“Lo harus datang, sama bini lo!” Tegas Ramdan, saat keduanya baru turun dari pesawat menuju pintu keluar.
Harran hanya menggumam pelan, otaknya masih belum bisa mencerna ajakan Ramdan, terlalu lelah dengan segudang pekerjaan membuatnya ingin segera sampai ke rumah, makan masakan Bi Ati yang sangat dirindukan selama tiga hari terakhir dan langsung tidur diatas ranjang kesukaannya.
Sebelum keduanya masuk kedalam pesawat dan kembali ke jakarta, Ramdan sempat menyinggung acara pertunangannya dengan seorang wanita. Wanita yang baru dikancani kurang dari dua bulan, tapi dengan keyakinan penuh lelaki itu hendak bertunangan.
Garran tidak terlalu mengenal sosok wanita yang akhirnya bisa membuat Ramdan bertekuk lutut, yang diketahuinya hanya wanita itu cantik tapi berkaki tiga, atau lebih tepatnya menggunakan tongkat karena salah satu kakinya tidak berfungsi dengan baik.
Diantara mereka berempat, baru Garran yang menikah, sisanya masih melajang, memiliki kekasih dan Ramdan yang hendak bertunangan. Garran merupakan salah satu lelaki yang tidak percaya komitmen, namun takdir berkata lain dimana ia justru menjadi orang pertama yang memutuskan untuk menikah.
Ramdan mengatakan acara pertunangannya dengan wanita bernama Kayana hanya acara sederhana yang dihadiri oleh keluarga inti saja, termasuk keempat teman yang dianggap sudah sangat dekat tidak boleh absen menyaksikan acara pertunangannya. Sialnya, Ramdan bersikukuh untuk mengajak serta Gianni.
Sepertinya Ramdan mengalami kesulitan memahami bahwa hubungan Garran dan Gianni tidak seperti hubungan pernikahan pada umumnya, bahkan mereka kerap menyebut Gianni dengan sebutan “istri lo” daripada nama setiap kali percakapan menyerempet tentang Gianni. Awalnya Garran keberatan dengan sebutan itu, bahkan masih sering meralat dengan menyebut nama Gianni, tapi lama-lama ia pun masa bodoh saja.
“Lo nggak usah datang aja kalau nggak sama bini lo!” Ramdan mengulanginya untuk yang kesekian kalinya.
“Besok hari minggu, pulang malam nggak apa-apa istri lo pasti nggak ada kegiatan kuliah.”
Jawaban Garran kembali hanya gumaman pelan.
“Lo bakal ditendang dari grup kalau berani-berani nggak datang.”
Garran menghentikan langkah, mengapa kesal ke arah Ramdan. “Gue doang bisa kali, lagian belum tentu Gianni mau. Kami punya kesibukan masing-masing, nggak harus datang ke acara bersama.” sambut Garran setengah hati.
“Gue nggak bisa maksa kalau dia nggak mau ikut. Gianni itu bukan tipe cewek yang iya-iya aja kayak yang lain.” Garran membandingkan dengan wanita yang beberapa kali pernah diajaknya
Membandingkan Gianni dengan wanita yang pernah dekat dengannya jauh lebih mudah, perbedaannya pasti langsung kentara. Pasangannya dulu selain cantik, sexy, juga dewasa. Saat Garran ada di suatu acara formal maupun tidak, selalu bisa menyesuaikan diri dengan baik. Lain halnya dengan Gianni yang pastinya tidak terlalu biasa dengan perkumpulan orang-orang dewasa yang usianya jauh di atasnya. Selain itu, dalam setiap pertemuan selalu saja ada minuman beralkohol yang memungkinkan ngamar setelahnya. Garran tidak mungkin melakukan hal tersebut pada Gianni, wanita kurus kering tanpa daging itu benar-benar tidak mungkin membangkitkan hasrat walaupun dalam kondisi mabuk. Meskipun wanita ideal yang dianggapnya sempurna adalah kumpulan wanita langsing, bentuk tubuh mereka tetap saja berlekuk layaknya wanita dewasa yang menjanjikan kesenangan dalam kepuasan maksimal. Ada daging yang bisa dijadikan pegangan. Sementara Gianni?
Garran menggelengkan kepalanya, tidak berniat mengutarakan isi hatinya karena Ramdan akan dengan senang hati memukulnya hingga pingsan di tengah keramaian bandara.
“Gue udah ngasih tau ini sejak satu minggu lalu, seharusnya lo udah ngasih tau istri lo, bahkan kalau dia nggak mau, lo bisa bujuk.”
“Hei, gue nggak tidur satu kamar dengannya, jadi gue nggak bisa nyampein undangan lo ke dia. Lagipula selama satu minggu ini nyaris gue habiskan bareng lo dan setumpuk kerjaan lain nya, mana ada waktu!”
“Oke. Kalau lo nggak bisa ngasih tau, biar gue yang undang dia secara langsung.”
Kening Garran mengerut, apalagi saat melihat Ramdan berjalan lebih cepat mendahului.
Garran melihat sosok wanita kurus itu di ujung sana, di dekat pintu keluar tengah tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya.
Gianni memang sempat mengirim pesan ingin menjemputnya, tapi Garran selalu menegaskan untuk tidak memaksakan diri jika Gianni memiliki kesibukan dan lihatlah kejutan kecil yang dilakukan Gianni berhasil membuat bibirnya tersenyum.
“Om Ramdan, Om Gar.” Gianni menyapa keduanya.
“Jemput suami, Gi?” tanya Ramdan.
“Iya. Om Ramdan mau sekalian pulang bareng kami nggak? Aku antar.” Gianni menawarkan tumpangan.
“Nggak usah, udah pesan taksi.” Ramdan menolak.
“Tapi aku mau undang kamu untuk acara minggu besok, bisa nggak?”
“Acara apa? Kebetulan aku nggak ada jadwal kuliah beberapa hari kedepan. Free.” Gianni nampak antusias.
“Pertunangan aku dan Anggi, bisa datang?”
“Tentu! Aku bisa datang, iya kan Om Gar?”
Harran hanya menggumam saja.
“Aku pasti datang.”
“Oke! Baguslah kalau begitu. Jangan sampai nggak ya, kalian berdua harus datang.”
“Siap!!” Gianni menyambut antusias undangan Ramdan, jauh dari ekspektasi Harran yang sangat berharap Gianni menolak ajakan lelaki itu.
“Yaudah, sampai ketemu hari minggu Om Ramdan, kita pulang dulu.”
“Oke!”
Ramdan melambaikan tangannya ke arah Gianni yang sudah terlebih dulu menuju mobilnya, sementara Ramdan menarik tangan Garran, menahannya singkat.
“Lo masih mau nyangkal, Gar? Lo nggak takut karma?”
“Karma apa?”
“Jelas lo mulai terbiasa dengan kehadiran Guanni, lihat muka lo yang sebelumnya lebih mirip kehabisan darah, sekarang seger lagi setelah melihat Gianni.”
“Lo terlalu berlebihan, Bung! Gua bakal kelihatan segar setelah melewati masa puasa ini, gue belum ganti oli cuy! Wajar kalau muka gue kusut mulu!”
“Nyangkal aja, Gar. Pas lo sadar nanti, gue harap belum terlambat sih!”
Garran terkekeh. “nggak akan, gue jamin.”
“Terserah lo aja!”
Garran pun menyusul Gianni yang sudah menunggunya di dalam mobil.
“Aku udah punya SIM dan layak mengemudi, Om! Nggak usah pasang wajah takut mati kayak gitu.” Garran menatap ragu ke arah Gianni yang ada di posisi mengemudi.
“Aku masih bisa mengemudi walaupun capek banget, turun! Aku yang nyetir.”
“Om Gar tidur aja, aku bangunin setelah kita sampai di rumah.”
“Turun!” Garran tetap bersikeras mengusir Gianni, hingga akhirnya wanita itu pun turun dari kursi mengemudi dengan wajah cemberut.
“Kamu masih ingin menikah dan hidup bahagia dengan suami yang kamu cintai, kan?” Garran tersenyum saja, setelah berhasil mengganti. Posisinya
“Kalau kita kecelakaan hari ini, nggak hanya kamu yang akan melewati masa emas itu, tapi aku juga.”
“Om Gar masih mau menikah setelah kita bercerai?”
“Mungkin, aku nggak bisa pastikan. Tapi kamu masih sangat muda, kamu masih memiliki banyak kesempatan untuk hidup lebih bahagia lagi.”
“Sekarang pun, aku bahagia. Emangnya aku kelihatan nggak bahagia?”
Garran tersenyum. “Kebahagiaan itu bukan hanya tentang kamu bisa keluyuran sana sini ngabisin duit untuk hal yang tidak penting, menganggap idola adalah suami. Tapi menjalani hidup yang lebih bermakna lagi bersama seseorang yang kita cintai. Menikah, memiliki anak dan bahagia.”
“Kupikir Om nggak akan ngomong kayak gitu ke aku,”.
Bahkan setelah Garran berusaha menasehati anak itu dengan kata-kata Mutiara yang mungkin ditemuinya dari beberapa aplikasi online, reaksi Gianni justru hanya tertawa.
“kupikir isi otak Om hanya bagaimana caranya nyetok kondom sebanyak-banyaknya.” Gianni terkikik geli.
“Inget nggak apa aku magang di minimarket milik ayah Tanto, Om Gar malam-malam datang beli semua stok kondom.”
Masih ingat jelas momen dimana Garran datang membeli alat kontrasepsi itu dengan jumlah yang sangat banyak. Saat itu Gianni tengah menjalani hukuman akibat menghabisi uang jajan selama satu bulan dalam waktu kurang dari satu minggu saja. Hukuman yang didapatnya pun cukup serius, yakin menjadi pelayan toko di salah satu minimarket milik Ayahnya selama satu bulan dan selama itu juga Garran kerap datang untuk membeli beberapa kebutuhan salah satunya kondom.
“Pasti udah habis sekarang, kan? Padahal belinya banyak. Aku nggak ngerti kenapa Om bisa sesering itu melakukan hubungan badan dengan wanita berbeda.”
Gianni menatap serius ke arah Garran.
“Apakah kami patah hati Om? Biasanya lelaki patah hati berubah menjadi predator wanita untuk melampiaskan kekecewaan dalam hatinya, merasa tersakiti sampai tidak percaya akan komitmen.”
“Sok tau!”
Pukulan mendarat sempurna di kening Gianni hingga ia meringis kesakitan.
“Anak kecil mana tahu sensasi menyenangkan bernama having sex.”
“Jangan bilang aku anak kecil, beberapa bulan lagi aku ulang tahun loh! Dan usiaku sudah dia puluh tahun, aku sudah memasuki fase dewasa.” Gianni tidak terima disebut anak kecil
“Oya? Mau kado apa?”
Sejujurnya Garran enggan membahas hal-hal berbau seksual bersama Gianni, baginya ia masih terlalu dini dicekoki hal-hal berbau pornografi.
“Om mau kasih aku kado?”
Fokus Gianni mudah saja teralihkan.
“Iya. Kamu mau apa?”
“Di bulan kelahiranku nanti, boyband idola aku konser di Korea sana. Rencananya aku mau nonton, kalau Om mau kasih aku kado tolong biayai semua keperluan aku ke sana. Kalau terlalu mahal, Om cukup kasih aku ongkos bolak-balik aja, gimana? Selebihnya aku minta Ayah Tanto.”
Garran tersenyum. “Aku yang akan membiayai semuanya.”
“Serius?”
“Iya!”
Gianni bersorak, entah mengapa berisiknya Gianni tidak membuat Garran terganggu padahal ia sangat ingin istirahat. Tapi bersama Gianni, wanita itu seolah mengirim surat positif yang menyerap lelah yang dirasakannya..