Bab 16. Perbandingan

1118 Kata
“Kita nggak usah lama-lama di tempat temen kamu ya, Om?” kata Gianni untuk yang ketiga kalinya sejak mobil yang mereka tumpangi meninggalkan rumah. Tidak seperti beberapa hari lalu, saat Ramdan mengundangnya secara langsung, Gianni nampak begitu antusias, namun pagi tadi wanita itu justru terlihat enggan pergi. Entah apa alasan yang membuatnya berubah pikiran seperti itu. Ia seolah menyesali keputusannya ikut bersama Garran ke arah pertunangan Ramdan. “Aku nggak terlalu terbiasa bergabung dengan circle kalian yang pastinya nggak akan nyambung denganku yang masih kecil.” Garran meringis pelan. “Teman-temanku nggak setua itu kok, mereka asyik.” “Asyik untuk ukuran usia 30 tabuh, beda dengan asyik usia 20 tabuh Om.” Cibitung Gianni. “Obrolan kalian pasti nggak akan jauh dari s**********n, sementara aku masih membahas hal-hal seru yang mungkin kalian anggap membosankan.” “Kami bukan tua, lelaki dengan rentang usia tiga pilih tahun ke atas nggak termasuk dalam kategori tua, tapi matang. Wajar saja obrolan kami nggak akan sama denganmu, tapi kami masih bisa menyesuaikan zaman.” Garran tidak terima jika usianya yang sudah lebih dari tiga puluh tahun itu disebut tua. Ia merasa masih sangat prima dalam hal apapun. “Baik secara fisik, finansial dan ekonomi, kami memasuki fase emas kematangan. Arti tua terlalu berlebihan. “Kamu ngomong kayak gitu karena usia kamu sudah lebih dari tiga puluh tahun, Om.” bantah Gianni. “Masa periode emas seseorang itu kisaran dua puluh tahun dan itu aku, bukan kamu.” Gianni mengibas rambutnya. “Sebentar lagi aku akan menikmati periode emas itu!” Ia terlihat senang. Garran hanya mendengus pelan dan kembali fokus mengemudi. Beberapa saat terdiam, Garran menyadari sejak tadi wanita disamping itu sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia tertawa, dan tatapannya tidak pernah lepas dari layar ponsel, seolah ada yang lebih menarik di sana dan keberadaan Garran benar-benar tidak dipedulikan. “Kamu, kenapa??” “Iya, Andre. Aku lagi di jalan, belum sampai ke acara Om Ramdan.” Belum sempat menuntaskan ucapannya, Gianni sudah terlebih dulu menerima panggilan dari Andre. “Nggak tahu jam berapa selesainya,” Gianni menoleh ke arah Garran “Om Gar, selesai acaranya jam berapa?” Garran tidak menjawab, hanya mengangkat kedua bahunya. “Om Gar juga nggak tahu kapan pasti acaranya selesai, tapi akan aku usahakan nggak lebih dari jam delapan ya? Nanti kamu jemput aja, aku share lokasinya.” ucapnya lagi dengan sumringah. “Ya sudah, nanti aku kabari lagi ya Andre, bye.” Lelaki bernama Andre itu tidak ada di sana, keduanya hanya bicara melalui sambungan telepon saja, tapi ekspresi Gianni seolah lelaki itu ada di depannya saja, selain tersenyum manis juga beberapa kali mengusap wajahnya. “Tadi mau nanya apa, Om? Aku nggak dengar.” Garran tidak lagi berminat melanjutkan pertanyaannya tadi, tanpa diucapkan pun, Garran sudah tahu alasan mengapa Gianni tiba-tiba ingin membatalkan hadir di acara pertunangan Ramdan. Pasti karena lelaki bernama Andre itu yang menjadi alasannya. “Nggak jadi,” Garran kembali fokus mengemudi, suasana hatinya mendadak buruk. “Oh,,” Gianni mengangguk. “Oh iya, Om. Aku nggak bisa lama-lama disana ya, soalnya ada janji sama Andre dan Siksa. Kami mau nonton dan berkunjung ke restoran baru, katanya sih enak banget makanannya. Aku penasaran pengen coba.” Gianni menoleh ke arah Garran, lelaki itu tidak langsung merespon ucapannya. “Nggak apa-apa, kan? Om Gar nggak marah, kan?” “Nggak, kenapa aku harus marah. Aku juga ada janji lain setelah acara pertunangan Ramdan selesai,” “Oh gitu ya,,, bagus deh! Jadi, kita sama-sama pergi ke acara masing-masing setelah pertunangan Om Ramdan selesai.” Garran tidak menjawab, ia memilih diam sampai akhirnya mereka sampai di kediaman Ramdan. Acara pertunangan dilangsungkan di kediaman lelaki sebab Anggi memang tidak memiliki keluarga dekat setelah kedua orang tuanya meninggal. Anggi hidup sebatang kara di Jakarta, sementara keluarga lainnya ada di luar kota. Semua teman Garran sudah ada dalam formasi lengkap, saat mereka sampai. Keduanya langsung bergabung di salah satu ruangan khusus yang disediakan Ramdan, ruangan berbeda dengan kekurangan inti. Makanan sudah tersaji di atas meja, terlihat begitu sangat menggiurkan tapi Garran benar-benar kehilangan minat untuk sekedar mencicipi. Dua dari tiga temannya membawa pasangan, pertama si tuan rumah Ramdan, tentu saja dengan kekasih tercintanya Anggi, lantas yang kedua Anjar dengan gebetannya, walaupun hubungan mereka belum memasuki fase resmi jadian tap Anjar sudah menunjukkan level kebucinan akut. Dan yang terakhir Gilang, ia datang sendiri tanpa pasangan tapi jangan heran jika di tengah-tengah acara ia mampu mendatangkan seorang wanita untuk menemani kesendiriannya. Gilang nyaris persis seperti Garran yang enggan menganut prinsip bucin, mereka hanya ingin kebebasan dan hidup tanpa aturan seorang wanita bergelar istri, sayangnya Garran justru menjadi yang pertama menikah, si paling anti komitmen tapi yang paling duluan menikah. “Silahkan dimakan, jangan malu-malu.” Anggi tersenyum pada Gianni. “Wahh kebetulan belum makan malam nih Kak.” jawab Gianni. “Lapar banget juga.” lanjutnya dengan senyum. “Kenapa panggil aku Om dan panggilan Anggi Kakak sih, GI?” Protes Ramdan. “Seharusnya panggil aku Kak Ramdan juga dong.” “Kak Anggi kelihatan masih muda, aku yakin usianya belum menyentuh angka tiga puluh sementara kalian,” Gianni menatap ke empat lelaki itu secara bergiliran. “Kalian sudah tua-tua.” Jawaban Gianni mengundang tawa Ramdan, Anjar dan Gilang. Mereka tidak tersinggung sedikitpun saat Gianni menyebut tua pada mereka. “Gimana, GI,” Gilang tersenyum jahil ke arah Gianni. “udah mulai merasa menyesal belum menikah sama Om-om?” Gianni tidak langsung menjawab, ia menoleh ke arah Garran. Di ruangan itu tidak hanya ada teman baik Garran yang memang sudah tahu kondisi pernikahan mereka, tapi juga ada dua orang baru yakni Anggi dan Tiara, mereka mungkin belum tahu mengenai terjadinya pernikahan antara Gianni dan Garran. “Mereka tahu alasan kita menikah, Om?” “Belum, tapi lama-lama juga pasti akan tahu.” Gianni mengangguk, belum menjawab pertanyaan Garran. Sepertinya ia masih ragu menjawab. “Mereka pasti ngerti kok kita punya kesepakatan.” Gianni lantas membalas senyum Gilang dengan sama jahilnya.. “Nyesel sih enggak, tapi jauh aja dari ekspektasi aku selama ini. Tipe ideal aku tuh mata sipit, putih tinggi kayak Oppa-Oppa Korea, tapi malah dapat yang lokal abis. Untungnya kami jarang ketemu, sejauh ini masih aman terkendali sih.” Ledakan tawa dari teman-teman Garran tidak terelakkan lagi. Mereka benar-benar terlihat senang mendengar ucapan Gianni barusan. “Nggak tahu kenapa gue seneng banget denger itu dari Gianni, hidup memang adil saat Garran selalu merasa dirinya menjadi sosok lelaki ideal bagi seluruh wanita di dunia ini, tapi ketemu pasangan yang justru tidak menganggap dirinya ideal.” balas Ramdan. “Emang kamu merasa sangat ideal, Om? Padahal gantengan Andre dibandingkan kamu.” Ucapan Gianni kembali disambut gelak tawa teman-teman Garran. Malam ini seolah menjadi hiburan yang mengasyikkan untuk mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN