Sekar berjalan menyusuri koridor panjang kantor pusat Wirantara Group. Tumit sepatu haknya dengan tegas menjejak lantai marmer, mengeluarkan bunyi menandakan jika dirinya sudah tiba di sana. Dengan keteguhan hatinya dirinya hanya meminta satu hal. Semoga semua berjalan dengan lancar.
Masalah di rumah belum selesai. Masalah di perusahaan juga masih menumpuk. Tapi ia tak punya pilihan. Terlalu banyak yang bergantung padanya—para karyawan, para klien, dan nama besar perusahaan yang diwariskan padanya… dari suaminya.
Saat ia meraih pegangan pintu ruangannya, napasnya diatur. Ia sudah menyiapkan rencana kerja hari ini, rapat dengan tim keuangan, dan beberapa pertemuan penting. Namun begitu pintu terbuka, rencananya runtuh dalam sekejap.
Di kursi kebesarannya—kursi yang selama ini menjadi simbol perjuangannya—terduduk seorang pria. Tubuh tegapnya bersandar santai, satu kaki disilangkan di atas yang lain, jemarinya memegang sebuah dokumen yang jelas-jelas berasal dari mejanya.
Raka Raksadana. Pandangan matanya menusuk, gelap, penuh penguasaan. Sekar membeku sepersekian detik. Ada raut terkejut di wajahnya namun secepat mungkin Sekar menutupi dengan wajah datarnya.
"Sepertinya Anda tersesat, Tuan Raka," ucapnya datar sambil melangkah masuk, meletakkan tasnya di meja kecil di sisi ruangan.
Raka hanya tersenyum tipis, mengabaikan sarkasme itu.
"Tidak, aku tidak tersesat. Ini ruanganku juga… sekarang."
Alis Sekar terangkat. "Oh? Dan sejak kapan Anda menganggap ruangan CEO ini milik Anda?"
Raka menyandarkan diri lebih dalam di kursi itu, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan kursi.
"Sejak perjanjian investasi kemarin. Kau tahu betul, Sekar… perusahaan ini tak lagi hanya milikmu. Kau menggadaikannya, alih-alih hanya menerima suntikan dana. Jadi, sudah sewajarnya aku duduk di sini… di tempat terpenting ini."
Sekar menatapnya, mencoba mencari tau apa yang ada dalam pikiran pria di depannya ini. "Anda tau bukan jika ruangan anda masih saya siapkan? Untuk apa anda datang kemari? "
Raka menatapnya lekat, seolah ingin menembus lapisan pertahanan yang Sekar bangun mati-matian. "Kenapa tidak satu ruangan saja? Anggap saja kamu asisten pribadiku?" seringai tipis muncul di sudut bibir Raka. "Menarik bukan? "
Sekar terkekeh pendek. "Jadi tujuan Anda hanya itu? Ingin mengawasi saya setiap detik?"
"Lebih dari itu," jawabnya cepat, tanpa berkedip.
Sekar menghela napas panjang. "Jika itu yang Anda mau… silakan gunakan ruangan ini. Biar saya yang menempati ruangan Anda."
Tanpa menunggu jawaban Raka, Sekar berbalik dan langsung berjalan menuju pintu. Dia tak suka mendebatkan hal yang tak penting seperti ini. Hanya membuang waktu saja. Pagi ini otaknya sudah penuh dengan bising permasalahan lain. Dan tak ingin menambahnya.
"Sekar Ayunda Maheswari."
Langkah Sekar terhenti saat suara berat itu memanggilnya. Bukan hanya Sekar, tapi nama lengkapnya. d**a terasa sesak. Nada suara itu… entah kenapa begitu familiar. Nada yang pernah membelai hatinya, namun juga menusuknya. Sial… kenapa harus mirip sekali dengan Mas Atma?
Ia memejamkan mata sejenak, mengatur napas, lalu perlahan berbalik.
Raka sudah berdiri, hanya berjarak satu langkah di depannya. Sorot matanya dingin, tapi ada bara tersembunyi di dalamnya.
"Masih ingat isi pasal terakhir perjanjian kita?" suaranya rendah, nyaris berbisik namun penuh tekanan. "Setiap permintaan saya… wajib kamu turuti. Tanpa tawar-menawar."
Sekar mendongak, menatap wajahnya. Dan lagi-lagi jantung Sekar seakan berdetak lebih cepat. Pria ini memang terlalu tampan—setampan mendiang suaminya. Tak ada yang berbeda dengan wajah itu. Wajah Adyatma.
Hingga saat dirinya tersadar kembali, ia menurunkan pandangannya, mencoba mengabaikan sensasi asing yang menggerogoti pertahanannya.
Maafkan aku, Mas… batinnya bergetar, seolah baru saja melakukan pengkhianatan.
Sekar hendak membalas kalimat Raka, namun ketukan cepat di pintu membuat Sekar mengurungkan niatnya.
Tok! Tok! Tok!
Pintu terbuka, memperlihatkan Larasati, asistennya, dengan wajah gelisah. “Ada apa?” tanya Sekar datar, tapi ada kerutan di keningnya.
Laras menelan ludah, melirik sekilas ke arah Raka sebelum kembali pada Sekar. “Ada Bagas… dia nyari kamu Kar. Katanya penting."
Sekar langsung berdecak, matanya memicing. “Buat masalah apa lagi b******n itu?” Sekar mengeram. Dia sudah benar-benar mencapai batas sabarnya.
"Ada masalah sama cabang Kar. Entah apa yang dilakukan dengan kakak iparmu itu" Laras juga kesal dibuatnya.
Raka diam. Tidak ikut bicara. Tapi di balik tatapan santainya, rahangnya mengeras. Jemarinya yang tadi mengetuk sisi meja langsung berhenti—membentuk kepalan. Ada kilatan berbahaya di matanya saat mendengar nama itu. Bagas…
Sekar tidak menyadari perubahan itu. Ia hanya meraih map di meja, bersiap meninggalkan ruangan. “Oke, bawa dia ke ruang rapat kecil. Aku akan—”
“Tidak.” Suara Raka memotong tajam, dingin.
Sekar berhenti, menoleh. “Apa maksud Anda?”
Sorot mata Raka tak bisa di tebak. Dengan tatapan datar dan dingin itu sekar tau ada sesuatu yang, entahlah. "Biar saya yang temui"
"Untuk apa? Saya tau anda sudah menjadi investor dari perusahaan saya. Tapi tolong jangan ikut campur dalam hal ini." Sekar menghentikan Raka yang hendak oergi. "Anda mengerti Tuan Raka?"
Raka tak membantah hanya menatapnya lama, seolah mengukur, lalu tersenyum tipis—senyum yang membuat udara di ruangan itu menegang. Tapi ia tidak berkata apa-apa.
Sekar menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan keluar dengan langkah yang sedikit menghentak, kemarahan yang seakan ingin meledak di d**a. Ia tidak mau terlihat terpancing, tapi rasa muaknya sulit dibendung.
Apa lagi yang dia perbuat? Apa lagi yang dia mau? pikirnya. Apa tak cukup pria itu menjadi benalu dalam hidupku dan hidup anakku? Sekar mendesis pelan. Sial sekali hidupku… bagaimana bisa mendiang suamiku punya ibu tiri dan kakak tiri seperti ini?
Begitu ia sampai di ruang rapat kecil, Bagas sudah duduk bersandar seenaknya, senyum licik tersungging di bibirnya.
“Hai, adik iparku yang cantik,” sapa Bagas, dengan nada menjijikkan. Sudah tertera jika pria ini, maniak.
Sekar tak terpengaruh, tetap berdiri fi tempatnya. “Ada perlu apa?”
Bagas merapikan jasnya dengan gerakan berlebihan. “Aku butuh uang. Untuk investasi di cabang kita. Bisa kau beri… sepuluh miliar saja?”
Sekar menatapnya tak percaya. “Kau gila, Gas?”
“Tidak, adikku yang cantik.” Bagas bangkit, mencoba merangkulnya.
Sekar langsung mundur setengah langkah, tatapannya tajam. “Jauhkan tangan kotormu dariku, Bagas.”
Bagas terkekeh, gelap. “Kamu masih saja sok jual mahal. Apa kamu tidak rindu sentuhan? Masih kuat bertahan dengan status jandamu itu? Sudahlah… beri aku uang itu, atau dirimu pun aku juga mau”
Sekar mengepalkan tangannya. “Tutup mulutmu. Kau pikir aku akan memberikan uang sebanyak itu padamu? Tidak akan pernah, Bagas.”
Rahang Bagas mengeras. Ia memiringkan kepala, senyumnya berubah sinis. “Ck. Beri padaku… jalang.”
Suasana membeku seketika. Sekar terdiam, napasnya tercekat. Namun sebelum ia bisa membalas, suara berat dan dingin memotong udara di antara mereka.
“Siapa yang kau sebut jalang… Tuan Bagas?”
Bagas sontak menoleh. Dan saat itu pula napasnya tercekat—wajah di hadapannya adalah wajah yang seharusnya tidak mungkin dilihatnya lagi.
“Adyatma…?” ucapnya lirih, ada keterkejutan di wajahnya. Bukan. Bukan hanya itu. Ada ketakutan disana.
Raka berdiri di ambang pintu, namun auranya jauh dari sekadar “tamu”. Matanya menusuk seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya. Satu langkah, dua langkah, dan kini ia sudah berdiri cukup dekat, membuat Bagas terpaksa mundur setengah langkah.