbicara.
Sudah hampir pukul lima, Risa baru saja memasukkan beras ke penanak nasi. Biasanya sebelum kedua orang itu bangun, nasi sudah matang. Setelah itu, dia memotong kentang berbentuk dadu, wortel dipotong seperti balok dan bahan-bahan lainnya untuk dijadikan sup.
Tangannya meraba rak kecil di sebelah kiri, mencari wadah untuk mencuci mereka. Namun, tidak ada satupun benda di sana.
"Kemana perginya mereka semua?" Risa terheran-heran, padahal kemarin sore masih bertengger di rak, baskom ataupun mangkuk.
Pisau perak itu diletakkan, kemudian membuka lemari bagian atas setelah tidak menemukan baskom di rak bawah.
"Kalian kenapa di atas situ ...."
Desahan keluar dari mulutnya, lalu berusaha meraih salah satu baskom di lemari atas. Tangannya terus mencoba, tetapi ujung jarinya pun sama sekali tidak menyentuh dasarnya sekalipun Risa berjinjit. Dia kesal dan terus mendengkus, sampai-sampai tidak sadar ada yang mendekat.
Sekali lagi, geraman keluar dari mulutnya, "Sial ... mentang-mentang yang punya tinggi!"
Tiba-tiba saja, seseorang di belakang Risa mengulurkan tangan dan membuat Risa tercekat. Dia bergeming seperti tidak bisa bergerak.
"Ini," kata pria itu. "Lain kali kalau tidak sampai, pakai kursi."
Risa mengerutkan kening. Ucapannya terdengar menohok dan perempuan itu merasa dihina sebab memiliki tinggi badan yang terbatas. Risa lantas berbalik, dan saat itu juga mata keduanya bertemu.
Di bawah sorot lampu, mata Danu terlihat sedikit berbeda, mereka memiliki warna sedikit ungu dan berkilauan.
Seperti nggak nyata ....