Sepuluh hari berlalu tanpa bertemu dengan Gianni. Kesibukan benar-benar membuat Garran kehilangan waktu tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga bertemu gadis itu.
Waktu yang dimiliki benar-benar habis untuk mengurus beberapa proyek besar, salah satunya proyek dari perusahaan keluarga dimana Garran menjadi yang paling bertanggung jawab untuk saat ini. Selain karena Garran cucu lelaki satu-satunya, juga karena sampai detik ini Gianni tidak menunjukkan sedikitpun minat pada dunia bisnis. Entah mungkin belum tertarik atau mungkin saja Gianni enggan berkecimpung di dunia bisnis dan lebih tertarik pada dunia hiburan. Bukan hanya suka pada hal berbau Korea, tapi Gianni pun mulai melirik dunia entertainment. Entah untuk beradu akting dan menjadikannya kadang penghasilan atau mungkin Gianni hanya tertarik pada dunia fashion yang memang kerap berkaitan erat dengan dunia entertainment.
Satu minggu pertama Garran dan mertuanya Tanto ada di Singapura untuk mengikuti beberapa seminar disana. Hari berikutnya dilanjutkan dengan agenda pertemuan dengan beberapa klien besar.
Di Singapura memang hanya satu minggu, tiga hari berikutnya karena langsung sibuk di kantor dan baru sampai di rumah nyaris dini hari, dimana Gianni sudah tidur dan mengunci diri di dalam kamar.
Amanat yang kini ada di pundak Garran benar-benar besar, ia tidak hanya menjadi karyawan biasa tapi sebagai pemimpin perusahaan dimana ia bertanggung jawab penuh atas banyak karyawan yang menggantungkan hidup di sana. Jika dulu ia memiliki jam kerja pasti dan bisa menikmati hidupnya dengan baik, tapi sekarang semua itu tidak lagi dirasakan Garran. Waktunya benar-benar habis untuk bisnis dan bisnis saja.
Gelegar musik tidak terdengar dari kamar Gianni yang terbuka sedikit. Senyap.
Itu artinya Gianni tidak ada di kamarnya, kalaupun gadis itu ada di sekitar rumah pastinya sosok itu berkeliaran bebas dari satu ruangan ke ruang lain, atau mengganggu Bi Ati dengan meminta banyak hal padanya. Tapi saat ini situasi rumah sangat sepi, bahkan terlampau sepi dimana Bi Ati pun tidak terlihat sosoknya.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam yang artinya belum terlalu larut tapi situasi rumah sudah sangat sepi.
Kesibukan benar-benar membuat Garran kehilangan banyak waktu tapi keduanya masih sempat bertukar pesan beberapa kali untuk menanyakan kabar. Garran memang tidak terlalu membatasi kehidupan pribadi Gianni, tapi gadis itu selalu memberi kabaran kemanapun dirinya pergi. Biasanya Gianni ada di rumah sebelum pukul delapan malam, Bi Ati pun mematikannya pulang tepat waktu jika tidak ada kegiatan di luar jam kuliah.
Garran mengambil ponsel dan menghubungi Gianni. Sayangnya nomor ponsel Gianni tidak aktif, yang membuat Garran merasa aneh. Gianni salah satu remaja yang tidak bisa jauh dari ponsel, ia rela membawa beberapa charger tambahan hanya untuk memastikan ponselnya tetap menyala.
Gianni oun termasuk salah satu golongan orang fast respon, selalu membalas saat dalam keadaan online.
Kemana anak itu pergi dan apa yang terjadi dengannya, hingga ponselnya tidak dapat dihubungi?
Garran menggaruk kepala yang tidak gatal.
Daripada terus bertanya-tanya, lebih baik mencari tahu dari Bi Ati. Mungkin saja Bi Ati tahu kemana perginya Gianni saat ini.
Garran bergegas menuju kamar Bi Ati, mengetuknya beberapa kali sampai sosok itu muncul dari balik pintu. Sepertinya Bi Ati sudah tertidur, terlihat dari penampilannya yang sudah acak-acakan.
“Bi Ati sudah tidur?”
“Ada apa, Mas?” Bi Ati mengucek kedua matanya.
“Gianni nggak ada di kamarnya, kemana Bi?”
Bi Ati mengerjap beberapa kali, sepertinya ia belum benar-benar tersadar dari alam mimpi.
“Bukannya pergi sama Mas Garran ya?” Namun wanita itu justru balik bertanya dengan tatapan bingung.
“Saya baru pulang.”
Bi Ati menghela lemah dan menghembuskan nafas panjang sebelum menjawab. “Bilangnya mau pergi sama Mas Garran, ketemuan di Mall. Harusnya Bi Ati curiga saat temannya datang menjemput.”
“Teman? Yang mana, Bi?”
Tanya Garran beruntun.
“Siska dan Andre. Mereka pergi dari tadi siang, sebelum makan siang.”
“Oh,, pantesan aja kamarnya sepi.”
“Tapi Neng Gia nggak ada bilang apapun sama Mas Gar?” Bi Ati kembali bertanya.
“Nggak ada.”
“Coba di telepon saja, Mas. Sudah malam begini belum pulang.”
“Biarin aja, Bi. Nanti kalau disuruh pulang ngomel-ngomel lagi dan minta dibeliin album mahal itu lagi. Padahal cuman gambar cowok cantik aja, tapi harganya jutaan.”
“Oh gitu, Mas. Ya sudah,”
“Istirahat lagi aja, Bi. Saya juga mau istirahat.”
Garran lantas pamit dan kembali ke kamarnya. Sejauh ini Garran tidak pernah khawatir akan keselamatan seseorang, termasuk saat mengkhawatirkan Rinjani yang tiba-tiba memutuskan pergi tanpa alasan jelas.
Wanita itu mungkin berharap Garran khawatir, atau membujuknya kembali namun yang dilakukan Garran justru diam dan membiarkan Rinjani melakukan apapun sesuka hatinya. Tapi akhir-akhir ini Garran kerap merasa khawatir dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Seperti alasan ponsel Gianni yang tidak bisa dihubungi. Walaupun bentuknya masih seperti anak kemarin sore, tapi Gianni sudah termasuk dalam kategori dewasa. Keputusannya untuk menikah itu sudah lebih dari cukup bahwa ia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri walaupun dengan alasan yang tidak masuk akal.
Kantuk yang ditunggu tidak kunjung datang, meskipun Garran sudah berbaring diatas tempat tidur. Garran masih merasa ajaib dengan perasaan khawatir yang sejak tadi hinggap dalam hati, apalagi keberadaan Gianni belum juga diketahui. Kemana Gianni pergi?
Garran masih berusaha menghubunginya entah dengan mengirim pesan singkat walaupun hanya centang satu, atau kembali menghubungi meski yang terdengar hanya suara operator. Hal tersebut masih terus dilakukan sebagai salah satu usahanya untuk mengetahui dimana Gianni berada. Sampai tepat pukul dua belas malam, akhirnya Garran mendengar suara mobil berhenti di depan gerbang rumah, diiringi gelak tawa yang membuatnya semakin penasaran. Ia menuju jendela, melihat siapa yang datang dan dugaannya benar, itu Gianni. Dia baru saja pulang di waktu tengah makan seperti ini..
Garran segera menuju pintu keluar untuk menemuinya..
Awas saja!!