Bab 7

2113 Kata
Beberapa hari berlalu, Risa melewati masa terberatnya dengan baik. Dia sudah kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa. Dia bahkan sudah menerima jadwal wawancara besok pagi. "Aku salut banget sama kamu, Ris," kata Monica, dia memberi dua jempol untuk Risa. "Hidup ini panjang, Ca. Kita kerja sebulan buat hidup satu minggu, tapi kalau nganggur seminggu, kita bakal sengsara sampai satu bulan." "Sorry, itu cuma kamu. Aku sih, enggak," Monica mencibir dengan ekspresi menjengkelkan. "Iya deh, percaya." "Oh iya, Ris, kamu udah mutusin buat nerima wasiatnya?" pertanyaan Monica barusan membuat Risa menghentikan kegiatannya. "Maksudmu apa?" Risa meletakkan kembali flashdisk yang akan dia masukkan ke dalam tas, kemudian menanti jawaban Monica. "Orang itu bilang kamu sudah menandatangani wasiat ...." Setelah mendengar pernyataan Monica, Risa buru-buru datang ke firma hukum Pengacara Hasan. Dia sama sekali belum paham dengan apa yang dikatakan Monica jika dirinya sudah memutuskan untuk menuruti apa yang tertulis di wasiat. Risa yakin, Rendi ada di balik semua ini, tetapi Pengacara Hasan menyangkal. Katanya, "anda sendiri yang datang kemari untuk menandatangani wasiat tersebut!" Risa menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa, pikirannya mendadak kosong karena ucapan Pak Hasan. "Bapak yakin itu saya?" Pak Hasan mengangguk mantap. "Saya yakin sekali. Mbak Risa juga sudah bertemu dengan pemilik rumahnya, 'kan." Apalagi ini? Risa dibuat semakin bingung dengan pernyataan Hasan yang tidak ada buktinya. Risa sudah putus asa ketika mendengar dirinya sudah menyetujui wasiat itu, sekarang dia menjadi frustrasi saat Hasan mengklaim bahwa dia dan pemilik rumah sudah sudah saling bertemu. Ada hal ganjil yang tidak bisa Risa lihat dengan mata kepalanya. Dia merasa hal-hal aneh terus terjadi setelah wasiat dari Harjusono datang. "Tapi bukan saya yang melakukannya, Pak," Risa membantah untuk yang kesekian kalinya. "Kalau bukan Mbak Risa, siapa lagi? Masa saya salah orang." Risa memijat keningnya, menyatukan satu persatu ucapan Pengacara Hasan, lalu mencoba mengingatnya dengan teliti. Namun, Risa benar-benar tidak merasa melakukan semua hal itu. Untuk apa mencari banyak pengacara supaya bisa lepas dari wasiat kalau akhirnya dia menerimanya? "Baiklah, kalau begitu saya permisi, Pak." "Iya. Sebaiknya cepat-cepat pindah, mumpung masih kemarau. Jalan menuju rumah itu tidak mudah, apalagi musim hujan." Bukan hal itu yang sedang dipikirkan Risa. Masalah datang atau tidaknya ke tempat tersebut, adalah sesuatu yang harus dipikirkan nanti. Pertama, Risa harus mencari tahu mengapa dia tidak ingat telah menyetujui isi wasiat yang diterimanya. Hal aneh itu lantas Risa ceritakan kepada Rendi yang saat itu tengah menonton televisi. Lelaki yang memakai kaos belang-belang dan celana boxer Itu kemudian menatap Risa dengan tangan masih memegang remot. "Ris? Kamu udah pikun, ya?" sindirnya. Rendi menggeleng-gelengkan kepala sembari berdecak. "Maksudmu, aku beneran yang menyetujui wasiat itu?" pertanyaan Risa diberi anggukan oleh Rendi. "Kapan?" tanyanya. "Udah lumayan lama," balas Rendi. Dia lalu meletakkan remot di atas meja, mengambil posisi duduk yang nyaman menghadap Risa dengan menyangga dagu. "Kayaknya kamu cemas gitu." "Nggak tau deh, Ren. Ada banyak hal aneh yang nggak bisa aku jelasin." "Misalnya?" "Ya yang tadi itu. Pak Hasan sama kamu bilang kalau aku udah menandatangani wasiatnya, padahal aku nggak ngerasa ngelakuin hal itu. Aneh, 'kan?" Raut wajah Risa terlihat sangat kebingungan. Keningnya beberapa kali mengerut disertai bibir yang meringis seolah jawaban bisa keluar kapan saja. "Aku nggak tau kenapa kamu bisa lupa sama hal sepenting itu, tapi menurutku itu bukan sesuatu yang buruk, Ris. Toh kalau kamu memang nggak melakukannya, mungkin ada orang lain yang menginginkan hidup kita lebih ringan." "Contohnya kamu?" Rendi tersenyum lebar, tak menampik tuduhan sang kakak. Sebab memang benar begitu, jika dirinya ingin hidup mereka sedikit lebih terangkat derajatnya. "Jadi, kapan kita pergi?" Risa melirik tajam ke arah Rendi. "Pergi saja sendiri." "Tapi, Ris ... kan kamu udah tanda tangan, memangnya bisa kabur gitu aja?" "Jujur deh," kata Risa. Dia mendekat kepada Rendi dan bertanya, "bukan kamu pelakunya?" Rendi mendesah kesal. "Aku memang ingin kaya, tapi memangnya aku bisa nyamar jadi kamu sampai-sampai bisa nipu Pak Hasan?" geramnya. "Biasa aja dong." Risa mendorong pipi Rendi, kemudian pergi sebelum lelaki itu jengkel. "Iya, pergi sana yang jauh!" ••• Ketika Risa bangun pukul enam pagi, dia menemukan surat pengunduran diri di atas meja. Perempuan itu ingat ketika dirinya menulis surat tersebut, tetapi saat bangun pagi-pagi, Risa menjadi bingung mengapa dia melakukannya? "Kenapa aku menulis surat pengunduran diri? Aku kan tidak berniat pergi!" Akan tetapi, Risa benar-benar menyerahkannya kepada Pak Agus dengan kesadaran yang tidak Risa sadari. Perempuan itu bersikeras meninggalkan perusahaan meski Pak Agus melarangnya dengan memohon-mohon. Risa berkata jika dirinya telah memutuskan untuk menyerahkan hidupnya kepada Bangsawan Atmawijaya. "Risa! Kamu kenapa, sih? Kamu kan bilang nggak akan menerima isi wasiat itu, tapi kenapa ...?" Monica datang merajuk, menyayangkan tindakan Risa yang di luar dugaan. Gadis itu terdiam di lantai, bersender di ranjang dengan tatapan kosong. Ponselnya tergeletak di meja, menampilkan jika surat pengunduran dirinya telah disetujui. Risa sudah tidak lagi bekerja sebagai editor. "Aku ... aku juga nggak tau kenapa, Ca! Kok bisa ... aku ...." Risa meracau tak jelas, matanya bergerak kesana-kemari mencari jawaban. "Maksudmu apa? Kamu yang mengundurkan diri, kenapa bingung begitu!" bentak Monica kesal. "Itu yang aku bingungin! Aku ingat waktu nulis dan nyerahin surat itu ke Pak Agus, tapi aku nggak tau kenapa aku begitu!" Monica lantas duduk di sebelah Risa, merasa aneh dengan omongan sahabatnya yang tidak jelas. "Gimana, sih? Aku nggak maksud!" "Rasanya seperti ... bukan diriku sendiri." Monica mengembuskan napas, menjatuhkan segala harapan yang dia simpan untuk Risa ketika perempuan itu sendiri memilih hidup dengan status yang berbeda. Bukan lagi sebagai wartawan majalah, tetapi seorang yang mengabdikna diri kepada orang lain. "Kamu yakin bukan kamu yang menyetujui wasiat itu?" "Sumpah, bukan aku. Itu yang paling aneh." "Jangan-jangan, Pak Hasan sekongkol sama Rendi!" Tuduhan Monica barusan sontak membuat Risa membelalakkan mata. Hal itu mungkin saja, mengingat Rendi yang paling menginginkan Risa menandatangani wasiat tersebut. Lelaki itu bisa saja datang membawa dokumen yang sudah ditandatangani, lantas membuat kesepakatan dengan Pak Hasan dan mengaku jika Risa lah yang menandatanganinya. "Tapi apa untungnya buat Pak Hasan? Sepertinya dia juga nggak tau apapun." Monica mengubah pendapatnya. "Tapi, bisa saja begitu, 'kan?" Risa mulai curiga. Monica menggelengkan kepala, tak mau lagi merasa pusing dengan sesuatu yang satu itu. "Nggak tau, ah! Udah, mau nggak mau emang kamu harus nurut, Ris. Nanti kalau ada yang aneh, baru kamu bisa ngelawan." "Ca, ini aja udah aneh!" "Iya aku tau! Sekarang, coba kamu pikirin hal positifnya aja, deh. Aku yakin kamu juga tau keuntungannya wasiat itu." Benar, ada banyak keuntungan yang bisa Risa dapatkan, salah satunya adalah dia tidak perlu membagi penghasilannya untuk membayar sewa atau biaya makan sehari-hari. Sudah jelas tabungannya akan semakin bertambah jika pengeluarannya berkurang. Namun, mungkin saja dia akan sengsara di sana. Itu yang membuat Risa takut. "Udah, sekarang kamu yakinkan diri dulu, kalau itu yang terbaik buat kamu. Kalau terjadi apa-apa, ada Rendi, ada aku. Pak Agus juga bilang bakal terima kamu lagi semisal kamu berniat balik ke perusahaan." Risa menatap Monica, dan perempuan itu mengangguk, memberi dukungan kepada Risa yang hidupnya tiba-tiba berubah. Monica tidak begitu yakin, tetapi dia merasa berubahnya kehidupan Risa bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. ••• Sebelum Risa pindah minggu depan, hari ini dia dan Monica datang ke kota Kalianda, mengunjungi seorang perempuan tua yang selama ini mereka anggap sebagai nenek sendiri. Saat Risa dan Monica tiba di halaman rumah nenek yang kerap disapa dengan panggilan Mbah Mus, nenek renta itu tengah memilah biji-biji kopi dari kulit yang tertinggal. "Mbah Mus!" teriak mereka berdua penuh kerinduan. Mbah Mus terkejut, lalu meletakkan tampah yang dia pangku ke atas kursi. Matanya berkaca-kaca meski bibirnya tersenyum. Mbah Mus menghampiri keduanya dengan langkah pelan dan hati berdebar-debar. "Sudah lama kalian nggak datang, Nduk," ujarnya dengan suara bergetar. Tangan keriputnya bergerak mengelus bahu Risa dan Monica, melepaskan kerinduan yang amat besar selama beberapa bulan ini. "Mbah Mus sehat?" pertanyaan Monica diangguki oleh Mbah Mus. Ketiga masuk ke dalam rumah, mempersilahkan keduanya duduk setelah melewati perjalanan yang cukup jauh. "Ternyata kalian yang datang toh, Nduk ... dari kemarin ada kupu-kupu masuk rumah terus." Mbah Mus menyeka air mata. Bagi Mbah Mus yang berusia tua, wanita itu mempercayai mitos-mitos yang berkembang selama ini, termasuk jika adanya kupu-kupu beterbangan di dalam rumah, tandanya akan ada tamu yang datang. "Kami udah lama nggak dateng ya, Mbah," ujar Risa tak bisa membendung air matanya. "Yang penting kalian sehat, terus inget sama Mbah, Mbah udah bersyukur, Nduk ...." Bagi Risa, Mbah Mus adalah seseorang yang amat berarti. Perempuan tua itu adalah satu-satunya orang yang peduli dengan dirinya dan Rendi ketika orang tua mereka meninggal. Ketika semua orang angkat tangan tak ingin dibebani, Mbah Mus lah yang memeluk mereka ketika masa kontrak rumah habis. Setelah tinggal beberapa bulan dengan Mbah Mus, Risa pergi merantau ke kota serta membawa Rendi supaya nenek tua itu tak lagi sibuk mengurus adik dan dirinya. Mereka menginap selama satu malam. Saat Risa sudah terlelap, Monica terbangun, menghampiri Mbah Mus yang masih terjaga di ruang tamu. "Kamu belum tidur, Nduk?" tanya Mbah Mus. "Belum, Mbah." Monica memandangi wajah Mbah Mus dengan seksama. Waktu berlalu begitu cepat rupanya. Mbah Mus yang dulunya cantik, kini telah tua. Wajahnya bergelambir, penuh bintik hitam. Gigi-giginya yang semula padat, kini tersisa beberapa saja. Monica merasa sedih. "Gimana? Kamu udah ketemu sama orangnya?" Monica menggeleng. "Belum, Mbah. Malahan ... Risa bakal pergi minggu depan." Dia mengembuskan napas. "Ke mana?" "Nggak tau. Ada wasiat aneh yang dia terima. Beberapa kejadian lainnya juga terjadi gitu aja. Yang tak diinginkan terjadi dan yang diinginkan tidak akan terjadi." Mbah Mus terlihat kebingungan. "Maksudmu apa, Nduk?" "Aku punya prasangka soal ini, Mbah. Belum yakin sepenuhnya, tapi mengingat siapa Risa sebenarnya ... sepertinya dugaanku hampir benar." Mbah Mus mengembuskan napas, melepaskan gejolak di dadanya yang meresahkan. Dia tahu Monica ada tujuan tertentu yang sulit diterima orang-orang, termasuk dirinya dahulu. Namun, Mbah Mus tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan Monica melakukan tujuannya. ---- Ada dua koper di dekat lemari, salah satunya sudah diisi penuh dengan pakaian, sementara satu lainnya masih kosong dengan posisi terbuka. Masih ada keraguan dalam diri Risa untuk pergi ke tempat bernama Bukit Awan yang jaraknya tidak dekat itu. Selain mengorbankan pekerjaannya sebagai wartawan, Risa juga mengorbankan dirinya. Tak lama kemudian Rendi masuk, mengambil duduk di sebelah Risa yang bimbang. Lelaki itu tahu betul perasaan kakaknya, dia juga yakin jika Risa sangat tidak siap untuk pergi ke tempat itu. Namun, Rendi yakin ada hal bagus jika Risa datang ke sana. "Ris, coba bilang apa yang kamu takutin?" Tanya Rendi kemudian merebut lipatan baju yang Risa pegang. "Nggak tau," sahutnya. "Percaya deh sama aku. Kamu bakal baik-baik aja di sana, dan kita nggak akan lagi hidup susah seperti sekarang." "Kenapa kamu bisa yakin begitu?" "Aku adikmu, Ris. Percaya deh sama aku." Risa menghela napas, mencoba melunturkan keraguan yang sejak tadi berusaha menahannya, lantas mencoba berpegang pada keyakinan Rendi yang begitu kuat. Monica juga mengatakan hal yang sama, oleh sebab itu Risa harus memaksa dirinya kali ini. Dua koper diisi pakaian, sementara tiga dus berukuran besar berisi buku dan barang-barang lainnya yang dianggap penting. Sebagian barang yang tidak Risa bawa, dititipkan kepada Monica dan memintanya untuk mengirimkan secara bertahap. Barang-barang lain seperti peralatan dapur, Risa serahkan kepada Monica untuk dipakai. Rupanya, mereka berangkat bukan menggunakan bus umum. Si pemilik rumah menyewa sebuah mobil box untuk mengangkut barang-barang Risa dan Rendi, sementara mereka berada di mobil yang sama dengan Pak Hasan. "Perjalanannya akan sangat lama karena jalanan yang tidak rata. Jadi, kalian bisa tidur daripada bosan," kata Pak Hasan setelah melajukan mobilnya. "Kalau kami tidur, Pak Hasan yang kesepian, dong!" "Tidak masalah." Risa berada di kursi belakang, melempar tatapannya ke luar jendela yang melewati bangunan-bangunan kota yang entah kapan bisa dia lihat kembali. Apakah Risa akan kembali, atau apakah dia akan selamanya tinggal di Bukit Awan yang jauh dari kota? Sekitar jam delapan mereka berangkat, dan sekarang sudah hampir jam tiga, tetapi Pak Hasan bilang letak bukitnya masih jauh. Padahal Risa sudah lelah berjam-jam duduk dengan posisi kaki menekuk. Dia juga merasa sudah terlalu lama tidur sejak mobil Pak Hasan memasuki perkebunan sawit. "Belum sampai, Pak?" "Belum. Sepertinya bakal lebih lama karena sempat terjebak lumpur tadi selama satu jam" "Hah!" Risa menganga. Kali ini dia tidak yakin berapa jam tertidur sampai-sampai tidak sadar mobil yang dia naiki terjebak lumpur selama satu jam. "Sepertinya Mbak Risa minum obat tidur sampai tidak sadar," ledek Pak Hasan. "Saya juga heran, Pak. Ngomong-ngomong, di mana Rendi, Pak?" tanya Risa ketika menyadari jika hanya ada dirinya dan Pak Hasan di dalam mobil tersebut. "Oh, Mas Rendi ikut mobil pengangkut sayuran tadi. Mungkin sudah hampir sampai." "Hah? Memangnya di sana ada pasar, Pak?" "Saya kurang tahu kalau soal itu," jawaban Pak Hasan membuat Risa mengembuskan napas pelan, lalu bersender dengan santai, melanjutkan perjalanan yang rupanya hampir dua jam untuk tiba di sebuah bangunan besar yang dicat warna putih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN