Sekar berdiri di depan cermin besar, jemari gemetar saat melepas satu per satu peniti kecil yang menahan kebaya di tubuhnya. Kilau perhiasan yang sedari tadi menempel di tubuhnya kini terasa seperti belenggu yang mencekik. Kain brokat itu jatuh ke lantai, menyisakan bayangan dirinya yang rapuh di balik cermin. Sesak di dadanya belum juga mereda. Air mata yang sempat tak terbendung di pelaminan kini sudah kering—kering seperti hatinya yang ia rasa telah mengkhianati cinta sejatinya. “Maaf, Mas Adma…” bisiknya, lirih dan bergetar. Suaranya hampir hilang, ditelan kesunyian kamar pengantin yang terlalu mewah untuk hatinya yang retak. Ah bukan... Dirinya berada di kamar putranya. Bukan di kamar yang seharusnya dia habiskan bersama Raka. Suami batunya. “Maaf… aku nggak bisa jaga hati aku… bi

