Setelah acara pertunangan Ramdan dan Anggi selesai, tamu undangan pun dipersilahkan untuk menyantap hidangan utama. Kelompok dipecah, dimana tamu keluarga dan teman Ramdan berpencar menjadi dua kelompok.
Beberapa orang menempati ruang utama sambil masih menikmati berbagai jamuan, sementara sahabat ada di teras samping.
Beberapa menit lalu, tepatnya setelah acara pertunangan selesai, Gianni memutuskan pergi, ia mengatakan seorang teman sudah menunggunya di depan kediaman Ramdan. Dalam perjalanan tadi, Gianni memang sudah mengutarakan niatnya untuk pulang lebih awal dan satu menit setelah acara pertunangan Ramdan selesai, ia bergegas pergi dan hanya pamit singkat pada si tuan rumah, sementara Garran ditinggalkan begitu saja.
Garran memandangi ponselnya sejak tadi, berharap wanita itu menghubunginya atau paling tidak mengatakan kemana ia akan pergi malam ini bersama temannya.
“Kenapa nggak nanya langsung aja sih, kemana dia pergi dan sama siapa dia sekarang.” Ramdan menyikut Garran, duduk tepat di sampingnya.
“Memulai lebih baik, Man! Daripada lo bete kayak gitu.”
“Dunia luar memang nggak tahu Gianni itu istri lo, kemungkinannya sangat besar jika salah satu dari teman kampusnya naksir.” sambung Anjar.
“Gianni cantik, gue yakin banyak temannya yang diam-diam naksir. Gue aja kalau masih muda bakal naksir dia,”
“Sialan!” Garran memaki.
“Gue nggak peduli dengan siapa dia saat ini, gue lebih khawatir dia terjerumus kedalam pergaulan bebas yang akan merugikannya dan mungkin berpotensi merusak dia.”
“Satu-satunya orang yang punya aura negatif dan berpotensi merusak orang lain itu loa, Gar. Jadi kalau ada yang berpeluang besar merusak istri lo, ya itu adalah lo sendiri.”
“Gue hanya membebaskan dia dalam bergaul, apapun yang dilakukannya di luar sana itu bukan tanggung jawab gue. Yang perlu gue lakukan hanya memenuhi kebutuhannya saja, seperti kesepakatan kami di awal. Jadi, apapun yang dilakukan Gianni di luar sana, bukan urusan gue. Apalagi sampai dia jatuh cinta dengan teman satu kampusnya, itu hak dia. Gue nggak bisa melarang.”
Garran memasukkan ponsel kedalam kantong celananya, berusaha untuk terlihat tidak peduli dengan apa yang Gianni lakukan di luar sana.
“Lagipula gue udah tahu dengan siapa Gianni saat ini, dia lagi bareng temannya si Siska dan Andre.” jelasnya.
“Gue males terlalu ikut campur urusan anak-anak, malas juga di omelin. Udah cukup nyokap gue yang selalu marah-marah, jangan sampai nambah perempuan lainnya yang hobi marah.”.
“Diomelin itu nggak selamanya buruk kok,” ujar Ramadan. “Gue lebih pilih diomelin bolak-balik daripada didiemin sama Anggi. Auranya nyeremin kalau dia diem. Perempuan itu kalau masih mau ngomel, artinya masih peduli. Tapi kalau udah diem, sebaiknya lo intropeksi diri dan minta maaf walaupun nggak tahu kesalahan lo apa, daripada di usir dari hidup dia.”
Garran tertawa mendengar omongan Ramdan yang berbau curhat itu.
“Pasal iru hanya berlaku untuk lo semua yang bucin aja. Gue nggak akan pernah ada di posisi seperti itu. Ngemis dan minta maaf tanpa tahu kesalahan gue? Nggak lah!”
“Lo nggak pernah belajar dari kesalahan, Gar. Buktinya Rinjani pergi gitu aja tanpa lo tahu kesalahan apa yang udah lo lakuin, itu karena lo nggak pernah mau memahami perasaan wanita. Lo terlalu angkuh, bahkan untuk sekedar minta maaf.”
Garran menatap sebal ke arah Anjas, yang kembali mengorek luka lama dalam hatinya.
“Nggak usah bahas Rinjani deh! Udah lama dan basi banget. Alasan perginya dia gue nggak perlu cari tahu, itu hak dia untuk pergi dan gue nggak mau nahan wanita yang emang nggak mau sama gue. Semudah itu, kan?”
“Nggak usah ditanggepin,” Ramdan menepuk pundak Anjas yang hendak membuka mulut.
“Kita menghujatnya kalau dia udah kena karmanya nanti.”
“Nggak akan lama,” sambung Gilang sambil menyeringai menatap Garran.
“Lo bakal kena omongan lo sendiri, Gar. Waktu lo bilang nggak mau peduli sama Gianni tapi tanpa lo sadari setelah menikah lo selalu memprioritaskan Gianni diatas kepentingan lo. Bahkan seekor Garran yang anti mengalah pun, bisa dengan mudah mengalah untuk si anak kecil Gianni.”
“Beda kasus, gua sama Gianni itu sodara dan gue udah deket sama dia sejak tuh anak masih pake celana dalam dan kaos doang. Nggak mungkin apa yang gue lakukan selama ini adalah bentuk rasa cinta. Gila aja!”
“Gue mules banget nih,, “ Anjas beranjak dari tempat duduknya.
“Gue juga mau nambah kopi nih.” begitu juga dengan Ramdan.
“Gue mau cari cewek ah,, “
Gilang pun tidak mau kalah, kini hanya tinggal Garran seorang diri yang merasa kesal karena ditinggal teman-temannya, di tengah percakapan sebelum ia menyelesaikan pembelaan diri.
“Kamu dimana?”
Nyatanya sekeras apapun pembelaan yang dilakukan Garran, pada kenyataannya ia kalah dengan egonya sendiri. Selang lima menit lalu Gianni tidak kunjung membalas pesan darinya, membuat Garran tidak sabar hingga langsung menghubungi wanita itu.
“Sama Andre dan Siska,” terdengar jawaban Gianni dari seberang sana. Bising dan tidak terlalu jelas terdengar.
“Kenapa, Om?”
“Jam berapa pulang?” tanya Garran lagi.
“Nggak tahu, setelah ini aku dan temanku mau makan malam di restoran baru itu, kayaknya agak malam deh.”
“Kamu dimana sekarang?” Garran beranjak dari tempat duduknya, menuju arah luar.
“Aku jemput sekarang.”
“Nggak usah! Aku pulang bareng Andre aja, Om nggak usah jemput.”
“Aku kesana sekarang!” Garran kembali menegaskan.
“Om, aku,,, “
Enggan mendengar penolakan Gianni dan segala bentuk alasan yang akan membuat Garran semakin kesal saja, ia memutuskan sambungan secara sepihak.
“Gue balik, ya?” Garran pamit pada si tuan rumah, Ramdan.
“Mau kemana? Jemput istri lo?”
Garran tidak menjawab hanya menatap sebal ke arah teman-temannya yang justru tengah menertawakannya.
“Sial!” umpat Garran.