7

1299 Kata
Raka menyipitkan mata ketika melihat Sekar sibuk berkemas. Tangannya yang kekar berhenti membalik halaman laporan keuangan Wiratama dari tahun ke tahun. Pandangannya jatuh pada jam mewah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya—Rolex hitam berbingkai emas. Jarum menunjukkan pukul 11 siang. Masih jauh dari jam makan siang. “Mau ke mana?” suaranya berat, dingin, memotong kesibukan Sekar. Sekar tak menoleh, hanya merapikan dokumen dan memeriksa isi tasnya. “Sepertinya itu bukan urusan Bapak.” Nada datarnya menusuk, seperti menegaskan jarak di antara mereka. Rahang Raka mengeras. “Kau lupa siapa saya dan kamu?” Sekar berhenti sejenak, lalu menoleh. Matanya menatap lurus, tapi nadanya tetap dingin. “Saya tidak lupa. Bahkan saya juga ingat persis siapa Anda.” Raka mengangkat alis tebalnya. “Lalu ini? Jam makan siang saja belum. Bukankah jadwal kerjamu penuh sampai sore?” Sekar menarik napas panjang, menahan kesal. “Bapak jangan lupa… saya CEO dari Wiratama. Dan saya masih punya hak privasi untuk tidak menjawab pertanyaan Anda jika itu tidak menyangkut urusan pekerjaan.” Braak! Raka menaruh bolpoinnya di atas meja kaca dengan hentakan keras. Suara benturan itu membuat Sekar sedikit berjingkat. Aura di ruangan itu mendadak panas, Sekar akhirnya memusatkan dirinya pada pria di depannya. Raka bangkit dari duduknya, melangkah pelan menuju tepi meja, bersandar di sana dengan kedua tangan disilangkan di depan d**a. Matanya mengunci Sekar, menelanjangi setiap gerak-geriknya. “Berapa kali saya harus tekankan… kamu terikat dengan saya, Sekar Ayunda Maheswari?” Suaranya serak, berat, dan menekan setiap kata. Sekar tak mundur. “Dan berapa kali pula saya harus katakan… ikatan itu hanya dalam pekerjaan. Bukan kehidupan pribadi saya.” Dia sudah menenteng tas, melangkah menuju pintu. Hanya butuh satu detik. Dengan gerakan cepat dan penuh tenaga, Raka menangkap pergelangan tangan Sekar, menariknya keras hingga tubuh ramping itu berbalik menabrak d**a bidangnya. Sekar terhuyung, napasnya memburu. Tangan besar Raka melingkar di pinggangnya, menariknya lebih dekat. Tangan satunya menutup rapat bibir Sekar, membungkam protesnya. Pencegahan sebelum Sekar bersuara. “Mmpph—” Sekar meronta, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Raka menunduk, menatap wajahnya yang merona marah. Senyum tipis, nyaris seperti seringai, terbentuk di bibirnya. Ia menurunkan kepalanya ke telinga Sekar, sengaja meniupkan napas panasnya di sana. Sekar menegang seketika, jemarinya mengepal di d**a pria itu. “Ingat pasal itu, Sekar…” bisiknya pelan, namun setiap kata terasa seperti belenggu. “Selain perusahaanmu yang terikat oleh saya… tubuhmu… hidupmu… dan nyawamu… juga terikat oleh saya.” Hening. Detak jam terdengar lebih keras di tengah ketegangan itu. Sekar benar-benar dibuat marah oleh pria ini. Tak menyangka jika seorang Raka Raksadana bisa berprilaku demikian. Sekar menghentikan rontaannya. Matanya berkilat, penuh emosi yang campur aduk—takut, marah, dan sesuatu yang tak mau ia akui. “Lepaskan.” Suaranya teredam di balik telapak tangan Raka. Raka hanya menatapnya, tak ada tanda akan melepaskan. Tatapan itu… terlalu mirip dengan seseorang di masa lalu. Sial. Adyatma. Kenapa harus seperti ini? Ingat Sekar, Raka buka suamimu. Suamimu sudah meninggal empat tahun yang lalu. Kamu sendiri yang mengantarnya ke tempat itu. Kesadaran itu membuat d**a Sekar sesak. Dia mengumpulkan semua tenaga, melepaskan bibirnya dari bekapan, lalu— Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Raka. Kepala pria itu sedikit bergeser, tapi matanya tetap mengunci Sekar. Tidak ada kemarahan di sana—hanya tatapan gelap, dalam, dan berbahaya. Sekar memundurkan langkah, napasnya tak beraturan. “Jangan pernah… sekali pun… memperlakukan saya seperti ini lagi.” Raka hanya tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih menyeramkan daripada Raka yang marah padanya. “Kita lihat… apakah kamu bisa menepati itu.” Sekar melangkah keluar dari ruangan itu tanpa menoleh sedikit pun ke arah Raka. Setiap ayunan kakinya berat, penuh amarah yang mendidih di d**a. Napasnya pendek-pendek, tapi matanya lurus menatap ke depan. Pria itu—Raka—bukan hanya kurang ajar, tapi juga terlalu berani. Siapa dia menganggap dirinya bisa menyentuh seenaknya? Sekar memang janda. Tapi itu bukan berarti dirinya wanita kesepian yang haus belaian. Tidak. Dia tak membutuhkan sentuhan siapa pun. Apalagi dari seorang pria asing yang datang dengan label “investor” lalu bertingkah seperti pemilik jiwa dan raga. Sepanjang koridor kantor, tatapan karyawan yang melihatnya hanya sekilas. Beberapa yang biasanya menyapa memilih diam, mungkin terintimidasi oleh aura marah yang terpancar dari wajah CEO mereka. Larasati, asistennya, mencoba memanggil pelan, “Sekar… ada—” Sekar tidak menggubris. Suara itu lewat begitu saja, seperti angin yang berhembus di telinga. Dia tak ingin mendengar apa pun. Tidak sekarang. Lift terbuka. Dia masuk tanpa ekspresi, menekan tombol menuju basement. Begitu pintu tertutup, Sekar mengembuskan napas berat, mencoba mengendalikan diri, tapi denyut nadinya masih cepat. Basement terasa dingin, sunyi. Langkah sepatunya bergema sampai ia tiba di mobil hitamnya. Begitu masuk, pintu ditutup keras. Kedua tangannya menggenggam setir… lalu menghantamnya keras-keras. Braak! “b******k!” geramnya pelan. Tangan kanannya mengusap wajah, mencoba menghapus sisa getar di tubuhnya. Nafasnya masih belum stabil. Terengah karena emosinya. Tiba-tiba, ponsel di dashboard berdering. Layar menampilkan nama yang membuat hatinya sedikit mengendur. Rana. Putra semata wayangnya. Sekar menekan tombol terima. “Halo, sayang…” suaranya lebih lembut, walau masih terdengar letih. “Mama di mana? Katanya mau jemput Rana jam setengah sebelas. Udah jam sebelas lewat ini,” suara bocah laki-laki itu terdengar polos, tapi membuat hati Sekar terhujam rasa bersalah. “Iya… maaf, Nak. Mama habis ada rapat mendadak. Mama ke sana sekarang, ya. Tunggu sebentar,” jawabnya, memaksa nada tenang. “Oke… jangan lama-lama ya, Ma.” Telepon terputus. Sekar memejamkan mata sejenak, mengatur napas, lalu menyalakan mesin mobil. Sementara itu, di lantai atas, Raka masih berdiri di dekat mejanya. Tatapannya kosong, tapi otaknya bergerak cepat. Dia meraih ponsel, menekan satu nomor singkat. Begitu tersambung, suaranya datar, tapi penuh perintah. “Buntuti Sekar. Laporkan setiap langkahnya. Sekarang.” “Baik, Bos,” suara di ujung sana menjawab singkat sebelum sambungan terputus. Raka menyimpan ponsel. Tangannya terangkat, mengusap pipinya yang masih terasa panas. Sisa tamparan itu… dan sesuatu yang lebih berbahaya—sentuhan Sekar, bahkan dalam bentuk kemarahan—masih melekat. Senyum tipis, nyaris seperti seringai predator, terbit di bibirnya. Sorot matanya gelap, bukan sekadar karena marah, tapi karena obsesi yang mulai mengakar. Obsesi ingin membawa istrinya kembali padanya. “Aku rindu sentuhanmu… sayang,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada bayangan Sekar yang hanya ada di pikirannya. Pintu ruang CEO itu diketuk pelan. Raka yang sedang berdiri di dekat jendela, memandang keluar sambil memutar gelas kristal berisi whisky, melirik sekilas. “Masuk.” Larasati, asisten pribadi Sekar, masuk dengan langkah ragu. Wanita itu membawa tablet di tangannya, posturnya tetap sopan walau tatapannya sedikit cemas melihat Raka sendirian di ruangan ini—ruangan yang seharusnya hanya untuk bosnya. “Ada apa?” tanya Raka datar, tanpa beranjak dari tempatnya. “Saya mau mengabarkan, Pak… setelah makan siang nanti ada pertemuan dengan klien dari luar negeri. Ibu Sekar sudah diberitahu sejak kemarin,” jelas Larasati. Raka memutar tubuh, menatapnya penuh perhatian. “Dan dia setuju hadir?” Larasati mengangguk. “Sepertinya, iya. Tapi… beliau mungkin akan berangkat langsung ke lokasi, tidak dari kantor.” Raka mengangguk perlahan, seperti sedang menimbang sesuatu. “Baik. Saya juga akan hadir. Posisi saya di sini setara dengannya, dan sebagai pemegang saham terbesar Wiratama… tentu saya ingin melihat sendiri negosiasi ini.” “Baik, Pak,” jawab Larasati cepat, tapi tangannya sedikit menggenggam tablet lebih erat. Raka maju beberapa langkah, mendekat, sorot matanya menyelidik. “Laras…” Larasati mendongak, sedikit gugup. “Ya, Pak?” “Apakah kau tahu… ke mana..” Nada suara itu datar, tapi mengandung tekanan yang sulit diabaikan. Namun belum sempat Raka meneruskan ucapannya. Raka mengurungkan niatnya untuk bertanya. "Tidak, tidak jadi. Jika sudah tidak ada yang kau bicarakan lagi. Keluarlah" lanjut Raka kembali memusatkan oandangannya ke luar jendela. Larasati buru-buru mengangguk dan keluar, menutup pintu di belakangnya. Begitu sendirian lagi, Raka menatap ke arah pintu itu, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN