“Sudah belum sih, Ga?” Mama menggedor pintu kamarku, untuk yang ketiga kali. “Kamu sakit? Kok ngga keluar-keluar? Jangan bikin Mama panik dong, nak!” Aku mendengus keras, bangkit dari tepian ranjang yang aku duduki, melangkah lesu ke balik pintu, membukanya. Mama langsung mengulurkan tangan, memeriksa suhu tubuhku. “Ngga demam kok. Kenapa?” “Kalau Saga masih error gimana Ma?” “Ya lanjut terapinya. Mama juga masih terapi terus kok.” Aku berjongkok, kepala ini kujepit di antara lutut. “Saga mau nikah.” “Ya tinggal nikah,” tanggap Mama. “Ngga bolehlah kalau Saga belum sembuh, Ma.” “Memangnya sembuh tuh yang kayak apa sih, Ga? Masalah psikologis tuh bukan kayak koreng yang bisa blasss hilang tanpa bekas!” Aku mendongak, menatap Mama. “Ngga bakal main tangan lagi.” “Good! Makanya kita