Danu membiarkan Risa berada dalam lamunan, memandang netra miliknya yang seindah galaksi keunguan selama beberapa detik. Baru setelah itu, dia membuat penghalang menggunakan baskom berwarna hijau lumut tadi di antara wajahnya dan wajah Risa.
Perempuan itu berdeham, menghilangkan kekaguman yang membuat dirinya tersihir pada sepasang mata di hadapannya dan membuatnya tampak bodoh.
"Kau tidak butuh ini?" Danu sengaja menggoyangkan baskom itu di hadapan Risa.
Risa lantas merebutnya. "Terima kasih." Lalu berbalik badan, memasukkan sayuran yang sudah dia potong-potong ke dalamnya.
Gerakan tangan miliknya terlihat gentar, bahkan ada beberapa potongan kentang yang jatuh ke lantai. Dia tidak berpikir tenang, sehingga apa yang dilakukannya menjadi kacau.
Perlahan telinganya mendengar langkah kaki bergerak menjauh, menaiki anak tangga selama hampir satu menit, lalu terdengar suara pintu tertutup. Baru setelahnya Risa bisa bernapas lega tanpa merasa diintimidasi.
"Gila ... auranya kenapa tiba-tiba jadi horor gitu?" cicitnya pelan dengan kedua tangan berpegangan di pinggiran meja.
Entah karena kejadian waktu itu, atau Risa yang terlalu melebih-lebihkan prasangka sehingga reaksi yang dia tunjukkan terlihat berlebihan. Namun, kebenarannya memang pria itu memiliki aura yang lebih kuat daripada orang lain.
Setelah melanjutkan pekerjaannya, menu sarapan matang pukul enam lebih lima belas menit. Rendi baru saja bangun, dan pria itu tengah mandi. Sementara Danu kini tengah bersantai di teras depan ditemani secangkir kopi pahit buatannya sendiri.
Dia pernah meminta bantuan Risa membuat kopi, tetapi rasanya sangat manis, tidak bisa diminum untuknya yang menyukai kopi tanpa tambahan gula.
Ragu-ragu perempuan itu untuk memberitahu meja makan sudah siap dan meminta Danu untuk segera masuk. Namun, kedua kakinya tak mau melangkah keluar, tetap ragu apakah harus maju atau membiarkan pria itu masuk sendiri setelah merasa lapar.
Rendi berdecak di belakang, menggelengkan kepala melihat tingkah Risa yang semakin hari kehilangan rasa percaya diri. Dia penasaran apa yang membuat kakak perempuannya itu berubah, seperti perempuan belasan tahun yang malu-malu kucing.
"Nggak mungkin 'kan, ada sesuatu di antara mereka?" Rendi bertanya-tanya. Andai saja apa yang Danu pikirkan juga ada di dalam otaknya, mungkin dia sudah melangkah maju untuk memanfaatkan situasi yang ada.
Perlahan Rendi mengulurkan tangan, dengan sangat hati-hati menyentuh pundak Risa dan membuatnya berjingkrak kaget. Matanya melotot setelah berbalik badan.
"Apa-apaan kamu? Mau membuatku jantungan?"
Lelaki itu mengendikan bahu, bibirnya mencebik kemudian kembali ke meja makan. "Ada yang nggak beres sama Risa. Aku harus menyelidikinya."
Terlihat seringai licik di bibir Rendi, membayangkan dirinya bisa menginjak-injak Risa dengan sesuatu yang belum dia ketahui.
•••
Pintu lemari terbuka lebar-lebar, menampilkan lipatan-lipatan baju yang tersusun rapi. Ada juga yang digantung, seperti jaket dan gaun sepanjang lutut hingga mata kaki. Semua itu tidak begitu dibutuhkan, tetapi Risa membelinya terlalu banyak ketika hendak pindah ke Bukit Awan. Alasannya sebagai self reward, sebab dirinya berani mengambil keputusan besar meski terpaksa.
Sekarang, dia menyesal. Risa membeli banyak baju yang tidak bisa dia pakai sehari-hari. Jangankan pergi ke mall, ke pasar saja belum pernah, padahal sudah satu tahun lebih mereka tinggal di sana.
Desahan keluar dari mulutnya, memandangi laci selebar satu meter di bagian paling bawah lemari, lokasi yang cocok untuk menyimpan pakaian dalam.
"Gimana aku bisa tampil cantik?"
Tangannya menarik sebuah celana dalam yang telah rusak bagian karetnya, sehingga tidak ketat lagi. Tak hanya itu, ada beberapa dalaman yang sudah berlubang atau berbulu. Intinya, sudah tidak layak pakai.
Meninggalkan pakaian dalam yang memalukan, Risa berjalan ke arah jendela, kemudian membukanya lebar-lebar, menyusuri luasnya hutan di pegunungan yang terlihat tidak berujung.
"Kira-kira, di mana pasarnya?"
Kalau begini terus, bisa-bisa Risa kehabisan kebutuhan yang paling utama, atau terpaksa memakainya dengan rasa tidak nyaman.
"Apa nitip aja sama Pak Supir?" dia berpikir, tetapi kemudian menggeleng. "Pembalutku juga udah hampir habis."
Akan tetapi, sedetik kemudian dia mengingat Monica, sebab beberapa bulan yang lalu dia meminta Monica untuk mengirimkan barang-barang yang ditinggal.
Beberapa kali menghubungi Monica yang tak kunjung diangkat, Risa akhirnya mengirim pesan singkat, Ca, tolong aku ... roti tawar di lemariku udah habis dan pakaian dalamku sudah compang-camping ....
Tidak lebih dari dua detik, tanda centang dua berubah menjadi warna biru. Jika dia membaca pesanku secepat itu, kenapa nggak mau angkat coba?
Terlihat pula di bawah nama Monica tertera kegiatan jika perempuan itu sedang mengetik. Tak berapa lama kemudian, balasan masuk.
Hanya jika aku bisa meliput Istana Bukit Awan.
"Ah ...."
Risa menghela napas, putus asa dan juga sebal dengan sifat tak mau rugi milik sahabatnya
"Bagaimana aku bernegosiasi dalam keadaan yang serba canggung begini?"
Monica sama sekali tidak membantu. Sifat profesional terhadap pekerjaan pun tidak hilang bahkan ketika itu menyangkut persahabatan.
Risa keluar dengan raut wajah putus asa, tatapan matanya jatuh, langkah kakinya diseret sehingga menimbulkan bunyi gesekan, mengabaikan Rendi yang tengah minum seraya melirik ke arahnya.
"Di mana orang itu?" gumamnya sembari mengedarkan pandangan.
Biasanya di antara pukul sembilan hingga sepuluh lelaki itu tidak berada di kamar, Risa sudah hafal. Lantas, dia keluar rumah untuk mencarinya. Dan benar saja, Danu muncul dari balik semak-semak yang memagari jalan setapak menuju mata air.
Tidak ada pilihan lain selain bertanya letak pasar terdekat, atau minta cuti satu sampai dua hari untuk ke kota membeli segala kebutuhannya.
Risa menunggu di tengah-tengah halaman, tubuhnya tak bisa diam merasakan gugup yang menjalar di dadanya saat menunggu Danu datang menghampirinya.
Bisa dikatakan, inilah pertama kali Risa berani berhadapan langsung dengan Danu, secara sadar. Membuang segara rasa malu dan melupakan kenangan yang masih terngiang-ngiang.
Danu berhenti satu meter di depan Risa. Pria itu menggendong tangan kirinya, menunggu wanita di depannya membuka suara.
"Anu ...." Suara Risa terdengar ragu-ragu di telinga Danu. "..., di mana pasar yang paling dekat dari sini?"
Tanpa memberi jawaban, Danu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Kau bisa menyetir?"
Pandangan Risa bergetar, kebingungan. Apa hubungan antara menyetir mobil dengan pertanyaan yang dia ajukan?
Langkah kaki Risa terseok-seok mengikuti Danu. Kaki jenjang milik pria itu sungguh membuatnya jengkel.
"Anu ... saya tanya di mana pasar terdekat? Saya harus pergi untuk membeli beberapa kebutuhan ...."
"Saya sudah dengar," sahut Danu dengan intonasi rendah, masih tetap berjalan ke samping rumah, menuju bagasi yang selama ini belum pernah Risa masuki.
Dengan hanya menggunakan tangan kiri, Danu mengangkat pagar besi, lalu mengaitkannya supaya tetap terbuka.
"Kau bisa menyetir tidak?" Risa mengangguki pertanyaan Danu. "Kalau begitu cukup."
Ada sebuah kunci mobil terletak di rak kecil, Danu mengambilnya dan menyerahkan benda itu kepada Risa.
"Maksudnya bagaimana ini?"
"Kau bilang bisa bawa mobil,"
"Iya, memang ... tapi apa hubungan—"
"Masuklah, aku akan mengantarmu ke pasar," pungkasnya dan masuk ke dalam mobil, duduk di kursi sebelah pengemudi, sementara Risa masih kebingungan.
"Anu ... saya bisa pergi sendiri, anda hanya perlu memberitahu di mana pasarnya." Risa bersikeras menghindar. Dia tidak mungkin berada di dalam satu mobil yang sama bersama Danu seorang.
"Tidak ada layanan GPS di sini, kau yakin bisa pergi dan pulang tanpa tersesat?"
Baiklah, perdebatan kecil di antara mereka berakhir dimenangkan Danu. Risa mau tak mau menjadi supir hari ini, bepergian ke pasar untuk memborong banyak belanjaan.
Jika posisinya Risa yang mengemudi, maka bukan Danu yang mengantar, tetapi pria itulah yang diantar. Wajar saja, menyupir dengan hanya satu tangan pasti tidak mudah.
Dalam kurun waktu satu tahun, jalan berlumpur sudah diaspal. Mungkin jika saat itu Risa tidak tertidur, dia bisa merasakan betapa parah lumpur yang menjebak ban mobil milik Pak Hasan. Sekarang benar-benar mulus tanpa hambatan.
"Pertigaan di depan, belok kanan," ujar pria di sampingnya.
Selama hampir satu jam berkendara, tidak ada obrolan di antara mereka. Danu berbicara ketika dia harus, seperti ke arah mana Risa harus berbelok, atau berhenti untuk mengisi bensin.
Rupanya untuk keluar dari jalur pegunungan, membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Sementara untuk sampai ke pasar besar yang buka setiap hari, mereka harus menempuh perjalanan panjang, hampir dua jam.
Gila, bisa-bisanya dia betah tinggal di gunung. Risa mencibir dalam hati ketika berusaha memarkirkan mobil. Dirinya yang hanya sekali berkendara selama hampir tiga jam saja sudah muak, apalagi harus bolak-balik dari gunung ke kota?
Pantas saja ada pemasok sayuran yang datang tiap minggu!
Di sisi lain, Bayu kini tengah berada di Kabupaten Pringsewu, mengunjungi tempat pengembangan yang dulunya sebagai sarana penghubung desa dijadikan tempat wisata yang selalu ramai tiap hari.
Sekitar pukul dua siang, lelaki itu menjelajahi pasar lama dekat terminal bus, lalu berjalan ke arah barat menemukan pasar buah di emperan, jika masuk ke dalamnya, dia bisa melihat banyak produk dijajakan. Peralatan rumah tangga, pakaian dan lain-lain.
Bayu mengangkat kameranya lagi, kemudian membidikkan fokus ke segerombolan orang-orang yang sedang menawar buah. Dan saat itu juga, dia melihat seseorang melalui kamera.
"Risa?"
Matanya memicing setelah menyingkirkan kamera dari hadapannya, melihat lebih jelas ke arah perempuan yang terlihat persis seperti Risa.
"Itu Risa, 'kan?" Dia masih tidak yakin, lantas berjalan mendekati perempuan itu dengan langkah tergesa-gesa.
Akan tetapi, sebelum Bayu benar-benar memanggil Risa, pandangannya teralihkan oleh seorang pria yang tiba-tiba merebut barang-barang perempuan itu. Posisinya membelakangi Bayu, dan dia tidak bisa melihat siapa itu.
Rambutnya panjang, tetapi Bayu tidak memperhatikan ketidaksempurnaan milik pria yang berjarak beberapa meter darinya. Namun, tiba-tiba saja seorang anak kecil menabrak pria itu dan membuatnya berbalik.
"Kau tidak apa-apa?" Anak itu mengangguk, lalu berlari dengan balon berbentuk kuda poni di tangan kanannya.
"Orang itu—"
Bayu mengernyitkan kening, merasa tak asing dengan pria yang kini pergi bersama Risa, searah dengannya.
Lelaki yang mengalungkan kamera di lehernya itu mengambil langkah lebar, mengejar kedua orang itu untuk memastikan keraguannya. Ketika jarak sudah tak lagi jauh, tangannya meraih bahu pria berambut panjang itu. Sengaja menahan dengan keras supaya dia berbalik.
Danu agak tersentak ketika seseorang tiba-tiba menahan pundaknya. Dia mau tak mau berbalik, penasaran dengan siapa yang mencari gara-gara.
"Kau—"
Dia laki-laki yang di pantai,