Danu menggerakkan tangan kirinya untuk mengelus kepala kuda berwarna coklat yang kini tengah mengunyah rumput, kemudian tertawa setelah melihat reaksi si kuda yang terlihat tidak suka.
"Sebentar lagi aku akan membawanya kesini," kata seseorang di belakangnya. Sudah hampir tiga puluh menit lelaki itu mengikutinya, tetapi Danu tidak juga menanggapi ucapan yang sudah tiga kali keluar dari mulut pria berperawakan tinggi itu.
"Kau dengar aku tidak, sih?" lelaki itu merengek sekali lagi.
Danu melangkahkan kaki, seolah tidak ada orang lain selain dirinya di tempat peternakan kuda terbesar di Lampung bagian selatan tersebut.
"Benar-benar pria tua kolot ini." lelaki itu menggerang bersamaan dengan tangan mencengkeram tas gendong yang dia tenteng.
"Kerja bagus. Kau ingin dengar pujian macam itu?"
Sudut bibir tipis lelaki itu berkedut, mendengar ucapan Danu yang begitu menjengkelkan. Lebih baik diam saja, batinnya.
"Kau menyuruhku bicara tadi."
"Aku sudah capek-capek datang ke tempat terpencil ini, tahu!"
Menyusahkan sekali. Semenjak empat ratus tahun yang lalu ketika dirinya muncul, Danu sama sekali tidak berubah. Pria itu seperti tidak memiliki hati, tidak pernah mengerti perasaan orang lain.
"Kalau begitu, kau mau kembali saja padaku?" sembari bertanya, Danu menggerakkan tubuh bagian kanan yang tidak memiliki tangan.
"Dasar tidak tahu terima kasih. Nikmati saja sisa hidupmu hanya dengan satu tangan!"
Lelaki itu melotot ke arah Danu yang sama sekali belum bertemu muka dengannya sejak pertemuan hari ini. Dia kemudian melangkah pergi sebelum perasaan dongkolnya semakin menjadi.
•••
Saat jemarinya memutar kunci pintu rumah, Risa merasa jika Rendi belum pulang. Rumahnya masih petang, meja makan pun terlihat rapih seperti ketika ditinggalkan pagi tadi. Saat dia membuka kamar Rendi, lelaki itu tidak ada di sana.
Risa lantas melotot, memikirkan sesuatu yang tidak-tidak. "Awas saja kalau dia macam-macam."
Kakinya melangkah cepat menuju kamar, memeriksa apakah wasiat dari Harjusono masih utuh di tempatnya atau tidak. Dia menjadi was-was mengingat karakter Rendi yang menginginkan kenyamanan seumur hidup. Risa takut jika adik angkatnya nekat menemui Pengacara Hasan dan menyetujui isi wasiat tersebut.
Ketika Risa menarik laci, dokumen itu masih utuh. Risa mengembuskan napas lega. Untunglah kekhawatirannya beberapa saat lalu tidak benar, dan dia salah menilai Rendi.
Sudah hampir pukul sepuluh malam, Rendi belum juga pulang. Lelaki itu bahkan tidak menghubungi Risa sejak pagi, sementara beberapa panggilan Risa sama sekali tidak terhubung.
Lalu tiba-tiba saja, perutnya bergejolak. Risa tertawa mendengar bunyi yang cukup keras dari dalam sana. Tangannya mengelus perut sebelum berbicara, "nggak habis pikir, bisa-bisanya aku lapar di saat seperti ini?" kemudian dia berdecak sebelum beranjak mengambil dompet.
Beruntung sekali rumah yang Risa tinggali cukup dekat dengan jalan utama dan dia tidak perlu keluar lebih jauh untuk mencari makanan. Sekitar seratus meter dari rumah, barisan penjual makanan sudah bisa Risa temukan.
"Mau makan apa, ya?" ujarnya sembari melihat gerobak-gerobak yang berbaris rapih.
Tepat di sebelah kirinya terdapat gerobak sate ayam dan kambing. Aromanya gurih dan wangi. Di sebelah gerobak sate, tukang ketoprak sedang mengulek kacang tanah, tersedia beberapa wadah berisi bihun, tauge dan tahu tempe goreng, sementara rak atas dijadikan wadah lontong dibungkus daun pisang.
Risa melewati kedua makanan berbumbu kacang tersebut, lantas mengambil langkah sedikit lebih jauh ke dalam warung soto yang paling ujung. Berbeda dari gerobak lainnya yang ramai, warung itu lebih sepi. Hanya ada dua pengunjung yang barusaja pergi sebelum Risa memesan semangkuk soto ayam.
"Tumben sepi, Bu?" tanya Risa berbasa-basi. Dia lantas mengambil teh botol dingin dari freezer.
"Lho, sekarang udah jam berapa toh, Ris? Kamu tuh dateng malem-malem begini," cibir wanita gemuk itu dengan gurauan. Kedua tangannya terampil meracik, membuat soto ekstra besar untuk pelanggan terakhirnya.
"Tau nih, Bu. Tiba-tiba laper banget, hehe."
Seseorang di sana tersenyum mendengar alasan Risa, kemudian masih dengan celemek polos di badannya, dia melangkah membawa semangkuk soto di atas nampan, kemudian meletakkannya di meja Risa. Gadis itu ternganga sembari melepas kacamatanya sebelum berseru, "wah! Ini porsi berapa orang, Bu? Nggak bakal abis ini."
"Kalau begitu mau berbagi?" godanya sembari mengambil duduk di kursi depan Risa.
Risa lantas melihat orang itu sembari menuang empat sendok sambal ke dalam soto dan mengaduknya beberapa kali.
"Anda siapa?" tanya Risa. Dia kemudian menyeruput kuah soto pedas tanpa mengalihkan pandangan dari pria berambut gondrong di depannya.
"Pekerja baru di sini," katanya.
"Oh ...." Risa mengangguk.
Perempuan itu lantas tidak mengacuhkan pria yang memandangnya dengan senyum. Risa terus melahap soto pedas sesendok demi sesendok hingga keningnya mulai berkeringat. Hidungnya pun sesekali berlendir dan membuatnya menarik ke dalam sebab tidak ada tisu di mejanya.
"Gunakan ini," kata pria itu sembari menyodorkan sebuah sapu tangan berwarna krem. Terdapat bordiran bunga melati dan dua daun di satu sudutnya.
"Tapi ...," Risa mengelap hidungnya menggunakan sapu tangan milik pria yang memiliki tahi lalat kecil di bawah sudut mata, "kau benar-benar pelayan baru di sini?" tanya Risa dengan bahasa yang lebih akrab setelah dia mengetahui posisi pria itu.
"Memangnya kenapa?" tiba-tiba pria itu menjadi sedikit tertarik.
"Maksudku, rasanya kau tidak cocok bekerja di tempat seperti ini."
Pria itu, Danu tertawa begitu mendengar ucapan Risa. "Tempat seperti ini? Seperti apa maksudmu?" tanya Danu seraya melipat kedua tangan setelah menyenderkan punggung.
Risa menunjuk penampilan pria beralis tebal itu. "Rasanya sia-sia hanya menjadi pelayan warung pinggir jalan."
Dengan tinggi yang semampai, ditambah gaya rambut seperti vokalis band, pria itu lebih cocok bekerja di depan layar seperti model atau aktor. Bukannya menjadi pelayan di rumah soto kecil pinggir jalan.
Danu lantas mengangguki ucapan Risa dengan senyum tipis. Dia kemudian mengelus dagu sebelum berkata, "aku bukan seseorang yang bekerja menjual tampang,"
Risa berdecih. "Ternyata dia sadar dengan ketampanannya."
"Siapa namamu?"
"Erika." Risa memutuskan untuk berbohong, membuat Danu mengangkat kedua alisnya tak percaya.
Perempuan itu rupanya sangat berhati-hati dengan orang asing, hingga mengaku dengan nama yang bukan miliknya. Itu bagus, sebab di jaman sekarang sudah tidak sedikit kasus-kasus penculikan dengan mengaku sebagai kenalan. Danu sempat mengira jika Risa adalah orang yang ceroboh, tetapi dia salah.
Sesekali Risa melirik pria di hadapannya. Baginya, pria berwajah tampan itu bukan pria baik-baik. Dia tipikal orang yang gampang bergaul, berbicara dengan akrab dan membuat orang-orang nyaman. Dengan kata lain, Risa bisa memastikan jika pria gondrong itu adalah pria yang suka memberi harapan kepada wanita.
Tipe yang sangat Risa hindari, sebab selama ini dirinya sudah bertemu dengan orang macam itu dan terbukti mereka hanya bermain-main.
Sotonya sudah habis bersih setelah tadi dia bilang tidak akan bisa menghabiskan porsi sebanyak itu. Lantas Risa bangun sembari merogoh kantong celananya, mengambil uang sebesar dua puluh ribu rupiah.
"Biar ku antar. Sudah hampir tengah malam," kata Danu.
"Tidak perlu. Rumahku sangat dekat dan ramah lingkungan,"
Danu mengulum senyum. "Begitu? Baiklah."
Risa tertawa canggung setelah pria itu kembali ke dalam membereskan mangkuk dan gelas kotor di atas meja, menghancurkan tebakan Risa yang berpikir jika pelayan baru itu bakal ngotot mengantarnya pulang. Namun, sungguh di luar dugaan, pria itu seperti tidak peduli.
Editor wanita itu lantas mengambil langkah, kembali ke rumahnya mengingat waktu sudah hampir tengah malam.
Rendi belum juga pulang bahkan ketika hari sudah hampir berganti. Sebenarnya Risa sudah cukup khawatir jika sesuatu terjadi pada adiknya itu, apalagi Rendi tidak menanggapi panggilan telepon hingga sekarang.
Berita-berita soal begal di jalanan sepi masih ramai dibicarakan, dia takut Rendi menjadi salah satu korban yang tidak bisa pulang. Namun, segera dia tepis pikiran buruk itu supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pagi-pagi sekitar pukul tujuh Risa dikejutkan oleh kemunculan Rendi. Lelaki berusia dua puluh tahun itu sedang menyiapkan sarapan berupa nasi goreng dan telor ceplok kesukaan kakaknya. Dia tersenyum manis dengan wajar berseri-seri, seolah dengan begitu Risa tidak akan marah karena dirinya yang pergi selama beberapa hari tanpa kabar.
"Selamat pagi, kakakku yang cantik!"
"Kau siapa masuk rumah orang sembarangan?"
Rendi merajuk, wajah dan tingkahnya berubah menjadi manja, kedua tangan melingkari lengan Risa, sementara kepalanya bersender di bahu Risa. Sangat tidak cocok dengan usia dan tinggi tubuh serta sedikit kekar itu. Risa sampai merinding menerima perlakukan begitu.
"Ah, gila. Awas!" bentak Risa sembari mengentak rengkuhan tangan Rendi, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
"Cepat sedikit, ya ... mumpung masih hangat," kata Rendi dengan nada yang amat manja. Risa hampir muntah di dalam sana.
Bisa Rendi lihat betapa khawatirnya Risa saat dirinya pergi tanpa kabar sedikitpun. Dia tidak punya pilihan, sebab di tempat yang dia tinggali tadi malam memang terkadang sulit menyambungkan koneksi. Dan kebetulan, daya ponselnya habis.
Setelah berada di dalam selama lebih dari lima belas menit, Risa menarik kursi sebelum duduk di atasnya. Nasi goreng buatan Rendi memang menggiurkan, tetapi dia lebih tertarik dengan keberadaan Rendi kemarin sampai tidak mengabarinya.
"Jujur aja, kamu kemana kemarin?" selidiknya. Tatapan Risa mengunci gerak-gerik Rendi dengan penuh intimidasi yang membuat lelaki itu agak gelagapan.
"Itu ... aku ada tugas lapangan gitu di dekat gunung, jadi ... agak susah mau ngabarin," balas Rendi hati-hati, berusaha membuat Risa percaya dengan bualannya.
"Kamu pikir aku bakal percaya?"
"Ayolah, Kak ...," Rendi beranjak mendekati Risa, dan saat dirinya berada di sebelah Risa, kedua kakinya segera menekuk. Lututnya menyentuh lantai, memohon belas kasih sang kakak. "Aku janji akan baik padamu ke depannya."
"Nggak tahu deh, soalnya kamu sering bohong padaku." Risa lantas beranjak meninggalkan Rendi yang masih berlutut di sana. Menuju kamar dan mengunci pintu supaya Rendi tidak bisa masuk.
"Ris! Risa! Maafin aku! Cuma sekali ini aja sumpah!" Rendi berteriak keras seraya menggedor pintu hingga suaranya terdengar sampai rumah sebelah.
"Bisa diam, nggak? Masih pagi, jangan bikin ribut!" seru Risa dari dalam. Dia kesal, tetapi tidak bisa menahan tawa. Sebisa mungkin Risa meredam suaranya agak tidak terdengar.
Adiknya itu memang perlu diberi pelajaran sampai dia merasakan jera. Lantas kemungkinan besar tenis tidak akan mengulangi perbuatannya.
Lelaki itu memang sudah dewasa, tetapi kerap kali dia bertingkah seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan membenarkan semua hal.
•••
Hari ini Risa mendapat tugas mengunjungi villa di dekat Pantai Gigi Hiu. Lokasinya sedikit lebih jauh dari pantai wisata yang ramai pengunjung. Namun, tentu saja pantai di villa tersebut sama indahnya dengan Pantai Gigi Hiu.
Sebelum berangkat ke sana, Risa terlebih dulu mampir ke warung soto. Tangan kanannya membawa tas kecil berisi sapu tangan yang semalam dia bawa. Setelah mencucinya bersih dan kering dalam waktu beberapa jam, benda itu harus kembali ke pemiliknya.
Bu Harti, pemilik warung soto itu kebingungan dengan pertanyaan Risa. Gadis itu datang membawa sebuah sapu tangan yang diklaim sebagai milik pria berambut panjang, pekerja baru di warung soto miliknya.
"Kamu ini ngomong apa sih, Ris?" Tanya Bu Harti. Dia masih belum mengerti tentang pegawai barunya. Tidak, Bu Harti sendiri merasa tidak pernah membuka lowongan pekerjaan.
"Pekerja baru di warung, Bu. Semalam juga dia yang nganterin soto," kata Risa kekeuh. Pikirnya Bu Harti sudah mulai pikun. Iya, wajar saja, wanita itu sudah lebih dari lima puluh tahun.
"Ris, dengerin Ibu. Warung soto Ibu kan nggak besar-besar amat dan Ibu masih sanggup menjalankannya sendiri. Kamu salah kali, ah!" seru Bu Harti menyangkal semua omongan Risa. Tangannya menepuk pundak gadis itu beberapa kali sebelum mendesah dengan perasaan kasihan terhadap gadis yatim piatu di hadapannya.
Bagaimana tidak, di usia semuda itu Risa sudah menjadi seseorang yang terbilang mapan. Pekerjaan tetap dengan gaji bulanan tinggi. Meski masih menyewa rumah, Bu Harti yakin isi rekening milik Risa tidak terbayangkan jumlahnya.
Padahal wanita itu tidak tahu sebesar apa pengeluaran Risa dan adiknya setiap bulan. Bayar kuliah Rendi, membeli kebutuhan dapur dan lain-lain.
Selama perjalanannya di bus menuju kantor, pikiran Risa dibuat melayang-layang mengingat ucapan Bu Harti yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi semalam. Jelas-jelas ada seorang pria yang mengaku sebagai pekerja baru. Dia juga memakai celemek yang sama dengan Bu Harti. Lantas, kenapa wanita baya itu menyangkal?