Bab 6

1924 Kata
"Sumpah, aneh banget," gumam Risa saat berada di depan kantor. "Apa yang aneh?" Monica melempar pertanyaan setelah menyenggol lengan Risa. Beberapa saat yang lalu dirinya memerhatikan sang sahabat yang berjalan dengan pikiran kacau. "Masa, Bu Harti mengaku nggak punya orang baru," Monica mengernyit mendengar ucapan Risa yang tidak jelas asal-usulnya. Perempuan yang kini memakai kacamata itu meminta penjelasan, "orang baru yang mana?" "Laki-laki, rambutnya agak panjang dan diikat," kata Risa sembari menggerakkan tangannya seperti mengikat rambut, "wajahnya ...." Monica diam dengan kedua alis terangkat, berharap mendengar sesuatu yang akan membuatnya semangat seperti, laki-laki itu mempunyai wajah yang rupawan. Namun, apa yang dikatakan Risa justru membuatnya menghela napas. "Aku tidak ingat wajahnya. Beberapa saat yang lalu aku masih ingat!" "Ouh! Ngeri banget. Mirip deja vu!" seru Monica berlagak merinding. Dia kemudian pergi dari hadapan Risa yang lagi-lagi lupa dengan wajah seseorang. Ini adalah yang kedua kalinya. "Sumpah, aku nggak bohong! Ini buktinya!" Sebuah saputangan Risa sodorkan setelah dirinya menggeser kursi yang dia duduki ke sebelah Monica yang tak acuh. Perempuan itu merasa jika Risa sedang mengalami masa yang amat berat, sehingga pikirannya sering berhalusinasi, seperti bertemu dengan seorang pria. "Pergi sana. Aku sibuk." Risa mengembuskan napas kesal ketika ucapannya sama sekali tidak didengarkan oleh Monica. Gadis itu bahkan terang-terangan menolak Risa berbicara. "Wah, bisa gila aku. Nggak ada yang percaya dengan ceritaku," sungutnya. "Ada apa lagi, Ris?" Bayu yang letak mejanya berhadapan dengan Risa, memutuskan untuk mencoba mendengar kisah perempuan yang sedang putus asa itu meski sebenarnya dia sudah dengar apa yang dikatakan Risa tadi. Wajahnya sangat kebingungan, dan mulut perempuan itu tidak berhenti bergumam. Bayu benar-benar khawatir dengan keadaan Risa yang agak berubah. "Aku berani bersumpah jika aku bertemu seseorang semalam. Dia memberiku ini untuk menyeka ingus," kata Risa sembari menunjukan sapu tangan yang masih terlipat. "Kamu, ingusan?" Bayu menggosok hidungnya. "Iya ... tapi bukan itu intinya, Bay." "Oke, aku ngerti. Kamu kenal dia?" Tanya Bayu. Dia memperhatikan Risa yang mengubah posisi duduk sebelum memberinya sebuah gelengan. "Kalau gitu lupakan." "Aku heran, kenapa daya ingatku semakin buruk ya akhir-akhir ini," celetuk Risa dengan jari telunjuk mengelus alis dari pangkal ke ujungnya. Lantas, memulai pekerjaannya yang menumpuk dan harus selesai sebelum tengah hari, sebab sebelum pukul empat sore, dirinya dan Bayu sudah harus sampai di Pantai Gigi Hiu. *** Kedua pegawai kantor itu sudah berada di pantai yang disebut Pantai Batu Layar oleh masyarakat setempat. Akses jalan yang tidak bersahabat membuat perjalanannya memakan lebih banyak waktu. Jalanan yang bukan aspal dan tidak rata memaksa Bayu lebih berhati-hati. Apalagi dirinya membawa seseorang. Namun, setelah mereka sampai, penderitaan yang mereka lewati bukanlah apa-apa. Pantai yang masih belum banyak diketahui orang-orang itu memiliki bebatuan karang yang tajam dengan ombak besar yang terkadang menyelimuti bebatuan tersebut. Dilihat dari sudut padang Bayu sebagai fotografer, tempat itu adalah tempat sempurna untuk dijadikan bahan jepretan. Tempatnya memiliki kesan kuat dan berbahaya, seperti hiu. Namun, akan menjadi indah dengan sentuhan teknologi sebelum mengunggahnya ke sosial media dan membuat orang-orang penasaran, di mana letak tempat yang indah itu? Matahari masih lumayan tinggi, debur ombak pun masih pada volume yang sama. Di beberapa bagian yang memiliki ombak tenang, banyak perenang terjun ke dalam. Bayu tidak menyia-nyiakan pemandangan itu. Dia memotret beberapa perenang yang bersiap lompat, lalu berada di atas air seperti ikan terbang, hingga menciptakan pecahan air di atas permukaan sebagai jejak si perenang. Di saat Bayu terfokus dengan pekerjaannya, Risa pergi tanpa memberitahu lelaki itu. Ketika kaki-kaki telanjangnya melompati bebatuan yang berjarak agak jauh, Risa terpeleset hingga tubuhnya terjerembab ke dalam laut yang naasnya itu cukup dalam. Risa bergerak panik di dalam sana, kedua kakinya menendang air, berharap bisa naik ke permukaan. Namun, ombak lautan tiba-tiba menjadi besar, hingga membuat tubuh Risa semakin tertelan. Bahkan ketika dia mencoba menggerakkan tangannya, semua itu seperti usaha yang sia-sia. Gelembung-gelembung kecil keluar dari mulut, sementara tidak ada cara untuknya bernapas. Matanya pun sudah perih dan tenaganya hampir habis melawan besar tekanan air di dalam. Kenapa tidak ada yang datang? Risa sudah pasrah. Napasnya sudah hampir habis dan dia tidak memiliki tenaga lagi. Kesadaran yang dimilikinya perlahan menghilang ketika matanya melihat siluet seseorang muncul dari permukaan, berenang seperti ikan dengan rambut panjang yang terapung-apung di dalam air. Tangan kekarnya meraih pinggang Risa, kemudian menariknya keluar dari air mengandalkan tendangan kaki dan ayunan tangan kanannya. Risa dibaringkan di atas batu yang berukuran besar dan rata sebelum pria itu memompa d**a Risa berulang kali untuk mengeluarkan air laut yang sudah tertelan. Pria itu juga memberi napas buatan secara teratur, membantu Risa mendapatkan napasnya lagi. Orang-orang tiba-tiba berkerumun, termasuk Bayu yang sangat terkejut. Dia bahkan tidak sadar jika tasnya jatuh terbawa ombak. "Risa ...!" Perempuan itu akhirnya mengeluarkan air asin yang dia telan, kemudian terbatuk-batuk sebelum bisa bernapas kembali. Tubuhnya menggigil dengan rasa takut membuatnya bergetar. Apalagi ketika ombak datang menghantam batu yang dia duduki, Risa berteriak ketakutan dan menangis. "Tenang Ris, tenang. Sudah tidak apa-apa," kata Bayu dengan intonasi lembut, mencoba menenangkan Risa disaat dirinya masih panik dan cemas. Laki-laki itu lantas melepas jaketnya, memakaikannya kepada Risa yang kedinginan. Tak ingin memperparah keadaan Risa, Bayu membawanya pergi dengan memapah gadis malang itu. Pria yang masih dalam keadaan basah di belakang Bayu mengepalkan tangan, giginya menggertak dengan sorot mata penuh amarah yang ditujukan untuk Bayu. "Lakukan dengan benar jika kau memang bisa menjaganya!" teriakan pria bertelanjang d**a itu berhasil membuat Bayu berhenti dan menolehkan kepalanya. "Lakukan dengan benar, kataku," pria itu menekankan sekali lagi. Bayu tidak merespon, sebab dia merasa reaksi pria asing itu yang terlihat begitu berlebihan, seolah-olah keselamatan Risa juga penting baginya. Bayu tahu jika dirinya ceroboh, terlalu fokus dengan pekerjaan dan hal-hal yang disukai olehnya. Hingga ketika Risa hampir menemui kematian, Bayu tidak juga sadar. "Terima kasih," kata Bayu tenang sebelum melanjutkan langkahnya. ••• Dikarenakan jarak antara Pesawaran dan Bandar Lampung terbilang jauh, Bayu memutuskan bermalam di sebuah hotel yang ada di Pringsewu. Keadaan Risa juga masih belum baik-baik saja, ditambah gerimis mengguyur malam itu. Setelah memesan kamar untuknya dan juga Risa, Bayu keluar mencari toko baju terdekat. Pakaian mereka sangat basah, tidak baik untuk terus dipakai. Dia mengetuk pintu kamar Risa setelah kembali dari toko baju. Ada dua pasang pakaian untuk Risa, baju tidur dan baju ganti untuk kembali ke Bandar Lampung besok. "Oh, ini ... aku juga membelinya," kata Bayu gugup. "Apa?" "Itu ... sesuatu yang kau butuhkan. Aku tidak yakin dengan ukurannya, tapi ... daripada tidak ada sama sekali," ucapnya bertele-tele. Namun, Risa segera mengerti apa yang dimaksud rekan kerjanya itu. Dia lantas tersenyum dan bilang, "terima kasih, Bay." "Istirahatlah. Besok pagi kita harus kembali." Risa mengangguk, kemudian menutup pintu setelah Bayu pergi ke kamarnya sendiri. Sementara Risa berganti baju yang baru saja dia terima. Perempuan itu duduk di atas ranjang dengan memakai selimut, mencoba menepis hawa dingin yang yang mencoba menyentuhnya. Dia masih ingat betul kejadian tadi sore, ketika dirinya hampir saja tenggelam dan menemui ajal. Namun, beruntung sekali seseorang menyelamatkannya di saat yang tepat. Mungkin, setelah ini Risa akan sangat menghindari yang namanya pantai dan laut, atau sesuatu yang berhubungan dengan air berkedalaman tertentu. "Tapi ... pria itu ...." Wajah pria itu memang tidak begitu jelas di ingatan Risa. Dia juga tidak ingat bagaimana wajah laki-laki yang ditemuinya di warung soto Bu Harti selain rambutnya yang lumayan panjang. Namun, entah mengapa Risa yakin jika keduanya adalah orang yang sama. Rambutnya panjang melebihi bahu, bahkan hampir mencapai pinggang, postur tubuh mereka pun terlihat mirip. Meski terdengar samar-samar, Risa merasa tidak asing dengan suara pria yang menolongnya. Namun, sayangnya Risa tidak sempat berbalik untuk mengatakan terima kasih. Maka kesempatan melihat wajah hero-nya sudah hilang. Ponselnya berdering, ketika Risa menerima panggilan itu, dia buru-buru menjauhkan ponsel dari telinga. Rendi berteriak, "Ris, kamu baik-baik saja, 'kan?" "Aduh, apaan sih. Telingaku sampai sakit." Tangannya menepuk telinga secara pelan. "Yakin kamu baik-baik aja?" "Sebentar, kamu denger sesuatu dari Bayu?" "Oh? Enggak, kok," elaknya. Rendi sedikit lama diam sebelum berkata, "entah kenapa hatiku merasa tidak enak dan terus memikirkan Kakak." Rendi bertingkah seperti seorang adik berbakti. "Eww. Aku mau muntah!" Risa kemudian memutus sambungan, sebelum Rendi mengatakan sesuatu yang lebih menggelikan. Dia pikir Bayu memberitahu soal kejadian buruk yang menimpanya, tetapi sepertinya tidak. Rendi hanya mencoba merayunya dan membuat Risa pulang membawa banyak oleh-oleh. Sebelum pukul tujuh pagi, keduanya sudah check out dan pulang ke kota. Lantaran mereka harus mengejar jadwal lain yang masih belum dipegang. Menyiksa memang, tetapi itu sudah menjadi pekerjaan mereka, dan mereka harus bisa bertanggung jawab. Setelah lebih dari dua jam, Bayu dan Risa telah tiba di Bandar Lampung. Lelaki itu pertama-tama menurunkan Risa di dekat rumahnya, tetapi Risa bersikeras untuk datang ke kantor dengan kata-kata yang meyakinkan. Bayu hanya mendesah, tidak habis pikir dengan sikap Risa yang begitu keras kepala. Baru kali ini Bayu merasa jengkel, lantaran perempuan di hadapannya sama sekali tidak memikirkan perasaan orang lain dan mementingkan urusannya sendiri. Bayu bahkan sampai menghubungi Kepala Redaksi, meminta ketegasan pria itu untuk melarang Risa datang ke kantor. Bayu menekan tombol speaker sebelum Pak Agus berteriak, "kalau kau berani masuk kantor hari ini, KAU DIPECAT!" kemudian pria itu menutup sambungan. "Sudah dengar, 'kan? Kamu mau dipecat atau bagaimana?" Risa menghela napas sembari menengadahkan kepala, kemudian memijat keningnya yang terasa agak pusing. "Oke, hari ini aku libur. Sekarang cari kerja itu susah." "Bagus. Istirahatlah, jangan mengerjakan apapun hari ini." "Iya. Makasih, Bay." Tubuhnya dia rebahkan di atas ranjang, melepas segala penat duduk di motor berjam-jam. Rupanya tidak datang ke kantor memang hal terbaik, Risa agak merasa bersalah sudah bersikap keras kepala, seolah dirinya lah yang paling handal dan dibutuhkan di sana. Selang beberapa waktu, Rendi masuk membawa semangkuk bubur nasi dan juga s**u. Dia sadar untuk setidaknya memperhatikan kakaknya jika perempuan itu tidak bisa masak beberapa hari ini. Pada saat-saat seperti ini lah, Rendi mau tak mau harus memegang tugas yang selama ini Risa kerjakan. "Makan ini. Kamu belum makan, 'kan," kata Rendi setelah menaruh nampan bubur ke atas meja. Dia mengamati Risa yang masih lemas dan tidak bersemangat. Keadaanya sangat buruk. "Atau mau aku suapi?" tanya Rendi dengan kedipan mata dan senyuman manis dibuat-buat. Geraman keluar dari mulut Risa, kemudian menyingkirkan lengan yang dia gunakan untuk menutup mata. "Kamu nggak kuliah?" "Ini ... aku baru mau berangkat," sahutnya diikuti kekehan kecil. Rendi jelas tahu jika kakaknya bukanlah seseorang yang manja atau perhatian, dan melakukan urusannya sendiri meski dalam kondisi yang kurang fit. Alasan Rendi melakukan sesuatu yang membuat Risa marah hanyalah untuk mengetahui jika kakaknya akan sembuh dalam waktu cepat. "Ngomong-ngomong, bubur itu dari Bayu." "Dia balik ke sini lagi?" "Iya," sahut Rendi lalu tersenyum, "demi kamu." "Ah, sialan. Pergi dari sini!" Lelaki bertubuh jangkung itu lantas keluar dari kamar Risa dengan tawa, kemudian tangannya merogoh kantong, mengambil ponsel keluaran tahun 2017 untuk menghubungi seseorang. Setelah menutup pintu kamar, Rendi baru berbicara ketika seseorang di seberang sana bertanya, "bagaimana keadaannya?" "Dia baik-baik saja, tidak perlu cemas." "Lalu, kapan kalian datang ke sini?" tanya seorang pria yang kini duduk di balkon rumahnya, mengamati langit biru dengan awan hidup mengikuti angin timur. "Sabar dong!" teriak lawan bicaranya kemudian menutup telepon secara sepihak. Pria itu, Danu Atmawijaya geram saat nama Diriku Yang Lain sudah tidak lagi terlihat di layar ponsel. Pria itu lantas meletakkan ponselnya, lalu menyatukan lima pasang jarinya sebelum menggerakkan mereka bergantian. Sudah lebih dari lima belas tahun semenjak dirinya yang lain berada jauh di tempat yang berbeda, menunggu waktu yang tepat untuk mereka bisa bersatu lagi. Dan pria itu pikir, beberapa waktu ini sudah sangat tepat bagi Danu melakukan keinginannya. Memanfaatkan reinkarnasi Ayu sebagai senjata mengakhiri hukuman seribu tahun. Untuk menjalankan rencana itu, Danu bahkan memanipulasi sebuah surat wasiat yang tidak bisa Risa tolak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN