Bab 4

1872 Kata
Risa terbangun tepat pukul enam pagi, sedetik setelah alarm berbunyi. Jantungnya masih berdetak tidak karuan, dan dia merasa lelah tanpa alasan. Risa melihat ke sekeliling, memastikan keberadaan dirinya saat ini. Saat dia sadar tengah berada di dalam kamar, desahan lega keluar dari mulutnya. "Mimpi apa itu tadi? Horor sekali," kata Risa bergidik. Dia lantas beranjak dan membasuh wajah di kamar mandi. Ketika melihat cermin, Risa teringat seorang pria yang hadir di dalam mimpinya. "Wah!" jeritnya. Risa merinding mengingat bagaimana wajah pria yang dingin itu mendadak tersenyum ramah saat dirinya masuk ke dalam rumah dengan paksaan. "Ja-jangan-jangan, dia setan!" Risa berlari keluar dari kamar mandi sembari berteriak. Membuat Rendi keheranan saat baru saja keluar dari kamarnya. "Pagi-pagi sudah bikin masalah," kata Rendi lalu berdecak. Dia menguap sembari tangannya menggaruk punggung. Lelaki itu lantas ke kamar mandi menyelesaikan rutinitas pagi, lalu menunggu Risa membeli sarapan. Sebelum pukul tujuh, Risa kembali membawa dua bungkus nasi uduk yang dia beli di warung depan kost-an. Hari ini dia mempunyai tugas di luar kantor bersama Bayu, fotografer majalahnya. Dikarenakan mereka harus berangkat lebih pagi, Risa tidak bisa masak seperti biasa. "Berdua cuma dengan Bayu? Apa nggak masalah?" tanya Rendi di sela-sela makannya. Suara serta tatapannya meledek. "Kenapa jadi masalah? Memangnya kenapa kalau cuma berdua?" Rendi mendesah masih dengan mulut penuh nasi uduk. Dia lantas menelannya bulat-bulat dan berkata, "sudah kubilang orang itu suka padamu, percaya padaku." "Mau jadi apa aku kalau mempercayai seseorang seperti dirimu," Kata Risa mencibir. Dia lantas menyudahi sarapannya dan bergegas keluar setelah Bayu mengiriminya pesan singkat. Pria itu sudah menunggu di jalan depan. "Hah ... dasar perempuan bodoh. Sudah hampir tiga puluh tahun tapi nggak sadar dengan hal-hal semacam itu." Bagi Rendi, Risa itu wanita cantik yang tidak gampangan. Sayangnya, dia sedikit bodoh dan tidak bisa mempercayai omongan orang dengan mudah. Termasuk soal wasiat yang datang beberapa waktu lalu, Rendi sedikit merasa jengkel saat Risa bersikeras menolak rejeki nomplok tersebut. Padahal sedikit lagi dia bisa hidup tenang tanpa khawatir akan masa depannya. Namun, Risa membuatnya semakin terpuruk. Setelah Risa berangkat, Rendi membuka dokumen yang ditinggalkan oleh Pengacara Hasan. Dia melihat berapa banyak keuntungan yang didapat jika Risa menyetujui wasiat tersebut. Sebuah rumah dan lahan yang luas, pantai pribadi yang terletak di kaki Bukit Awan. Semua itu terletak jauh dari hiruk-pikuk perkotaan yang ramai, lebih pelosok daripada desa terpencil. Namun, seluruh harta yang tertulis membuat Rendi berliur. "Bayangkan betapa nyaman masa depanku kelak!" Sungguh sia-sia jika wasiat seperti itu ditolak. Dia tidak ingin Risa menderita seumur hidup, pun tak ingin Risa menolaknya karena takut akan menyesal. Rendi bisa menjamin jika Risa tidak akan pernah menyesal. Lantas, pikiran liciknya muncul untuk menyetujui isi dari wasiat tersebut. Benar, jika Risa bertindak gegabah, maka dirinya yang harus turun tangan. Sekitar pukul delapan dia mendatangi firma hukum milik Pengacara Hasan. Rendi berhadapan langsung dengan Hasan yang bertingkah seolah dirinya kedatangan tamu yang sangat dinantikan membawa keputusan baik. "Anda mengambil keputusan yang tepat." Hasan mengambil dokumen yang diberikan oleh Rendi, kemudian menyandarkan punggungnya di sofa. Rendi tampak tersenyum cukup puas. "Setelah saya pikir-pikir, ternyata saya harus menandatanganinya." "Bagus. Kesempatan seperti ini tidak boleh anda sia-siakan. Lagi pula semua isi wasiat ini memang ditujukan kepada anda, Mbak Risa." Rupanya, seseorang yang kini dilihat Pak Hasan bukanlah Rendi, melainkan Risa. "Iya, 'kan?" Mereka berdua saling berjabat tangan, menandakan semuanya sudah jelas dan pasti. Rendi sudah mewakili Risa tanda tangan, tinggal menunggu mereka pindah ke tempat yang dimaksud. ••• Memakan waktu hingga tujuh jam dari pusat Kota Bandar Lampung, melewati jalan aspal yang berliku-liku dan naik-turun gunung. Selama itu pula hanya ada rimbun hutan di kanan dan kiri jalan. Mencekam, seperti jalan menuju lembah kematian. Rendi telah sampai di tujuan, rumah besar dengan halaman luas yang ditumbuhi rerumputan kecil yang hijau. "Hm ... segar sekali di sini." Rendi menghela napas, menghirup dalam-dalam udara bersih di tempat itu. "Bukankah di sini terasa damai dan nyaman?" Rendi mengangguk setuju. Siapa pun yang datang ke tempat itu pasti tak ingin pulang. Rendi pun merasa demikian. Tempatnya sunyi dan bersih, udaranya masih terjaga, meski jauh dari peradaban dunia yang bersinar, tempat itu memiliki pesonanya sendiri. "Kalau begitu, saya akan menemui pemiliknya terlebih dulu, Pak." Rendi lantas berjalan masuk ke dalam rumah yang keseluruhan terbuat dari kayu jati bercat coklat, sementara Pengacara Hasan kembali ke dalam mobil yang diparkir di pinggir jalan. Sembari menunggu Rendi menuntaskan keperluannya, Pak Hasan berdiam diri sembari memandangi jalanan di depannya yang sepi. Tidak ada penduduk lantaran rumah itu adalah satu-satunya bangunan yang ada di sana. Namun, Pak Hasan tidak bisa berpikir dengan luas. Dia merasa itu adalah hal normal yang ada di kota tempat dia berada. Tak berapa lama kemudian, ponselnya bergetar. Pengacara yang bertingkah sedikit aneh itu lantas pergi setelah membaca pesan teks yang dia terima. "Wah, bisa-bisa Risa mabok kalau perjalanannya sampai tujuh jam!" seru Rendi sembari melangkahkan kaki. Tangannya bergerak membuka pintu tanpa ijin, seolah dirinya sudah sangat akrab dengan rumah itu hingga masuk tanpa meminta persetujuan. Ruang tamunya cukup luas dengan furnitur yang sebagian besar terbuat dari kayu. Seperti kursi empuk berbingkai kayu jati, begitu pula dengan mejanya. Bahkan lampu meja yang terletak dipojok ruangan pun batang dan tudungnya dibuat dari kayu. Pria yang tengah duduk di kursi itu melirik Rendi tanpa merasa terkejut, bahwa ada orang asing memasuki rumahnya. "Tidak ada sambutan untukku?" "Cepat katakan apa urusanmu dan pergi." Rendi mendesah kecewa. Membuat basa-basi dengan pria itu adalah keputusan yang bodoh. Dia pikir Danu akan sedikit menyambutnya dengan hangat, tetapi sikap dingin pria itu sudah tidak tertolong. "Padahal aku sudah berbuat curang," kata Rendi dengan sedikit penyesalan terhadap Risa setelah mendapat perlakuan tidak baik dari Danu. "Kau ada memang untuk berbuat curang," sahut Danu bagai cemoohan bagi Rendi. "Kau tahu tidak sih, kalau kau sangat-sangat menjengkelkan?" suaranya terdengar jengkel. Giginya menggertak saat berkata demikian, menahan rasa ingin meremas-remas Danu seperti kertas. Danu melepas kacamata, kemudian meletakkannya di atas buku yang barusan dia baca. Matanya memandang Rendi yang terlihat jengkel dan seperti ingin meledak. Dia heran, mengapa orang-orang seperti Rendi selalu mengharapkan sikap seseorang sesuai dengan keinginannya, sementara mereka sendiri tidak sadar dengan sikap mereka terhadap orang lain. "Kau ingin aku bersikap seperti apa?" Danu menyilangkan kaki, "seperti dirimu?" "Sudah cukup. Rasanya sia-sia berbicara dengan orang seperti dirimu. Bagus, jangan pernah berubah. Tetaplah seperti itu sampai keinginanmu untuk mati bisa tercapai." Sudut bibir Danu sedikit terangkat, menampilkan senyuman kesal setelah mendengar ucapan Rendi. Entah mengapa ucapan lelaki itu mengusik pikiran, hingga membuatnya berada di posisi sebagai seseorang yang memaksa diri untuk bersikap tak acuh. Terkadang dirinya yang lain memang begitu berbeda dengannya. Rendi memiliki pribadi yang berbanding terbalik dengan Danu. Jika mereka adalah satu kesatuan yang utuh, seharusnya Rendi memiliki karakter yang sama. Namun, Danu merasa perwujudan dari tangan kanannya itu bukanlah dari dirinya. ••• Kali ini Risa dan Bayu memiliki tujuan ke Pantai Mutun untuk mengisi tajuk utama majalah mereka. Tak lebih dari satu jam perjalanan mereka tiba di tujuan dengan beberapa peralatan fotografi. Hari ini cukup lengang lantaran mereka datang di hari biasa, bukan akhir pekan. Pengunjung yang datang tidak seperti biasanya, mereka bisa memanfaatkan beberapa fasilitas tanpa keramaian. Tiba-tiba saja Risa merasa sesuatu mengganjal di hatinya. Dia menjadi terpikirkan berkas-berkas yang ditinggalkan di laci meja. Rendi memang terkadang sulit dikendalikan, tetapi dia tidak mungkin bertindak sejauh itu dan menyebabkan hidupnya susah. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Bayu. Dia membawa hasil jepretan pantai yang mengarah ke sebuah pulau di sebelah selatan. "Bukan apa-apa. Bagaimana? Apa kamu sudah memotret banyak hal?" "Lumayan. Lihat ini," ujar Bayu sembari memperlihatkan hasil jerih payahnya selama tiga puluh menit. "Wow, nggak bisa diragukan lagi. Majalah kita menjadi indah karena jepretan Bayu Atmawijaya!" pujian Risa membuat Bayu besar kepala. Di mata Risa, semua hasil jepretan Bayu memiliki cerita dan suasana sendiri. Ketika dia melihat beberapa fotonya, Risa bisa merasakan banyak emosi di dalamnya. Terkadang dia merasa hangat, terkadang dia merasakan sedih dan hampa. "Bisa nggak kamu tulis sesuatu yang indah untuk foto ini?" "Serahkan padaku! Ayo kita naikkan penjualan bulan ini!" Bayu tertawa melihat keteguhan Risa. Wanita itu sangat mudah merubah karakternya hanya dengan dukungan dari orang lain. Bayu heran, mengapa Risa bisa begitu padahal hidupnya tidak jauh dari yang namanya kemiskinan. Tiba-tiba saja Bayu penasaran soal wasiat yang Risa katakan terakhir kali. Dia ingin tahu apakah Risa menerimanya atau tidak. "Soal wasiat itu ... bagaimana kelanjutannya?" tanya Bayu hati-hati. Dia meletakkan kamera Fujifilm GFX 50S miliknya di sebelah kanan. Mereka tengah berada di bawah gazebo dengan sewa dua puluh ribu sampai puas. Sebelum memberikan jawaban, Risa mendesah terlebih dulu. "Aku nggak tahu, Bay. Aku bahkan berharap jika semua itu cuma mimpi, tetapi ternyata bukan." Bayu menjadi merasa tidak enak setelah bertanya. Rupanya mengungkit soal wasiat membuat Risa agak frustrasi. Wanita berusia dua puluh enam tahun itu mendadak diam dengan embusan napas kasar beberapa kali. "Baiklah, lupakan soal wasiat. Ikuti aku. Akan kurubah perasaanmu yang kelam itu." Bayu lantas memasukkan kameranya ke dalam tas, setelah itu beranjak ke sisi selatan diikuti Risa. Wanita itu tidak begitu antusias, tetapi dia tidak ingin membuat Bayu merasa sia-sia bekerja dengannya di luar kantor. Mereka bertelanjang kaki, sementara sepatu mereka ditinggal di bawah pohon cemara laut yang tingginya baru mencapai dua meter. Mereka berjalan berdampingan di atas pasir putih, meninggalkan jejak yang hilang saat ombak menyapu. Suara debur ombak begitu riuh tetapi menenangkan, sementara airnya terasa hangat saat menabrak kaki. Betul kata Bayu, Risa menjadi lebih damai saat merasakan semua itu. Dia seolah lupa dengan wasiat dan beban yang selama ini ada di pundaknya. Sebelum tengah hari, mereka berdua kembali ke kantor. Bayu sudah membawa banyak foto, sementara Risa sudah mewawancarai beberapa pengunjung yang datang. Hasil dari wawancaranya akan dimasukkan sebagai naskah utama yang dilampirkan foto dari Bayu. "Ini dia oleh-oleh dari Pantai Mutun ...." Risa membagikan sebuah gantungan kunci yang terbuat dari kayu, ukirannya berbentuk kerang-kerangan dan ikan. Dia membelinya beberapa buah untuk di bagian kepada semua rekan kerjanya. "Terima kasih, Sayang," ujar seorang wanita berusia tiga puluhan. Dia seorang editor istri Pak Agus, bosnya. "Cocok sekali untuk tasku!" seorang wanita berseru sembari menunjukkan gantungan kunci berbentuk ikan lumba-lumba yang sudah dia pasang di tasnya. Senyumnya merekah, memberikan reaksi puas kepada Risa. "Ternyata selera Sang Fotografer bisa diterima semua orang ya," cibir Risa begitu mendengar Monica, sahabatnya, puas degan lumba-lumba pilihan Bayu. Wajah Monica berseri-seri setelah mendengarnya. Dia memang memiliki perasaan terhadap Bayu, tetapi tidak ada yang tahu soal itu. Ketika Monica tahu jika si lumba-lumba adalah pilihan Bayu, dia merasa sedikit ada kemajuan. "Lagipula siapa yang nggak suka dengan lumba-lumba?" Sahut Bayu dengan nada agak tinggi. Dia tidak suka dipuji, apalagi di hadapan orang-orang. "Aku, aku lebih suka hiu! Rawr!" Risa bertingkah seolah dia akan melahap Bayu dalam sekali gigitan. "Uh, oke, oke." Bayu lantas pergi tak ingin mendengar hal-hal konyol selanjutnya. Lebih baik pergi ke ruangannya mengedit hasil jepretannya sebelum petang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menulis hasil wawancara. Risa telah belajar banyak dari senior-seniornya dulu seperti, harus menambahkan sesuatu yang murni dari dalam hatinya, tanpa mengubahnya sedikitpun. Selain target penjualan, Risa diajari untuk menarik perhatian orang-orang atas apa yang dia tulis. Dia harus menulis dengan rasa nyaman, juga dengan kejujuran yang membuat orang percaya. Mungkin jika isi wasiat itu lebih manusiawi, Risa bakal percaya. Seperti dia harus membantu si pemilik rumah, alih-alih mengabdikan hidup selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN