Sekar dan Mr. Green masih terantuk-antuk dalam mobil. Jalanan yang rusak dengan genangan air di sana sini sukses membuat mobil berjalan terdendat. Sama sekali tidak nyaman.
"Harusnya Mister tidak usah antar saya."
Sekar membuka percakapan kali ini.
"Tidak masalah. Saya senang." Mr. Green tersenyum sangat manis. Gigi-gigi putihnya bahkan terlihat sempurna. Hati Sekar yang sedari tadi sedikit berbunga-bunga, kini tembah bermekaran. Aromanya menguar dari tatapan itu. Laki-laki yang bersamanya pun menyadari binar lain di wajah sang pengasuh Emily.
"Saya yang nggak enak."
"Ah, kamu. Santai saja. Saya sama sekali tidak keberatan." Sekali lagi senyuman itu tercipta. Manis sekali.
"Kita berhenti di sana, Mister." Sekar menunjuk tanah lapang di samping warung kecil. Tampak dua ekor anjing berbulu kecoklatan dengan moncong agak panjang dan ekor melengkung, sedang berkeliaran.
Kedua anjing itu berlari kecil menyambut mobil Mr. Green. Gonggongannya kencang. Terdengar galak, khas anjing penjaga.
"Anjingnya lucu."
"Ini anjing asli Kintamani."
"Kamu pelihara anjing juga?"
"Orang sini hampir setiap rumah punya beberapa ekor. Kalau Mister mau, bisa bawa seekor dari rumah saya. Bapak pasti tidak keberatan."
"Ah, terima kasih."
Sekar turun terlebih dulu dan menyuruh bosnya untuk menunggu sebentar.
Anjing-anjing milik Sekar terkadang sedikit agresif terhadap orang baru. Ia khawatir Mr. Green akan pulang dengan bekas cakaran dan gigitan anjing. Setelah Sekar turun, ia mengajak anjingnya untuk menepi.
Sekar memberi isyarat dengan lambaian kepada Mr. Green untuk turun dari mobil. Laki-laki itu tersenyum. Kemudian turun tanpa melepaskan kacamata hitamnya.
Ia kemudian mendekati Sekar.
"Kita lewat sini, Mister," ajak Sekar.
Laki-laki itu tersenyum sepanjang waktu.
Sekar yang biasanya mendapati hal sebaliknya jadi merasa senang. Rasa-rasanya Mr. Green tidak semenyeramkan sebelumnya. Malah terkesan manis. Dan, Sekar justru takut kalau-kalau dirinya mulai menyukai bosnya. Sepertinya itu hal yang sedikit mengkhawatirkan.
"Kamu perhatian sekali pada saya?"
Kata-kata Mr. Green mengagetkan Sekar.
Ia mengingat-ingat perhatian macam apa yang telah diberikannya kepada Mr. Green. Akan tetapi gadis itu tidak menemukannya. Sepertinya ia bersikap biasa saja sedari tadi sampai saat ini.
Mereka berjalan beriringan menuju sebuah rumah sederhana di samping warung.
Tanah becek sesekali membuat Mr. Green berjalan zig zag demi menghindari genangan. Sepatunya penuh tanah merah bercampur dedaunan. Sangat kotor hingga membuat Mr. Green meringis.
"Saya ini kan biasa interaksi dengan anjing."
"Lalu kenapa?" Sekar tidak paham arah pembicaraan sang majikan. Ia tahu bahwa laki-laki itu punya anjing.
Bahkan, Sekar selalu memperhatikan bagaimana cara pria itu mengelus-elus Bonbon di pagi dan sore hari.
"Kenapa kamu takut mereka melukai saya?"
Sekar tertawa. Ternyata itu. Sungguh lucu.
Sekar menjelaskan bahwa anjingnya termasuk yang agresif dan suka menyerang.
Ia tentu tidak mau bosnya diserang.
Mendengar penjelasan Sekar, Mr. Green paham dan berterima kasih. Sekar juga menjelaskan jika anjingnya melukai sang majikan, tentu ia tidak akan mampu menanggung biaya pengobatannya. Mr. Green merasa tersentuh. Ia tidak menyangka pemikiran gadis itu sedemikian jauh. Dipandanginya gadis yang kini melangkah kecil sebagai pemandu jalan itu. Diam-diam perasaan kagum itu menyeruak.
Beberapa menit berjalan melewati gang kecil di samping warung, mereka akhirnya tiba di depan rumah sederhana nan asri. Sekar mengetuk pintu berukir khas Bali itu berkali-kali. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan menampakkan seorang laki-laki tua dengan udeng di kepala.
Pria itu benama Wayan Santika. Usianya lebih dari setengah abad. Namun, tatapannya tajam. Mata itu tertuji ke arah Mr. Green. Laki-laki yang ditatap merespon dengan mengangguk. Ada sedikit kecanggungan di antara keduanya.
"Siapa dia?" tanya sang ayah kepada Sekar.
"Saya, Jevin Anthony."
"Pacar Sekar?"
"Bukan," jawab Sekar segera. Ia takut Mr. Green akan marah kepadanya mendengar tuduhan sang ayah. Apalagi saat Sekar melihat kerutan dahi sang majikan saat kalimat naif itu dilontarkan Wayan Santika.
Sekar menjelaskan dengan bahasa Bali bahwa laki-laki yang bersamanya adalah sang majikan. Orang yang menjadi bos Sekar selama ini. Mendengar penjelasan Sekar, Wayan Santika mempersilakan mereka masuk.
Laki-laki bule itu melepaskan kacamatanya.
Ia menunduk untuk menghindarkan kepalanya dari kusen pintu yang terlalu rendah. Sebenarnya, bukan kusen itu yang kurang tinggi, melainkan postur tubuh Mr. Green lebih dari rata-rata orang Indonesia.
Sekar mempersilakan sang majikan untuk duduk di ruang tamu. Laki-laki itu perlahan menempatkan bokongnya di sofa hitam yang sudah hampir berubah warna menjadi abu-abu. Setelah Mr. Green duduk, Sekar menuju dapur untuk membuatkan kopi. Wayan Santika menyambut tamunya dengan obrolan ringan.
Kedua laki-laki berbeda usia dan ras itu berbicara tentang suasana desa, termasuk anjing kintamani. Wayan Santika dengan semangat bercerita tentang anjing ras asli Indonesia itu. Termasuk tentang bangganya karena anjing kintamani kini sudah diakui dunia internasional sebagai satu-satunya ras asli yang diakui dari Indonesia.
***
Sepeninggal Mr. Green dengan membawa seekor anak anjing pemberian Sekar, ayah dan anak itu duduk di selasar rumah sambil menikmati camilan pisang rai dan teh hangat. Keduanya ngobrol apa saja. Hingga ujungnya, Sekar bercerita tentang apa yang dialaminya di rumah Mr. Green. Dari permintaan Emily, teror arwah Ellea, hingga sikap Mr. Green yang jadi lebih lembut kepadanya. Hampir semua yang terjadi, Sekar ceritakan, kecuali tentang ciuman dan adegan dewasa lain.
"Sekar diancam oleh mahkluk itu," kata Sekar dalam bahasa Bali. "Kira-kira apa yang diinginkannya dari Sekar, ya, Pak? Sekar was-was."
"Bapak melihat ada kekuatan besar di rumah itu. Tapi, Bapak ndak yakin. Lebih baik kamu pindah kerja di tempat lain."
"Tapi Sekar sudah telanjur sayang dengan anak itu, Pak. Dia juga sayang sama Sekar. Dia ndak punya ibu."
Mendengar kalimat terakhir Sekar, Wayan Santika menghela napas. Ia paham perasaan anaknya. Anak itu memiliki nasib yang mirip dengan Sekar.
Sekar menjelaskan bahwa ia ingin sekali menjadi pengasuh Emily selama mungkin. Anak itu sungguh-sungguh membuat nalurinya sebagai seorang wanita bangkit. Mungkin itu yang dinamakan naluri keibuan.
Wayan Santika hanya mendengarkan keinginan sang anak dengan tatapan kosong. Ia sebenarnya tidak rela anaknya bertaruh nyawa karena dari penglihatan mata batin yang ia miliki terlihat ada kekuatan hitam teramat pekat menyelimuti rumah majikan Sekar. Pekat dan jahat.
Sekar memandang sang ayah. Ia tahu kekhawatiran laki-laki itu. Dengan berat hati, akhirnya Sekar memutuskan untuk tidak kembali ke rumah Mr. Green lagi. Keputusan Sekar tentu disambut gembira sang ayah.
"Bapak ndak ingin kamu kenapa-kenapa."
Sekar mengangguk tanda mengerti.
"Terima kasih, Pak. Nanti Sekar akan mengabari Mr. Green lewat telepon. Mudah-mudahan beliau mengerti."
Sekar memeluk sang ayah. Ia ingin menjadi anak berbakti dan menurut apa yang ayahnya katakan. Sekar ingin memperbaiki hubungannya dengan Wayan Santika yang sempat bermasalah. Sekar yakin ia pasti bisa.
Bagaimana pun ayahnya adalah cinta pertama Sekar. Cinta anak perempuan tidak lain adalah sang ayah. Terlepas dari sebaik dan seburuk apa pun sang ayah di mata orang lain.
Seperti Sekar yang pernah membenci ayahnya karena hasutan sang ibu. Ibunya bilang, ayahnya adalah seorang balian pengiwa, alias dukun jahat. Padahal, hal itu hanya rumor masyarakat yang dijejalkan kepada sang ibu agar Wayan Santika dibenci keluarganya. Setelah tahu kebenarannya, Sekar menyesal.
"Semoga Hyang Widhi membantumu."
Jika sekarang ada bilang Wayan adalah seorang balian pengiwa, maka bisa dipastikan ia hanya orang yang iri. Iri melihat Wayan Santika yang sudah kembali rukun dengan anaknya. Iri karena pasiennya terus bertambah.
Pasien yang berobat kepada laki-laki itu terus meningkat jumlahnya. Padahal, di zaman seperti sekarang, sebenarnya sudah begitu banyak orang yang lebih memilih jalur medis sebagai jalan kesembuhan. Akan tetapi, orang-orang yang lebih percaya kepada balian pun masih banyak jumlahnya, khususnya di Pulau Bali ini.
"Astungkara."
"Tapi, benar kalian tidak ada hubungan?"
Sekar membelalak. Ia tidak percaya ayahnya menanyakan hal itu. Apa menurut ayahnya, ada tanda-tanda mencurigakan dari gerak-gerik Mr. Green dan dirinya? Sepertinya tidak.
***
Mr. Green yang menyetir sendirian mendadak merasa sedikit hampa. Ada sesuatu yang aneh. Ia seperti merindukan Sekar.
Padahal, gadis itu belum ada satu jam ditinggalkannya.
"Oh, God!" desahnya.
Mr. Green tersenyum geli saat ingat kalimat Wayan Santika yang mengiranya pacar Sekar. Sungguh tidak masuk akal. Namun, entah mengapa kali ini ia justru merasa senang. Jantungnya bahkan berdebar-debar.
Pria itu kini mengacak-acak rambutnya.
Gigi-giginya saling gemeletuk.
***
Catatan kaki:
Astungkara: semoga terjadi (semacam mengaminkan)