Bab 14. Bersuami

933 Kata
Dua hari yang sangat sepi, Gianni menengok ke arah kamar Garran yang tengah dibersihkan Bi Ati. Si pemilik tidak ada ditempat, entah kemana. Gianni tidak diberitahu, bahkan pesan singkat yang dikirimnya dua hari lalu pun belum dibalas sampai hari ini. “Neng Gia,” Bi Ati menyapa, membawa beberapa pakaian kotor dari dalam kamar Garran, yang artinya lelaki itu masih sempat pulang setiap harinya, hanya saja tidak bertemu dengan Gianni. “Om Gar kemana, Bi?” Gianni mengekori Bi Ati, menunju ruang cuci pakaian.. “Dua hari ini sibuk banget sampai nggak kasih kabar, bahkan balas pesanku aja nggak.” “Mas Garran sibuk, Neng. Katanya mau launching aplikasi baru.” Nada bicaranya tenang, tanpa menoleh ke arah Gianni sebab fokusnya pada tumpukan pakaian kotor di atas bak. “Oh,, sibuk banget ya?” “Kayaknya sih begitu. Biasanya kalau ada proyek baru berskala besar, Mas Gar sampai nggak pulang berhari-hari.” Tuturnya. “Oh,, gitu.” Gianni menganggukkan kepalanya. “Sepi ya? Nggak ada Mas Gar di rumah?” “Nggak juga sih, biasanya juga dia pulang malam.” “Pulang jam tujuh sampai jam delapan malam itu nggak malam, Neng. Biasanya Mas Gar pulang jam dua belas malam sampai dini hari, hanya saja setelah menikah ia lebih teratur pulang dan sering menghabiskan waktu di rumah.” “Mungkin karena takut Ayah Tanto dan Oma datang ke rumah, kalau ketahuan keluyuran dan meninggalkan istri di rumah, Om Gar pasti kena omel.” Bi Ati terkekeh. “Nggak juga sih, Neng. mas Garran justru banyak mengalami perubahan setelah menikah, nggak hanya pulang kerja aja yang semakin teratur juga kehidupannya jauh lebih baik. Neng Gia bawa pengaruh baik untuk kehidupan Mas Gar,” “Masa sih, Bi?” Gianni tersipu. “Kupikir hidupnya semakin berantakan aja setelah ada aku, soalnya dia sering marah-marah dan komplain. Sedikit-sedikit marah, apapun yang aku lakukan di komplain.” “Itu karena Mas Garran sangat peduli sama Neng Gia, artinya dia sayang sama Neng.” Gianni kembali tersipu dengan rona merah di wajah yang tidak dapat disembunyikan. “Oh, gitu ya?” “Kalau Mas Gar nggak kasih kabar, coba hubungi dia terlebih dahulu.” “Iya juga, ya. Kenapa nggak kepikiran dari tadi sih,,” Gianni berjalan cepat menuju meja dimana ponselnya berada dan dengan segera mungkin ia menghubungi Garran yang tidak ditemuinya sejak dua hari lalu. Sedikit tidak nyaman saat mengetahui lelaki itu tidak ada di rumah, jika sebelumnya mereka terlalu asing dan tidak mau mencampuri urusan masing-masing namun lambat laun, kehadiran satu sama lain menjadi hal yang sangat penting. Mungkin sudah disadari oleh keduanya, hanya masih bingung untuk menyimpulkan jenis apa perasaan tersebut. Apakah masih sebatas perasaan antara keponakan dan Om? Atau lebih. Garran mengabarkan bahwa dirinya tidak akan pulang selama dua hari kedepan. Dinas luar kota dan beberapa kesibukan lainnya membuat lelaki itu ada di kota lain. Memberi sedikit kabar ternyata berpengaruh besar pada suasana hati Gianni, ia tidak lagi diam-diam memasuki kamar Garran untuk memastikan, tapi lebih sering menatap layar ponselnya, menunggu pesan dari Garran. “Gi, ada restoran baru di depan gang sana katanya makanannya enak dan murah, mau coba nggak?” Siska bergelayut di lengan Gianni, saat jam istirahat tiba. Mereka baru saja menyelesaikan kuliah di jam pertama. “Restoran apa?” Gianni kerap membatasi diri dengan tidak mengkonsumsi makanan sembarangan, pencernaannya sangat sensitif. Ia kerap membawa bekal sendiri dari rumah atau memilih restoran tertentu untuk dijadikan alternatif makan. “Ramen pedas. Katanya enak, coba yuk?!” “Aku nggak bisa makan pedas, tapi kalau ada ramen yang nggak pedas, boleh juga sih, kebetulan lapar.” “Oke! Ayo!” Keduanya segera menuju restoran yang baru saja buka beberapa waktu lalu, belum ada dua Minggu tapi sudah menjadi buah bibir di sekitar kampus. Entah terkenal karena makanannya atau harganya yang sangat relatif aman di kantong mahasiswa. “Gianni,” di depan pintu restoran seorang lelaki berdiri sambil melambaikan tangannya ke arah Gianni, dia adalah Andre. Sosok yang dekat dengannya beberapa waktu terakhir. “Andre,” Gianni tersenyum melihat sosok lelaki itu. “Mau makan juga?” “Iya.” “Ayo sama-sama.” Ajak Andre, sambil menarik tangan Gianni, memisahkannya dari Siska. Gianni menoleh ke arah Siska dimana temannya itu tersenyum dan mengangguk samar. Andre memang secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Gianni, begitu juga dengan Gianni yang memang secara tidak langsung memberikan lampu hijau pada lelaki itu, tapi Gianni tidak merasa yakin dirinya menerima cinta Andre mengingat posisi dan statusnya saat ini. “Mau makan apa? Aku pesankan.” Andre memperlakukan Gianni dengan sangat baik dan manis, tapi membuat Gianni merasa tidak nyaman apalagi saat ini tidak hanya mereka berdua yang ada di meja tersebut, tapi ada juga Siska. “Aku lebih mirip nyamuk ya?” sindir Siska.. “Deket dua manusia kasmaran.” “Kamu teman baik Gianni, artinya kamu juga temanku. Aku pesankan makanan untuk kalian berdua ya, tunggu disini.” Andre bergegas memesan beberapa makanan untuk mereka bertiga. “Lo tahu kan, si Andre suka sama Lo?” Gianni meringis pelan. “Iya, aku tahu. Dia udah ngomong itu seminggu lalu, tapi..” “Lo masih punya suai, Gi.” Siska mengingat. “Iya, tapi kamu tahu kan, bagaimana status pernikahan aku dan Om Gar.” “Iya, tapi Lo jangan serakah. Lo harus tegas, jangan melibatkan dua lelaki sekaligus. Apapun jenis pernikahan kalian, Lo dan Om Gar resmi menjadi secara agama dan negara, Lo harus menghargai suami Lo.” Nasihat yang diucapkan seorang teman, entah untuk kebaikan Gianni atau mungkin untuk kepentingannya sendiri sebab ia mulai merasakan percikan cemburu, mengetahui bahwa lelaki idamannya menyukai wanita yang sudah bersuami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN