Risa baru saja selesai memunguti cabai merah yang berserakan di tanah, sementara keranjang yang terbuat dari bambu itu terguling seperti terjadi perampokan. Jika tidak salah, beberapa waktu yang lalu dia melihat Rendi membawa keranjang itu dari rumah. Lantas, ke mana perginya lelaki itu meninggalkan semua kekacauan ini?
"Apapun yang dia lakukan nggak ada yang beres!" geram Risa sembari menggendong keranjang di antara lengan dan pinggangnya.
Ketika hendak masuk melalui pintu samping, Rendi datang dengan wajah ditekuk. Hidung serta alisnya mengerut, bibirnya menggerutu tak jelas dengan langkah kaki yang terdengar seram.
"Kenapa lagi tuh anak?" Risa berbalik arah, menghampiri adiknya dengan rasa penasaran.
"Dari mana kamu? Bisa-bisanya ninggalin semua ini berantakan di tanah."
"Diem. Aku lagi nggak pengin ngomong!"
"Hm ...." Risa menghela napas dan menggelengkan kepala melihat Rendi yang berlalu begitu saja.
"Dasar orang nggak waras! Bikin jengkel aja!" Cemoohan kasar itu keluar dari mulut Rendi, Risa dengar dengan jelas.
"Siapa yang nggak waras? Si Danu itu?"
Tidak salah lagi, pikir Risa. Danu memang sedikit tidak waras dengan semua karakter yang selama ini dia tunjukkan.
"Bukan! Cuma orang gila!" Teriakan Rendi membuat Risa berjingkrak.
"Lalu siapa lagi? Di sini cuma ada kita bertiga!"
Terlanjur kesal dengan tingkah laku adiknya yang sedang dalam perasaan buruk, Risa membawa pergi keranjang itu ke dalam rumah. Baru saja dia merasa lebih baik telah berbelanja banyak kebutuhan hingga bertemu Bayu secara kebetulan, kini sang adik membuat suasana hatinya naik turun lagi.
Bahkan ketika dirinya baru saja masuk dan meletakkan keranjang di atas meja dapur, Risa dikejutkan dengan suara Danu dari belakang. "Tolong buatkan kopi pahit, antar ke atas." Pria itu melangkah naik ke atas.
"Baik," sahutnya. Tanpa tambahan gula.
Seperti arahan sang tuan setelah Risa melakukan kesalahan dulu, menambah satu sendok makan dan dua sendok kopi, kini perempuan itu cukup memasukkan dua sendok kopi ke dalam cangkir tanpa tambahan gula. Tak lama kemudian, teko air berbunyi, tanda sudah mendidih.
Tidak hanya mempermasalahkan takaran kopi, pria yang menyukai rasa pahit itu juga meminta air panas yang baru diangkat dari kompor. Jadi, setiap kali Danu meminta kopi, terlebih dulu Risa merebus air cukup untuk satu cangkir.
"Ah ... sumpah, dia kayak orang tua yang hobinya merengek."
Akan tetapi, itu adalah pekerjaannya. Bersih-bersih rumah, memasak, bahkan ketika Danu menyuruhnya membuat kopi dengan segala kerumitan yang ada, dia harus menjalankan kewajiban sebagai pelayan rumah.
Gajinya terlalu besar, lima juta perbulan. Agak mencurigakan memang, tetapi mengingat dirinya yang tidak bisa ke mana-mana, nominal itu menjadi wajar. Akan sangat tidak tahu diri jika Risa melalaikan satu tugas hanya karena tidak suka dengan sang majikan.
Sesampainya di lorong lantai dua, Risa membuka pintu, satu-satunya akses menuju kamar tuannya dan juga balkon luas yang menerima sinar mentari maupun guyuran hujan yang terkadang jatuh tanpa bisa diperkirakan.
"Wah ... aku masih aja nggak terbiasa sama desain rumah ini."
Satu-satunya pintu di lorong itu, adalah pintu yang terhubung langsung ke balkon. Saat itu Risa bingung, mengapa dia keluar ke balkon, bukannya masuk ke kamar Danu?
Rupanya, di samping kanan dan kiri pintu itu terdapat pintu lainnya. Yang sebelah kanan adalah pintu kamar Danu, sementara yang sebelah kiri adalah ruangan misterius bagi Risa. Sebab selama ini dia belum pernah berhasil masuk ke dalamnya. Meski tidak tampak terkunci, ia tidak bisa dibuka. Bahkan ketika secara kebetulan terbuka, tiba-tiba Danu keluar seolah-olah lelaki itu tahu apa yang akan Risa lakukan.
Pada ketukan ketiga, Danu membuka sedikit pintu kamarnya, mengambil alih secangkir kopi dari tangan Risa.
"Terima kasih," ucapnya.
"Iya," balas Risa. Matanya mencoba mengintip ke dalam, tetapi Danu buru-buru menutup pintu. Dia mencebikkan bibir.
"Hah ...."
Risa menghela napas, lalu berjalan ke depan, ke pinggiran balkon dan bersender di pagarnya, menikmati semilir angin dan pemandangan hijau milik puncak-puncak pepohonan yang luasnya tidak terkira.
Ini indah, indah sekali.
Tanpa perempuan itu sadari, Danu membuka sedikit pintunya, memerhatikan Risa dari dalam kamar tanpa ingin diketahui.
"Apa yang akan terjadi jika dia tahu semuanya?"
•••
Sudah beberapa hari berlalu, Bayu sering terjaga hingga tengah malam memikirkan majikan Risa yang mencurigakan. Mau bagaimana dia berpikir, lelaki itu tidak memiliki kemungkinan untuk menjawab keterikatan seperti apa di antara Risa dan majikannya?
Beberapa kali Bayu ingin menghubungi Risa dan menanyakan hal itu, tetapi selalu dia urungkan, sebab mungkin saja itu hanya kebetulan yang tidak diduga-duga.
"Risa pernah cerita soal majikannya, nggak?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Bayu ketika Monica baru saja menyimpan lipstiknya di dalam tas.
Perempuan cantik itu mengangguk. "Selain dia misterius, aku nggak tahu soal apapun. Kamu bilang beberapa hari yang lalu bertemu dengannya di Pringsewu?"
"Ya ... memang ...," suaranya menjadi pelan, "tapi ada hal yang mengganjal bagiku."
"Misalnya?" Monica menjadi penasaran.
"Kamu ingat kejadian saat Risa hampir tenggelam di Pantai Gigi Hiu?" Pertanyaannya diangguki Monica. "Pria yang menyelamatkannya mirip dengan pria yang kemarin kutemui, majikannya."
Pelipis Monica tiba-tiba berkedut, sedikit kaget dengan apa yang dikatakan Bayu. "Jangan-jangan mereka berjodoh?" celetuknya.
"Bukannya aneh?" tanya Rendi tak yakin.
Monica mengendikan bahu, lalu membawa tasnya dan bergegas pulang sebelum kehabisan es campur di warung Pak Sito.
"Tapi ... gimana penampilan orang itu?" Tiba-tiba Monica berhenti.
"Dia ... lumayan menonjol dengan potongan rambut berwarna coklat kehitaman," balas Bayu. Dia lalu menjentikkan jari ketika mengingat sesuatu. "Dia tidak punya tangan kanan."
Pikiran Monica melayang entah kemana setelah mendengar perkataan Bayu, tetapi tak berlangsung lama perempuan itu melamun, lantas berkata, "yah, nggak sesuai bayanganku."
Mendengarnya membuat Bayu tak bisa berkata-kata. Monica memang tipe orang yang pemilih, tetapi dia tidak menyangka jika perempuan itu bisa berterus terang tanpa peduli bagaimana orang-orang akan memandangnya.
Monica pikir Bayu akan menceritakan bagaimana kesempurnaan majikan Risa yang mungkin saja menjadi target masa depan. Akan tetapi, rupanya dia bukan orang yang sempurna. Hanya pria kaya dengan rambut gondrong yang kaya raya dan tidak mempunyai tangan kanan.
Nggak cocok untuk dipamerkan orang-orang.
•••
Lusa adalah hari ulang tahun Risa. Perempuan itu akan segera berdiri di usia dua puluh delapan tahun, usia yang sudah dianggap matang untuk membina hubungan rumah tangga. Namun, agaknya tidak dengan Risa. Dia sama sekali belum siap secara mental maupun finansial, masih banyak hal yang harus dia lewati sebelum masuk ke tahap itu.
Pada saat ulang tahunnya yang ke dua puluh enam, dia pergi bersenang-senang dengan Monica, bernyanyi di tempat karaoke, bermain banyak wahana di pasar malam dan ditutup dengan acara makan besar meski menunya terbilang sederhana.
"Aku ingin merayakannya lagi dengan Monica," ungkapnya dengan suara pelan.
Ulang tahunnya kemarin, Risa sudah tidak merayakannya dengan Monica lantaran dirinya tidak bisa pergi meninggalkan rumah. Waktu itu dia belum bertemu dengan Danu, oleh sebab itu Risa enggan meminta cuti. Dan tahun ini, sepertinya tidak ada pesta lagi.
"Padahal uangku banyak banget. Membayar tagihan restoran mahal pun aku nggak keberatan," ujarnya dengan ekspresi sombong. Akan tetapi, Risa mendesah setelahnya. Merasa sia-sia dengan kesombongan yang dia miliki sementara waktu ini.
"Aku nggak mengharapkan hadiah apapun, tapi kayaknya senang juga kalau tiba-tiba ada kejutan buatku."
Seperti tahun kemarin.
Tiba-tiba ada beberapa bungkus bibit tanaman dengan gambar bunga bermacam-macam jenisnya. Ada bunga matahari, mawar, marigold hingga bunga Hortensia yang sulit dirawat.
Semua bunga itu sudah bermekaran, kecuali bunga Hortensia yang selalu mati ketika baru bertunas. Mereka semua membuat halaman depan terlihat lebih indah dan berwarna warni, seperti taman yang tiap hari dikunjungi para lebah.
Semua keindahan itu diberikan oleh seseorang secara diam-diam, membuat Rendi terpaksa mengakui jika kejutan itu pemberian darinya. Sampai sekarangpun, Risa masih belum tahu jika bunga-bunga yang kini mekar di taman itu pemberian dari Danu.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, kepala Rendi muncul dengan senyum lebar di bibirnya. Ada yang aneh dengan itu, batin Risa.
"Dua hari lagi kan Kakak ulang tahun," kata Rendi masih berdiri di ambang pintu.
Risa bisa menebak jika adik laki-lakinya punya permintaan, dilihat dari bagaimana dia berbicara dengan suara lembut dan memanggil Risa dengan sebutan kakak.
"Kamu mau apa?" tanya Risa curiga.
"Lho, kan Kakak yang ulang tahun ... kenapa tanya aku ...."
Risa mulai geram. "Udah cepet ngomong. Aku nggak mau liat tingkah konyol begitu."
"Beneran?" Rendi menaikkan sebelah alisnya. "Nggak nyesel?"
"Ngomong, nggak?" ancam Risa.
"Kalau gitu ... aku mau buku komik pemberian Bayu dulu."
"Nggak!" Pungkas Risa secepat kilat.
Dia bakal terima kalau Rendi meminta sesuatu yang bisa dibuat, seperti memasak dan lainnya. Namun, jika lelaki itu meminta komik keluaran tahun 2005 pemberian Bayu, Risa tidak akan menuruti permintaan adik satu-satunya itu.
"Dasar pelit." Rendi mencebikkan bibir seraya memicingkan mata. Dia lalu pergi dari kamar Risa setelah menutup pintu dengan kasar.
"Berani-beraninya dia minta yang satu itu."
Ada alasan mengapa Rendi meminta komik berkisah perjalanan panjang seorang ninja tersebut. Beberapa hari yang lalu dia menemukan sebuah postingan yang mencari komik yang sama. Pemilik akun mengatakan akan membelinya meski dengan harga puluhan kali lipat. Siapa yang tidak tergiur melihatnya?
Dengan mata penuh kobaran api, Rendi menghabiskan segelas air dingin tanpa mengalihkan pandangan dari lorong kamar Risa, seakan-akan dia bisa menembakkan laser panas ketika Risa keluar.
"Matamu hampir copot," Danu datang dengan ejekan. Dia sangat tahu jika tangan kanannya itu sedang berada dalam suasana hati yang buruk sehingga kedua matanya melotot.
"Ah, gila. Dia pelit banget." Rendi frustrasi di akhir ucapannya setelah meletakkan gelas dengan keras, bahkan mampu mengalihkan pandangan Danu yang semua memerhatikan dirinya.
"Sekarang apa yang kau minta?" Pertanyaan Danu barusan membuat Rendi memelototinya.
"Memangnya aku pernah minta-minta sama dia sebelumnya?"
Danu mengangkat tangan kirinya, melebarkan kelima jari yang dia miliki dan bertanya, "mau kuhitung satu persatu semenjak kau muncul di hidupnya?"