Bab 18. Membujuk

1100 Kata
“Om bilang nggak boleh ikut campur urusan masing-masing, nggak boleh cari tahu kehidupan pribadi masing-masing, berulang kali ngomong kayak gitu, seolah aku akan melanggar tapi lihat sekarang!” Tatapannya penuh emosi, wajahnya memerah dengan nafas terengah-engah. Berkacak pinggang menatap kesal ke arah Garran yang telah berhasil menyeretnya dari dalam restoran saat ia dan beberapa temannya tengah makan bersama. “Om yang melanggar! Om yang ikut campur urusan aku!” Gianni masih kesal. “Sudah malam, coba lihat sekarang,” Garran menunjukkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sudah pukul delapan malam, kamu harus pulang.” “Sejak kapan pukul delapan dimasukkan dalam kategori malam? Ini Jakarta, bukan pedesaan yang menganggap malam di waktu kayak gini!” Suaranya menggelegar, terdengar di area parkir yang untungnya tidak terlalu banyak orang berlalu-lalang, hanya segelintir petugas keamanan saja yang terlihat. “Om terlalu norak!” “Aku dulu nggak pernah pulang malam, Gianni!” Masih mencari alasan, membela diri walapun Garran yakin wanita di hadapannya itu akan tetap marah. Lebih baik membuatnya marah tapi bisa menyeret Gianni pulang daripada kelakuan konyolnya diketahui hanya karena cemburu. Garran memang tidak akan mengakuinya secara langsung kecemburuan yang dirasakannya saat ini, tentu saja ia akan menutup rapat dan melakukan pembelian pada dirinya. Garran tidak cemburu, hanya khawatir. Itu yang selalu diterapkan dalam hatinya, menentang perasaan aneh yang mulai menjalar dalam hati. “Kamu lahir tiga puluh tiga tahun lalu, dan kamu membandingkan gaya hidupmu dengan gadis sembilan belas tahun?! Keterlaluan kamu, Om!” Garran menggaruk kepala yang tidak gatal, rupanya menghadap anak kecil tantrum butuh kesabaran ekstra. “Memang tidak sama, tapi segala konsekuensinya tetap sama, nggak ada yang berubah.” Sepertinya Gianni tidak terima dengan alasan impulsif yang diutarakan Garran, tatapannya kian menanam dengan kedua alis nyaris bertemu. Garran dalam posisi terpojok, yang artinya dia harus mengambil langkah cepat dan tepat. “Ayah Tanto nanyain kamu, aku bilang apa kalau ternyata kamu sedang bersama teman-temanmu tanpa aku disana.. Kamu mau, Ayah Tanto kembali menginvestigasi kita sampai melibatkan Oma dan membuat kita diawasi setelahnya? Aku yakin, Ayah Tanto nggak akan segan-segan menyeret kita pindah ke rumahnya kalau tahu kamu sering berkeliaran kayak gini.” “Nggak setiap hari juga, aku tahu batasnya dan nggak mungkin.. “ “Ayo, kita pulang. Jangan marah-marah terus, malu ada yang lihat.” Garran menarik tangan Gianni, membawanya masuk ke dalam mobil. Gianni tidak berontak lagi seperti tadi, walaupun bibirnya masih cemberut dengan sesekali terdengar umpatan yang ditujukan padanya. Garran menghela lemah, tidak apa jika harus mendengar ocehan Gianni selama perjalanan pulang atau mungkin dalam beberapa hari kedepan, yang terpenting Gianni berhasil dibawa pulang. Itu yang terpenting. Benar saja, Gianni memang tidak hentinya ngomel, sampai keduanya ada di rumah pun suara Gianni masih sangat nyaring. Sepertinya Garran berhasil membuat anak itu kesal. “Kenapa Mas?” Bi Ati menatap Gianni dengan tatapan heran. “Ngambek.” Garran menuju lemari pendingin, mengambil satu botol minuman soda. Terdengar suara hentakan pintu yang dibanting dengan sekuat tenaga. Bi Ati sampai terkejut mendengarnya. “Kayaknya beneran marah, ya?” “Emangnya pernah nggak beneran marah? Hobi dia kan marah,” Garran berdecak. Bi Ati justru terkekeh, “Tapi semenjak Neng Gia tinggal di rumah ini, kita nggak kesepian lagi, Mas. Ada aja gebrakannya, jadi lebih rame dan berwarna aja.” “Gimana nggak rame, Bi. Kita merawat bayi Abg, yang nyebelin dan bawel banget. Jorok dan nggak bisa melakukan apapun sendiri.” “Namanya juga anak tunggal, Mas.” “Aku juga anak tunggal, tapi nggak kayak dia Aku justru terbilang mandiri, padahal aku ini laki-laki.” Bi Ati menoleh, “Ibaratnya nih Mas, Mas Gar ini.” Bi Ati mengambil botol air mineral yang ada di meja. “Ini Mas Gar, dan itu Neng Gia. Sama-sama botol tapi dengan isi yang berbeda.” Garran menatap bingung ke arah Bi Ati, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud wanita itu. “Mas Gar penuh kasih sayang dari kecil sampai setua ini, sementara Neng Gia hanya merasakan sedikit kasih sayang. Jadi, jangan heran kalau dia tumbuh menjadi anak yang manja dan kolokan, karena dia hati dia kosong, yang seharusnya diisi oleh sosok wanita bernama Ibu.” “Oh,, itu.” akhirnya Garran mengerti dengan maksud ucapan Bi Ati. “Sama-sama hidup dalam kecukupan, dan di lingkungan yang sama tapi Neg Gia tetap tumbuh tanpa sosok ibu di hidupnya. Tolong lebih dimaklumi lagi ya, Mas Gar. Dia masih sangat muda bahkan terlalu dini untuk menyandang status sebagai istri.” Garran setuju jika saat ini Gianni memang belum siap dengan pernikahan. Usianya masih terlalu muda, dimana seharusnya ia menikmati masa-masa indah remaja dengan bebas dan bahagia. Tapi Gianni justru terjebak pernikahan yang tidak diinginkan, hanya karena satu keinginan yang tidak masuk akal. Garran menganggap keinginannya pada dunia boyband sudah seperti candu, yang tidak dapat dicegah dan mungkin sulit diobati. Hobi yang kerap membuat Gianni lupa pada tanggung jawabnya sebagai seorang mahasiswa, karena beberapa kali ia sempat bolos hanya karena alasan sepeko, yakni kumpulan sesama fandom. Selain itu Gianni pun kerap menghabiskan banyak uang untuk hal-hal di luar nalar, yang membuat Tanto sang Ayah kewalahan. Esok paginya saat Garran hendak berangkat ke kantor, ia melihat pintu kamar Gianni masih tertutup rapat. Bi Ati pun mengatakan, Gianni belum keluar kamarnya sejak semalam. Yakin masih merajuk, Garran pun berinisiatif untuk menghampiri terlebih dulu. Sejujurnya ia tidak pernah mengalah pada wanita manapun, hanya Gianni salah satu pengecualiannya. “Gianni,” panggil Garran sambil mengetuk pintu. “Sarapan, Bi Ati udah buatin kita sarapan. Ayo keluar!” Karena masih tidak ada respon, Garran kembali mengetuk pintu. “Aku nggak mau sarapan.” akhirnya terdengar suara Gianni dari dalam kamar, sudah pastinya menolak ajakan Garran. “Bi Ati buatkan roti isi kesukaan kamu, ayo keluar.” “Nanti aja.” “Ada yang ingin aku bahas, soal uang bulanan. Kamu mau beli album baru, kan? Butuh uang lagi nggak?” Garran mencari tahu sekilas tentang boyband kesukaan Gianni, yang secara kebetulan akan mengeluarkan album baru minggu depan. “Album apaan? Nggak ada album baru yang mau kubeli.” akhirnya pintu terbuka, walaupun sambutannya masih sama ketus dan judes, tapi tidak apa, Garran langsung menariknya keluar, menuju meja makan. “Om Gar mau bujuk aku ceritanya?” Kedua mata Gianni menyipit. “Nggak semudah itu, ya! Aku masih marah!” Garran hanya mengangguk saja. “Iya, tapi mau beli album, kan?” “Mau dong!” Eksepsinya langsung berubah. “Aku mau ikutan PO ekspres, biar cepet kebagian. Harganya sedikit mahal, nggak apa-apa, kan?” Garran mengangguk. “Nggak apa-apa.” Sedikit keluar uang lebih banyak tidak apa, yang penting berhasil melihat senyum itu lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN