Bab 11: Kekecewaan yang Menggumpal

1371 Kata
Mr. Green sampai di rumahnya menjelang makan siang. Ia disambut gonggongan Bonbon yang nyaring. Dari kandangnya di sudut garasi, ia melompat-lompat. "Dad!" teriak Emily yang melihat sang ayah masuk pekarangan rumah mereka. Anak itu keluar begitu mendengar suara Bonbon menyalak dan deru halus mobil yang sangat dikenalinya. "Hai, Em," jawab sang ayah. Laki-laki itu mematikan mesin dan turun dari kendaraan. Pintu ditutup perlahan dan tidak lupa menekan tombol kunci. Ia menghampiri putri cantik yang sudah menyambutnya dengan senyum ceria. "Bagaimana Mbok Sekar?" "Bagaimana apanya?" "Dia akan kembali ke sini?" "Ya, semoga." Emily mengerutkan dahi. "Kenapa seperti itu, Dad?" Mr. Green mengangkat tubuh berisi anak itu dan menggendongnya di d**a. "Kalau Mbok Sekar sayang sama Em, pasti dia akan kembali. Tenang saja," hibur Mr. Green sambil mengerling dan menowel ujung hidung si anak yang kemerahan. Emily terkikik. "Kira-kira Mbok Sekar mau jadi Mommy-ku tidak?" Sang ayah dibuat gatal kepala. Bagaimana tidak, Emily benar-benar tidak bisa diberi penjelasan. "Em, percayalah, menikah itu tidak mudah." Mr. Green ingat betul, hidup berumah tangga benar-benar harus menjadi bijak. Andai saja salah satu egois, maka kejadian nahas yang telah menimpanya, bisa-bisa akan terulang. "Menikahlah dengan Mbok Sekar!" "Em...!" Suara Mr. Green menggantung. Emily paham jika sang ayah sudah mengeluarkan nada tergantung seperti itu. Jadilah, sebuah kecupan didaratkan Emily ke pipi Mr. Green. Mr. Green tersenyum senang. Membalas kecupan kecil sang putri dengan ciuman basah di seluruh wajah Emily. Sang anak tertawa. Tawa Emily terhenti saat ada suara anak anjing. Emily mencari-cari, dari mana kira-kira arah suara kecil itu. Dan, tiba-tiba Mr. Green menepuk jidat. "Kenapa, Dad?" "Dad bawa anak anjing." "Dari mana?" Mr. Green berbalik ke arah garasi masih dengan menggendong Emily. Dibukanya pintu mobil setelah terlebih dulu menekan tombol buka kunci. Emily diturunkan. Sedangkan Mr. Green mengambil kandang kecil di kursi tengah. Anak anjing berusia sekitar 1 bulan itu terlihat memutar-mutar tubuh. Bulunya berwarna kecoklatan. Emily girang bukan kepalang. Ia bertepuk tangan saking bahagianya. Sedang si anak anjing terlihat menatap Emily dengan mata cokelat tanpa dosa. Segera, Emily meraih tubuh mungil berbulu lumayan lebat itu dari kandang. Mengeluarkan binatang itu untuk kemudian menggendongnya. "Ini hadiah dari Mbok Sekar." Emily mengerjap seolah-olah tidak percaya. Emily memeluk dan mencium binatang itu dengan sayang. Anak anjing itu terlihat mulai merasa nyaman dengan Emily. Terlihat dari ekornya yang dikibas-kibas serta lidah yang terjulur. Matanya pun terbuka sempurna. Melihat itu, Mr. Green tersenyum, lega rasanya. Setidaknya Emily akan sedikit melupakan desakannya tentang Sekar. Dan, itu akan digunakannya untuk bernegosiasi dengan gadis lugu, pengasuh Emily itu. Mr. Green mulai mencari cara konsolidasi. "Mbok Sekar tahu betul Mily suka anjing." Alarm di kepala Mr. Green yang tadi padam buru-buru bangkit. Tanda bahaya sepertinya muncul dan terdengar. Ia was-was menunggu kalimat lanjutan sang anak. Namun, ternyata anak itu lebih memilih untuk kembali membelai si anak anjing. "Ya, ya, Mbok Sekar memang pengertian." Emily tertawa mendengar ucapan ayahnya. Ia paham sang ayah sudah bosan mendengar segala celotehnya tentang Sekar. "Artinya cocok kan jadi mommy Mily?" *** Seminggu telah berlalu, Sekar juga sudah izin kepada Mr. Green melalui telepon bahwa dirinya tidak akan melanjutkan kerja. Akan tetapi Mr. Green tidak memberi tanggapan apa-apa. Ia hanya bilang akan datang setelah Sekar libur seminggu. Sekar mondar-mandir di ruang tamu. "Sudah jangan takut, hadapi saja," nasihat sang ayah. Sekar sedang memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya jika Mr. Green bersikeras mengajak kembali bekerja di rumah itu. Menurut Wayan Santika, Sekar akan terancam jika terus bekerja di sana. "Om swastiastu," teriak seseorang. Sekar kenal suara itu. Suara sang majikan. Wayan Santika bergegas membuka pintu dan mendapati seorang bule berkacamata hitam berdiri di depan pintu. Senyum manis ditebar laki-laki bule itu sedemikian rupa. Laki-laki itu membawa map. Dengan sopan, Wayan Santika mempersilakan Mr. Green masuk. Melihat itu, Sekar segera menuju dapur untuk menyiapkan kopi hitam favorit majikannya. Kopi hitam tanpa gula. Minuman yang hampir setiap pagi dinikmati pria berkulit putih kemerahan itu. Beberapa saat kemudian. "Silakan kopinya, Mister." Sekar meletakkan cangkir kopi di hadapan sang majikan. Mr. Green menganggukan kepala. "Jadi bagaimana, Sekar bisa kembali bekerja hari ini?" Mr. Green segera membuka percakapan. Sekar dan ayahnya saling pandang. Sekar duduk di samping sang ayah, berhadapan dengan Mr. Green di sofa sederhana mereka. Hatinya ditata sedemikian rupa supaya siap bicara. Apalagi bicara dengan orang terpelajar seperti Mr. Green, Sekar tidak boleh gugup. Ini bahasan serius. Sekar mengawali pembicaraan dengan alasannya ingin berhenti bekerja. Dijelaskan kepada Mr. Green, bahwa ayahnya melihat kekuatan jahat super besar yang menyelimuti rumah laki-laki itu. Sekar bilang bahwa sang ayah mengkhawatirkan keadaanya. Sebagai anak, Sekar tentu harus patuh kepada larangan orang tua. Mendengar itu, Mr. Green manggut-manggut. Akan tetapi, Laki-laki itu membuka map yang dibawanya. Ditelitinya sebentar. Kemudian, ia tersenyum. "Jadi saya bisa kan berhenti bekerja di rumah Mister?" Sekar bertanya dengan debaran jantung yang kencang. Berat sekali rasanya jika harus mengakhiri kebersamaannya dengan Emily. Mr. Green sekali lagi meneliti surat di dalam map. Lalu, ia menyodorkan lembaran itu kepada Sekar dan ayahnya. Surat berisi kontrak kerja. Di sana tertulis Sekar akan bekerja di rumah Mr. Green dengan minimal waktu 3 bulan. Apabila melanggar, Sekar diwajibkan membayar denda sebesar 10 kali lipat gajinya sebulan. Membaca surat itu, Sekar menunduk. Ada perasaan lega bercampur sedikit ketakutan yang tiba-tiba menyeruak. Lega karena akhirnya Sekar tidak harus berpisah dengan Emily. Akan tetapi, takut kalau-kalau sang ayah tetap memaksa dirinya berhenti dengan jalan apa pun. Sekar takut sang ayah melakukan hal di luar batas. "Silakan jika kamu berniat ganti rugi saya." Mendengar itu, Wayan Santika terkejut. "Berapa saya harus bayar supaya Sekar bisa berhenti bekerja kepada Anda?" Mr. Green menunjuk angka di surat tersebut. "Gaji satu bulan dikalikan sepuluh." Wayan Santika terdiam. "Mister, bisakah kami mencicilnya?" tawar Sekar. Ia tahu, ayahnya sangat bingung memikirkan bagaimana cara mencari uang sebanyak itu. Misal pun harus jual tanah, bisa, tetapi tetap perlu waktu. "Saya ingin tunai saat ini juga." "Ta-tapi, kami tidak punya uang sebanyak itu saat ini." Ada kekhawatiran yang nyata di mata tua Wayan Santika. Gurat kecemasan itu justru dimanfaatkan Mr. Green dengan baik. "Kalau begitu izinkan Sekar kembali bekerja." *** "Mister, bolehkah setelah 3 bulan saya berhenti?" tanya Sekar saat mereka sudah di perjalanan menuju rumah Mr. Green. Gadis itu akhirnya kembali bekerja karena tidak mungkin ia sanggup membayar denda yang tertera. Sekar menerima ini sebagai nasib orang miskin. "Boleh," jawab Mr. Green. Sekar lega mendengar jawaban itu. Meski berat meninggalkan Emily, tetapi hidup dalam ancaman mahkluk jahat berwujud Ellea itu tidaklah nyaman. Yang ada, setiap hari Sekar akan terus menerus diteror. "Sebenarnya apa yang saya lakukan saat sedang dirasuki... maaf, arwah Nyonya Ellea?" Sekar bertanya hati-hati. Namun, tetap saja Mr. Green terbatuk. "Ehm, kamu mau tahu yang sebenarnya?" "Iya," jawab Sekar penuh was-was. "Kita melakukannya." Sekar ternganga. "Me-la-ku-kan?" "Ya, kita melakukannya." Sekar sekali lagi tercengang. Apa benar demikian? Berarti apa yang dikatakan Wayan Suhita benar? Berbagai pertanyaan menguar di kepala Sekar. Membentuk sebuah kesimpulan rumit yang Sekar takuti. Apa ia sudah ternoda? Sekar menunduk. "Saya menjaga dengan segenap jiwa, tapi—" "Sekar," panggil Mr. Green. "Mister puas?" "Tidak." Sekar kembali takjub mendengar jawaban yang keluar dari mulut majikannya. Menikmati kesucian seorang gadis dan masih tidak puas? Ya, Tuhan. Sekar frustrasi. Manusia macam apa yang sedang bersamanya? Sekar akhirnya tak dapat menahan rasa kecewa yang menggumpal di d**a. "Jadikan saya p*****r saja sekalian!" Mr. Green mendadak menginjak rem.  Keduanya hampir terpental andai saja tidak memakai sabuk pengaman. Debaran jantung mereka bahkan meningkat drastis. Sedangkan, dari luar terdengar suara klakson bersahutan. "Sekar, apa yang kamu bicarakan?" "Saya membayar ganti rugi dengan menjadi p*****r di rumah Anda. Lakukan, sampai nilainya mencapai jumlah yang Anda minta! Setelah itu saya berhenti bekerja.Dan, tolong anggap kita tidak pernah kenal satu sama lain setelahnya. Bagaimana, setuju?" "Sekar," lirih Mr. Green dengan wajah pasi. Air mata Sekar merembes. Ia sungguh tidak tahan diperlakukan begitu rendah oleh sang majikan. Selama ini ia tidak menyangka jika apa yang diceritakan Wayan Suhita benar adanya. Kekecewaan Sekar menggumpal. Mr. Green menjambak rambut. Menunduk. Memejamkan mata sambil berpikir keras. Bagaimana caranya ia menjelaskan kepada Sekar. Sedangkan di sebelahnya, Sekar terisak. "Di mata Anda, mungkin saya tidak lebih dari perempuan kampung yang gila uang. Mungkin Anda berpikir, saya bekerja di rumah Anda karena bermimpi menjadi kekasih Anda. Tolong dicatat, itu tidak pernah ada di pikiran saya! Saya bahkan takut melihat Anda." "Apa yang kamu takuti dari saya?"  *** Catatan kaki: Om swastiastu: ucapan salam
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN