8

1507 Kata
Sekar memarkir mobilnya di area teduh halaman sekolah playgroup itu. Udara siang cukup terik, namun suara tawa anak-anak yang berlarian membuat suasana jadi lebih ringan. Dari balik kaca, ia sudah melihat sosok mungil itu—Rana—berlari-lari di lapangan basket kecil, sepatu sneakersnya memantul di lantai karet berwarna biru. Di pinggir lapangan, Ratih, sang babysitter, duduk di bangku panjang sambil sesekali tersenyum memperhatikan tingkah Rana. Di sebelahnya, seorang wanita berhijab dengan wajah ramah—Bu Hana, salah satu guru Rana—sedang berbicara sambil mengawasi murid-murid lain. Sekar keluar dari mobil, menutup pintu dengan sedikit pelan, lalu berjalan cepat ke arah mereka. Meski langkahnya rapi dan elegan, ada keletihan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Begitu melihat ibunya, Rana langsung berseru riang. “Mamaaa!” seru bocah itu, bola kecil di tangannya terlepas begitu saja. Rana berlari menghampiri, dan Sekar langsung berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar untuk menyambut pelukan hangat itu. “Maafkan Mama ya, sayang… Mama telat jemput,” ucap Sekar sambil mencium pipi putranya. Senyum tipisnya tulus, meski matanya masih menyimpan sisa-sisa emosi dari pertemuannya dengan Raka tadi. Rana menatapnya sebentar, lalu menggeleng seperti meniru gaya orang dewasa. “Nggak apa-apa, Ma. Rana main sama mbak Ratih kok… terus tadi Bu Hana ajarin Rana basket juga.” Sekar melirik ke arah Bu Hana yang berjalan mendekat, senyumnya hangat. “Terima kasih, Bu… sudah menemani Rana sampai saya datang.” “Ah, tidak apa-apa, Bu Sekar. Rana anak yang pintar kok. Tau jika mungkin mamanya sedang sibuk dan menunggu sebentar,” jawab Bu Hana sambil tertawa kecil. Sekar tersenyum, meski pikirannya sempat melayang ke jam tangannya. Waktu berjalan, tapi ia tak mau terburu-buru di momen seperti ini. “Maaf ya, Bu… hari ini saya benar-benar terjebak urusan kantor. Sampai lupa jam.” Bu Hana menggeleng sopan. “Saya paham. Pekerjaan Ibu pasti sangat padat. Yang penting Bu Sekar sudah menjemput Rana" Sekar mengusap rambut putranya sambil tersenyum. “Ayo sayang, kita pulang. Mama ada janji kerja lagi nanti setelah makan siang, jadi sekarang Rana mau apa?" Rana mengangguk, lalu melirik Ratih yang sudah siap membawa tas kecilnya. “Oke, Ma. Rana mau sama mama aja boleh?” "Mama sebentar lagi kerja sayang" "Tapi ma.. Rana nggak mau ketemu nenek lampir itu lagi" rengeknya. "Huss, gak boleh kek gitu sayang. Nggak sopan. Kan ada mbak Ratih yang jagain" Sekar masih mencoba membujuk sang anak. "Nggak. Pokoknya Rana mau ikut" Sekar berpikir sejenak. Dan akhirnya dia memilih mengangguk. "Tapi janji nggak boleh nakal ya?" "Oke Mam" Rana memberi satu kecupan pada pipi mamanya. Sekar menggandeng tangan Rana, membimbingnya menuju mobil. Namun, jauh di sisi jalan, ada sebuah sedan hitam yang kacanya tertutup rapat. Di baliknya, sepasang mata sedang memperhatikan mereka tanpa berkedip. Seseorang mengangkat ponsel, menghubungi nomor tertentu. “Bos, target sudah di sekolah. Dia sepertinya sedang menjemput seseorang.” Dan di sebuah ruangan kantor yang mewah, Raka menyandarkan diri di kursinya, senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya. Ah dia lupa jika saat ini pasti Sekar sedang menjemput putra mereka. Di ruang kerjanya yang sepi, Raka duduk di kursi kulit hitam dengan satu kaki disilangkan. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan kursi, ritme yang tak pernah berubah setiap kali ia merancang sesuatu. Sinar matahari menerobos tirai, menyorot wajahnya yang setengah berada dalam bayangan—membuat garis rahangnya tampak semakin tegas. Ponsel di mejanya bergetar. Tanpa melihat layar, Raka meraihnya dan menekan tombol panggil. Suara William, asistennya, terdengar di seberang. "William, sudah kau temui dia?" "Sudah, Tuan. Klien yang Anda maksud… terkesan dengan penawaran kita." Raka mengangkat alis tipis, bibirnya menyunggingkan senyum samar. "Terkesan… atau terdesak?" "Kalau boleh jujur… keduanya, Tuan." Raka berdiri, berjalan menuju jendela. Dari sana dia bisa melihat hamparan langit berwarna biru. “Bagus. Pastikan dia paham, penawaran itu hanya berlaku… jika dia menandatangani kontrak malam ini. Di depan Sekar.” "Baik, Pak. Dan… soal persyaratan yang Anda ajukan?" "Jangan lupa. Itu yang akan menjeratnya. Saat dia terpojok, aku akan ada di sana… menawarkan ‘jalan keluar’ yang dia tidak akan bisa tolak." William terdiam sejenak. “Anda yakin Nona Sekar tidak akan mencium ini?” Raka terkekeh rendah, nada yang membuat bulu kuduk meremang. “Dia tidak akan tahu sampai semuanya terlambat. Sekar selalu berpikir dia masih bisa mengatur jarak… sampai aku yang menentukan batasnya.” Ia kembali ke meja, menyalakan sebatang rokok dan menghembuskan asap perlahan. Setiap tarikan napasnya mengandung kesabaran predator yang menunggu mangsanya lengah. “Oh, William… pastikan dia sedikit… menekan Sekar. Aku ingin melihat matanya saat dia sadar semua pintu tertutup, kecuali yang terbuka di tanganku.” "As you wish, Tuan." Telepon ditutup. Raka menatap bara rokok di tangannya, lalu mengingat kembali pagi tadi—wajah Sekar yang menegang di pelukannya, napasnya yang memburu, dan tatapan marah bercampur takut. Jemari Raka menyentuh pipinya sendiri, seperti membayangkan jemari itu adalah milik Sekar. “Kau tidak akan bisa lari, Sekar Ayunda Maheswari… Bahkan kalau kau coba, aku akan menjadi satu-satunya tempatmu kembali.” Ia menghembuskan asap terakhir, menatap keluar jendela seakan kota ini adalah papan catur… dan Sekar adalah ratu yang sudah ia kunci di sudut. Langkah sepatu kulit Raka terdengar mantap di lantai marmer koridor lantai eksekutif. Begitu pintu ruangannya terbuka, Larasati yang sedang membawa beberapa dokumen spontan berdiri tegak. “Tuan Raka, Anda mau keluar?” tanyanya, sedikit terkejut. Raka merapikan jasnya yang berwarna arang, menyelipkan ponselnya ke saku dalam. “Ya. Sampaikan pada Sekar… kalau saya akan berangkat sekarang.” Laras menatapnya ragu. “Untuk…?” “Menemui klien yang sama dengan yang akan dia temui nanti,” jawab Raka tanpa sedikit pun menurunkan nada suaranya, seakan informasi itu hanyalah hal biasa. “Oh, jadi… Anda—” “Sekalian makan siang,” potong Raka, tatapannya singkat namun membuat Laras otomatis menunduk. “Kalau Sekar bertanya, katakan saja aku sedang mengurus kepentingan perusahaan. Jangan detailkan.” Laras mengangguk cepat. “Baik, Tuan.” Raka melangkah melewatinya, namun sempat berhenti satu detik di samping sang asisten. “Oh, dan Laras…” Laras menelan ludah. “Ya, Tuan?” Tatapan mata Raka menajam, senyumnya tipis. “Tidak perlu bicara dengan Sekar.” Laras hanya bisa mengangguk lagi, meski pikirannya penuh tanda tanya. Raka kemudian melanjutkan langkahnya menuju lift pribadi, memasukkan kode di panel, dan pintu logam itu tertutup rapat di belakangnya. Begitu lift bergerak, Raka menatap pantulan dirinya di dinding stainless steel. Dingin. Penuh kendali. Dan sudah merancang langkah berikutnya. “Langkah kecil hari ini… akan jadi jerat yang membungkusmu, Sekar,” gumamnya pelan. --- Langkah kaki Nayla dengan angkuh berderap mantap di lantai marmer lobi hotel bintang lima itu. Gaun ketat berwarna merah marun membalut tubuhnya, padu padan sempurna dengan tas branded yang menggantung manja di lekuk lengannya. Di sampingnya, Nindya—ibu tiri mendiang Adyatma—melangkah anggun dengan gaya khas sosialita senior. Perhiasan berkilau di leher dan jemarinya hampir menyilaukan siapa saja yang melihat. Keduanya baru saja keluar dari butik perhiasan eksklusif di dalam hotel tersebut, membicarakan pesta amal yang akan mereka hadiri akhir pekan ini. Hanya menghadiri saja. Tidak untuk ikut serta. Uang dari mana coba? Semua harta hanya milik Sekar dan sang putra semata wayangnya. Suara tawa keduanya tipis namun penuh nada tinggi, khas perempuan yang terbiasa memandang rendah orang lain. Namun langkah Nayla terhenti mendadak ketika matanya menangkap sebuah siluet yang sangat ia kenali. Ia menyipitkan mata, memastikan penglihatannya. Ya, tak salah lagi—itu Sekar Ayunda Maheswari. Wanita itu melangkah masuk ke lobi hotel sambil menggandeng tangan kecil Rana, putranya, diiringi Ratih sang babysitter. Senyum Nayla perlahan terbentuk—senyum yang bukan karena ramah, tapi karena berpikir akan ada keributan yang akan dia ciptakan “Lihat siapa yang datang, si jandan dengan anaknya” bisiknya pada Nindya sambil melirik penuh arti. Nindya menoleh, dan matanya langsung menyipit tajam begitu mengenali wajah Sekar. Tatapannya menurun ke arah putra Sekar, lalu kembali ke wajah mantan menantunya itu. “Ngapain dia disini? Masuk hotel mengajak anaknya juga. Apa dia tidak waras? Perusahaan sedang goyah malah mainnya ke hotel" Oh… ternyata dia masih punya nyali masuk hotel,” ucap Nindya, nada suaranya dibuat cukup keras agar beberapa orang di sekitar bisa mendengar. Nayla tertawa kecil, menutup mulutnya pura-pura sopan. “Mungkin dia sudah dapat… sponsor baru atau mangsa baru... Mungkin,” ucapnya dengan penekanan licik, matanya melirik ke arah Sekar yang kini berbicara dengan resepsionis. “Aku rasa bukan mungkin lagi, Nayla,” timpal Nindya, langkahnya mulai bergerak pelan ke arah Sekar. “bisa saja Sekar menjual kesedihannya yang berstatus janda anak satu untuk menarik perhatian pria beruang? " “Aduh, Mam, nggak bisa dibiarin dong. Kasian dong mendiang anak mami,” Nayla menimpali dengan nada manja, tapi matanya memancarkan kepuasan. “Bagaimana kalau… kita sapa?.” Keduanya saling melempar tatapan penuh intrik. Bagi mereka, momen seperti ini adalah hiburan—kesempatan untuk menusuk harga diri Sekar di tempat umum, di hadapan orang-orang yang bisa menjadi saksi. Nayla memperbaiki rambut panjangnya yang bergelombang sempurna, sementara Nindya merapikan letak shawlnya. Langkah keduanya serempak menuju arah Sekar, seperti dua pemburu yang siap menerkam mangsanya. Di kejauhan, Rana yang memegang tangan Sekar tampak tersenyum polos, tak menyadari badai sindiran yang akan menghantam ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN