Satu minggu kemudian. “Ada yang Bapak butuhkan sebelum turun?” tanya Peony seraya meletakkan tumpukan map di meja kerjaku. “Jam berapa sekarang?” “Jam delapan kurang sepuluh menit, Pak.” “Belum masuk jam kerja ya?” “Kenapa gitu, Pak?” “Dipeluk kamu,” jawabku lugas atas pertanyaan pertamanya. “Hah?” “Yang saya butuhkan … dipeluk kamu, Peony,” ulangku. Ia tersenyum seraya beringsut, berdiri di samping meeting area yang tak berkaca. Satu tangannya terulur, memanggilku. Aku berdiri, melangkah pelan, mengikis jarak. Di titik temu, tanpa perlu prolog, kedua tanganku langsung memeluknya erat. “Bapak kuat, Bapak hebat, Bapak berharga. Semangat, Bapak!” ujarnya sembari menepuk-nepuk punggungku. “Sampai kapan kamu mau panggil saya Bapak?” “Mmm … kan lagi di kantor.” “Ngga di kantor pun