Deni membantu Lia merebahkan diri, memiringkannya ke sisi kiri. Punggung sang istri ia beri pijatan dan usapan lembut seraya melabuhkan kecupan-kecupan hangat. “Napas yang dalam, Sayang.” Lia menurut, melakukannya terapi itu mengikuti instruksi Deni. Tepat saat selesai di pengulangan ketiga, pesawat telpon di ruangan itu berdering nyaring. Deni turun dari ranjang, beringsut ke sebuah meja, mengangkat panggilan tersebut. “Sayang?” tegur Deni pada Lia setelah menutup panggilan yang berasal dari front liner hotel. “Masih sakit ngga?” “Ngga, Kak,” jawab Lia. “Siapa yang nelpon, Kak?” “Ibu sudah sampai, tapi kamarnya belum siap, jadi mau ke sini dulu.” “Gara-gara Lia, Ibu jadi ngga dijemput.” Deni duduk di samping sang istri, menyisipkan surai Lia di sela-sela jemarinya, membelai