“Ma, kayaknya enakan nongkrong di kafe deh. Oh, makan gelato yuk, Ma? Habis itu belanja-belinji.” Menantuku merayu lagi. Aku terkekeh menanggapi. Tidak, aku harus menutup kisah kelamku. Aku sudah terlalu tua untuk membiarkan otakku dihuni masalah berat. “Iya, habis ini,” tanggapku seraya mengelus perutnya yang semakin membuncit. Peony meraih tanganku, ia genggam hangat seraya memandangku lekat. “Janji ya, keluar dari sana, Mama akan baik-baik aja?” “InshaaAllah,” balasku. “Beneran, Ma?” “Iya. Ngga usah khawatir. Mama sudah sehat!” “Tapi ngga praktek lagi?” “Kepalang repot ngurus kentang.” Peony terkekeh. Aku menepuk-nepuk genggaman kami, menarik tanganku lalu melangkah keluar dari mobil ini. Begitu pintu di sampingku tertutup, ada getir yang terasa di sudut hati. Bahkan mengingat n

