6

1115 Kata
Suasana dalam ruang rapat kecil itu mendadak sesak, seolah udara tertahan di antara dinding. Bagas masih menatap Raka, keterkejutan jelas terukir di wajahnya. Matanya berkedip cepat, seperti berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang ia lihat hanyalah ilusi. Namun Raka di tempatnya tak breaksi sama sekali. Berdiri tegak, dengan wajah datarnya dan tatapan yang mampu mematikan lawan. Gelap. Hanya itu. Dan mmapu membuat Bagas bungkam. Aura Raka benar-benar berbeda. Bagas akhirnya menoleh ke arah Sekar, suaranya terdengar kaku. “Apa maksudnya ini, Sekar?” Sekar tetap berdiri di tempat, tubuhnya tegap. “Kamu sudah tahu, kan, bagaimana kondisi perusahaan saat ini?” nadanya tegas, menahan emosi. “Dan mulai saat ini. Mau atau tidak. Semua tindakanmu akan diawasi oleh Pak Raka" Raka mengangkat dagunya sedikit, lalu melangkah maju. Setiap langkahnya mantap, terukur, seakan ia tengah mengambil alih ruangan itu tanpa perlu izin. Ia berhenti di sisi Sekar, lalu mengulurkan tangan, hendak menegaskan dengan menjabat tangan pria yang ada dihadapannha ini. “Raka Reksadana,” ucapnya dengan nada rendah namun penuh penekanan. “Investor terbesar di perusahaan ini… dan sekarang, pengendali penuh kebijakan operasional.” Bagas menelan ludah. Sekali lagi tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Sial. Semua tingkahnya akan diawasi. Lalu bagaimana dia akan mengambil harta milik Rana, keponakan sialan itu? Raka memiringkan kepalanya sedikit, menatap Bagas dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Jadi, Tuan Bagas…” suaranya melambat, menusuk. “…kau ingin uang perusahaan ini untuk… investasi pribadi?” Bagas menggertakkan gigi, mencoba memulihkan sikapnya, tapi matanya tak lepas dari wajah Raka. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman—bukan hanya ancaman posisi, tapi juga… kemiripan. Dari sorot mata, bentuk rahang, bahkan cara bicara yang tenang namun menekan—terlalu mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Tidak mungkin… dia sudah mati. pikir Bagas. Tapi kenapa… kenapa dia bisa mirip sekali? Raka seolah membaca pikirannya. Senyum tipis muncul di bibirnya, tapi bukan senyum ramah—lebih seperti senyum pemangsa yang tahu mangsanya sedang ketakutan di tempatnya. “Apa ada yang ingin kau tanyakan… Bagas?” ------ Pintu ruangannya dibanting keras. Bagas masuk dengan napas memburu, wajahnya merah padam menahan kemarahan. Dia sudah tak bisa lagi menahan emosinya. Terlebih lagi dirinya yang seakan melihat wajah adik tirinya yang seharusnya sudah tak ada di hadapannya. Tangannya langsung menyapu meja kerjanya, menumpahkan tumpukan dokumen ke lantai. Gelas kristal berisi whisky jatuh, pecah berkeping-keping, membuat aroma alkohol bercampur dengan wangi kayu tua yang memenuhi ruangan. Melampiaskan semua amarah yang sedari tadi ingin dia ledakkan. “b******k!” makinya, menendang kursi hingga terpental ke sudut. Ia menjatuhkan diri ke kursi besar di balik meja, menekan pelipisnya keras-keras. Dadanya masih naik-turun. Tadi, di ruang rapat, tatapan Raka itu… menusuknya. Bukan hanya soal posisi dan kekuasaan, tapi soal sesuatu yang tak masuk akal—kemiripan yang membuat darahnya terasa dingin. Adyatma… namanya kembali menggema di kepalanya. Tidak mungkin dia… tapi wajah itu, sorot itu… Bagas memukul meja sekali lagi, keras. Bukan hanya itu. Yang membuat amarahnya meledak adalah kenyataan bahwa Sekar berdiri di sisi pria itu. Sekar—wanita yang selama ini diam-diam membuatnya mabuk. Sekar dengan tatapannya yang tajam, sikapnya yang tegar, dan bibirnya yang tak pernah mau tersenyum untuknya. Ia tahu itu terlarang. Ia tahu Sekar membencinya. Tapi justru itu yang membuatnya gila. Ada bagian dalam dirinya yang menikmati kebencian itu, seperti tantangan yang harus ditaklukkan. Ia pernah membayangkan—tidak sekali dua kali—Sekar akan tunduk padanya. Entah dengan paksaan atau rayuan. Dan bayangan itu selalu membuatnya tersenyum di tengah malam. Dan sekarang? Wanita itu berada dalam lingkaran pengaruh orang asing yang entah dari mana munculnya. Orang asing yang tiba-tiba menjadi investor terbesar, duduk di kursi yang seharusnya ia rebut, dan berdiri terlalu dekat dengan wanita yang ingin ia miliki. Bagas meraih botol whisky baru dari lemari kecil di sudut ruangan, menuangkannya asal ke gelas, lalu meneguk setengahnya dalam sekali minum. Panasnya minuman itu tak mampu membakar dingin di hatinya. Uang itu… pikirnya. Aku harus mendapatkannya. Apa pun caranya. Ia akan mencari celah. Entah dari keuangan perusahaan, entah dari kelemahan Sekar, atau bahkan dari rahasia orang bernama Raka itu. Bagas tersenyum miring, senyum yang tak pernah sampai ke matanya. Ia tidak peduli harus menginjak siapa. Bahkan jika itu berarti mematahkan Sekar—atau… memilikinya sepenuhnya. Bagas menegakkan punggungnya di kursi, menarik napas panjang untuk meredakan gejolak amarahnya. Ia menekan tombol interkom di meja. “Surya. Ke sini. Sekarang.” Tak sampai satu menit, seorang pria berperawakan tegap dengan rahang keras masuk ke ruangan. Wajahnya datar, tapi matanya tajam seperti pisau. Surya—tangan kanan Bagas, yang sudah lama menjadi eksekutor dalam pekerjaan kotor dibalik seorang Bagas Wiratmaja. Bagas memutar gelas di tangannya, menatap cairan amber yang berputar di dalamnya. “Cari tahu semua tentang pria bernama… Raka Raksadana.” Surya menaikkan alis sedikit. “Investor baru itu?” “Investor baru,” Bagas mendengus sinis. “Orang itu bukan cuma investor. Dia datang dengan wajah yang… mengganggu. Dan aku ingin tahu, dari mana dia datang, siapa keluarganya, siapa temannya, siapa musuhnya… bahkan apa warna celananya kalau perlu.” Surya mengangguk. “Berapa cepat Anda mau datanya?” “Besok subuh.” Nada Bagas dingin dan tegas. “Kalau perlu, pecahkan kepala orang-orang yang tak mau buka suara. Aku mau semua yang dia sembunyikan, Surya.” Diam sebentar. Lalu, nada suaranya berubah, menjadi rendah dan sarat obsesi. “Dan… cari tahu hubungannya dengan Sekar. Apapun. Setiap tatapan, setiap sentuhan, bahkan kalau mereka pernah… dekat. Mengerti?” Surya menatap tuannya sesaat, lalu mengangguk. “Mengerti.” Ia keluar, menutup pintu dengan hati-hati. Bagas memiringkan kepala, menatap kosong ke arah foto keluarga di meja—foto mendiang ayah tirinya bersama ibunya, dan… Adyatma. Ia menatap foto itu lama, sebelum senyum miring merayap di wajahnya. Kalau benar dia Adyatma… maka permainan ini akan jauh lebih menarik. Ia bangkit, berjalan ke lemari besi di sudut ruangan, memutar kodenya, lalu mengeluarkan map hitam berisi dokumen transaksi gelap. Di dalamnya, ada catatan rute distribusi barang—obat-obatan terlarang yang akan dilepas malam ini ke pasar bawah tanah. Telunjuknya menelusuri peta kecil yang ada di lembar itu. “Malam ini… uangnya akan masuk. Dan kalau aku dapat uang itu, aku akan punya jalan untuk menjatuhkan investor sok hebat itu.” Matanya menyipit. “Dan Sekar… ah, Sekar… kamu akan menyesal menolakku. Pada akhirnya, semua yang kau punya akan jatuh ke tanganku—termasuk dirimu.” Ia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat. Semua bergerak jam sebelas. Pastikan tidak ada yang meninggalkan jejak. Bagas berjalan meninggalkan ruangan dengan sebelumnya menutup lemari besi itu lagi. Seringai tak lepas dari wajahnya. Dia akan mendapatkan keuntungan malam ini. Melalui bisnis ayah kandungnya yang masih dia pegang sampai saat ini. Termasuk ibunya, Nindya Mahadewi. Malam ini, jalur bawah tanah keluarga Wiratmaja akan kembali hidup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN