Bab 13. Berubah

904 Kata
Suara musik dengan bahasa yang tidak familiar di telinga Garran terdengar memekakan telinga, saat ia melipir ke kamar Gianni. Seharusnya tidak perlu menghiraukan keadaan Gianni, hanya saja keinginan untuk mengetahui apa yang dilakukan wanita itu cukup besar. Seharusnya bersikap tidak peduli seperti biasa, namun setelah kejadian kemarin saat keduanya ada di dalam satu kamar yang sama, Garran merasa selalu ingin tahu apa yang dilakukan Gianni di dalam kamarnya. Garran langsung masuk ke dalam kamar setelah ketikannya tidak mendapatkan jawaban. Dengan volume kencang seperti itu, jelas Gianni tidak akan mendengar suara lain. Semakin dekat, suaranya kian terdengar memekakan telinga, mungkin saja gendang telinga Gianni sudah tidak hingga ia butuh suara volume maksimal. Si pemilik kamar tengah bersikap di tengah ranjang super besar yang dulu menjadi miliknya, tengah mengetik dengan sesekali berteriak mengikuti musik. Suaranya cempreng, membuat Garran meringis mendengarnya. Garran menekan tombol volume, dengan satu kali tekan suara musik hilang disusul dengan tatapan protes Gianni. “Kenapa dimatiin sih?!” kesalnya, satu tangannya hendak menekan kembali tombol untuk menyalakan musik, namun Garran sudah terlebih dulu menahan tangannya. “Sudah malam, kenapa belum tidur?” Gianni menggeser duduknya, memberi jarak namun kali ini ia menatap ke arah Garran. “Kamu belum pulang, makanya aku belum tidur.” Kening Garran mengerut. “Kenapa begitu?” tanya Garran penasaran. “Ngerasa lebih aman aja setelah kamu ada di rumah.” Garran tersenyum. “Kamu takut?” “Sedikit.” “Penakut tapi pilihan kamar yang paling besar, harusnya kamu yang menempati kamar satunya lagi. Selain lebih kecil, juga lebih dekat dengan kamar Bi Ati.” “Kamar ini sudah sering kamu pakai, walaupun beberapa kali kamu pakai untuk maksiat. Beda dengan kamar satunya lagi yang nggak pernah di pakai, kesannya jauh lebih horor dan dingin.” Gianni bergidik. “Memangnya Bi Ati nggak pernah bilang kalau aku sering nungguin Om pulang?” Garran menggeleng, “Nggak.” “Untungnya setelah menikah, Om lebih sering pulang cepet. Hanya sesekali aja pulang malam, hari ini misalnya.” Garran tersenyum samar, “Sekarang sudah hampir tengah malam, sebaiknya kamu tidur.” Garran merasa setelah menikah level kesabarannya sedikit meningkat. Ia lebih sering mengalah bahkan enggan beradu argumen bersama Gianni, apapun yang diinginkan wanita itu ia tidak menolak, tapi bukan berarti Garran menyetujui setiap keputusan Gianni yang terkadang masih impulsif dan ceroboh. Hanya karena tidak punya pilihan karena kedewasaannya pasti dipertanyakan jika sampai meladeni anak-anak menjelang dewasa seperti Gianni. “Kecilkan volumenya, aku dan Bi Ati nggak bisa tidur dengan suara gaduh seperti tadi.” “Oh,, oke.” Gianni mengangguk. “Setelah kamu ada di rumah, aku nggak akan menyalakan volume sekencang tadi.” “Bagus, anak pintar.” Garran mengusap puncak kepala Gianni, seperti yang kerap ia lakukan. “Ya sudah, aku ngantuk banget mau tidur. Kamu pun jangan malam-malam, oke?” Gianni mengangguk, “Oke. Hanya sedikit tugas yang belum selesai. Mungkin satu atau dua jam lagi rampung.” Gianni menunjuk ke arah laptopnya. “Memangnya harus malam ini dikerjakan?” “Iya, besok di kumpulkan.” “Dan kamu baru mengerjakan malam ini?” “Iya. Lupa.” Gianni meringis. “Nggak apa-apa ko, sedikit lagi selesai. Om sudah ngantuk, kan? Mending ke kamar dan tidur deh.” khas anak kecil yang suka memerintah, Gianni mendorong pundak Garran meminta lelaki itu segera pergi dari kamarnya. “Coba aku lihat.” Garran yang nyaris saja pergi dari kamar, kembali mendekat menoleh ke arah laptop Gianni. “Nggak usah lihat-lihat deh..” Gianni mendorong tubuh Garran, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan postur tubuh Garran yang nyaris dua kali lipat darinya. “Tugas kamu bilang? Ini apa?” Garran menunjuk ke arah layar laptop dimana Gianni tengah membalas pesan dari seseorang. “Oh itu Andre.” Gianni bergegas menutup laptopnya. “Kami memang lagi diskusi.” Garran menatap datar ke arah Gianni. “Diskusi yang dimaksud itu nanyain kamu lagi apa? Udah makan belom? Mau aku gojeki makanan nggak? Gitu?!” “Itu hanya selingan aja! Kami memang lagi diskusi ko!” Gianni mengelak. “Lagian ngapain dibaca sih?! Om Gar kayak nggak punya kegiatan aja sih?! Kan bisa cari kegiatan lain, misalnya kalau bosan di rumah ajak ceweknya kencan atau ngamar di hotel!” “Serius kamu nyuruh suami kamu ngamar sama cewek lain?!” Garran semakin kesal saja, entah karena faktor lama puasa atau mungkin suasana hatinya memang buruk sejak kemarin malam, ia sedikit lebih sensitif. “Om Gar bukan suami sungguhan, kita udah bahas itu sejak awal. Kalau mau ketemuan atau mau ngamar sekalipun silahkan aku nggak keberatan.” balas Gianni tidak mau kalah. Garran menatap kesal, menghela lemah dan beranjak dari tempat duduknya. “Oke,, kamu yang minta artinya kamu yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan diriku dan si Joni kalau sampai Ayah Tanto tau. Aku akan bilang kalau kamu yang minta aku selingkuh!” “Loh, ko gitu?!” protes Gianni. “Kamu jangan pura-pura amnesia, baru saja kamu yang bilang dan aku akan melakukannya! Ingat, kamu yang meminta.” “Loh!! Om Gar,, ko marah sih?! Om Gar!!” Teriak Gianni, memanggil namanya namun Garran memilih abai dan melangkah pergi menuju kamarnya. Beberapa menit lalu, Garran sempat berpikir bahwa ia bisa beradaptasi dengan baik. Mengimbangi kesabarannya dengan sikap absurd Gianni, tapi saat ini suasana hatinya kembali kacau, apalagi setelah melihat nama lelaki itu lagi. Tiba-tiba saja ia marah, kesal dan tidak dapat mengendalikan diri. Ada apa ini?? Garran merasa ada yang salah dengan dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN