Ban mobil sport hitam itu berdecit pelan saat berhenti tepat di depan pintu masuk hotel bintang lima. Dari balik kaca gelap, pintu terbuka, menampakkan sosok pria tinggi berbalut setelan hitam pekat yang jatuh sempurna di tubuhnya. Kemeja hitam yang ia kenakan tanpa dasi, kancing teratas terbuka, memberi sedikit ruang bagi lehernya yang kokoh.
Kacamata hitam yang bertengger di wajahnya perlahan ia lepaskan, memperlihatkan tatapan mata dingin yang tajam seperti belati. Raka Raksadana. CEO Raksa Holding, pengendali sah Wiratama Group—nama yang membuat banyak orang menundukkan kepala hanya mendengarnya, karena hanya dirinya yang mampu menjadi investor terbesar.
Langkahnya mantap, sepatu kulit mahalnya memantulkan bunyi teratur di lantai marmer lobi. Setiap orang yang berpapasan tak bisa menahan diri untuk menoleh, beberapa menelan ludah, sebagian lagi menahan napas. Ada sesuatu dalam auranya yang membuat udara seolah lebih berat—kombinasi kuasa, bahaya, dan pesona yang mematikan.
Di tengah langkahnya, ponsel di saku celana bergetar. Ia mengangkatnya tanpa mengubah ekspresi.
“Ya,” suaranya rendah, berintonasi tegas.
“Tuan, target sudah hadir di hotel. Bersama putranya,” lapor suara di seberang.
Sekilas diam, lalu sudut bibirnya terangkat tipis. “Bersama… Rana?” Nada itu bukan pertanyaan, lebih seperti gumaman yang penuh makna.
“Iya, Tuan.”
Raka memutus sambungan, menyimpan ponselnya, dan tatapan matanya berubah—dari dingin menjadi sesuatu yang lebih kelam. Ada ketertarikan yang tak disamarkan. Langkahnya kembali tegap, hingga dari kejauhan, netranya menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir. Ada kemarahan dan emosi yang muncul saat itu juga.
Seorang wanita berpenampilan minim, dengan wajah yang tak asing, mencekal tangan mungil seorang bocah lelaki. Cekalan itu jelas kasar—kulit putih tangan bocah itu memerah akibat tekanan. Di belakangnya, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi penuh kebencian berdiri seperti sedang menonton pertunjukan yang ia tunggu-tunggu.
Tatapan Raka langsung membeku. Rahangnya mengeras, langkahnya otomatis melambat, tapi tubuhnya seakan memancarkan gelombang amarah yang kian terasa.
Itu Rana. Putra Sekar, dan juga... Istrinya.
Detik itu, Raka merasakan sesuatu yang liar menggelegak di dadanya. Amarah. Proteksi. Beraninya mereka, dengan lancang, dengan tangan kotor itu menyentuh putranya.
Ia melangkah lebih cepat, tatapannya terkunci pada pemandangan itu—setiap detik membuatnya semakin geram. Dan kali ini, siapa pun yang berani menyentuh milik Sekar, apalagi putranya… akan menyesal.
Langkah Raka semakin mantap, namun nyaris tanpa suara—membidik musuhnya yang dwngan sengaja mencari masalah padannya. Tatapannya dingin menusuk, tak sekali pun bergeser dari tangan Nayla yang masih mencekal Rana.
Sekar baru hendak menarik putranya saat sebuah bayangan tinggi menjulang menghampiri mereka.
Aroma parfum maskulin bercampur hawa d******i yang begitu kuat membuat Nayla secara refleks melepaskan cekalannya. Rana langsung mundur, berlindung di balik tubuh Sekar.
“Apakah itu… caramu menyentuh anak kecil?” Suara Raka rendah, namun tegas, seperti bunyi pelat baja yang dibenturkan. Tidak perlu berteriak—intonasinya saja sudah cukup untuk membuat Nayla kehilangan kata-kata.
Nindya melirik cepat, lalu mendongakkan kepala, mencoba menyamakan level tatapan. “Dan kau ini siapa, berani—”
Kalimat itu terputus begitu saja. Tatapan Nindya membeku. Jantungnya berdetak tak beraturan. Garis rahang itu… tatapan itu… cara pria ini berdiri tegak dengan aura mengintimidasi—semuanya nyaris identik dengan seseorang yang seharusnya sudah dikubur bertahun-tahun lalu.
Tidak… tidak mungkin. Itu tidak mungkin dia… Adyatma sudah mati. Aku melihat sendiri…
Raka bergerak setengah langkah maju. Hanya setengah langkah, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar mereka terasa menipis. Ia menunduk sedikit, menatap tepat ke mata Nindya.
“Saya tidak tertarik mendengar suaramu, Bu,” ucapnya datar, nada suaranya dingin dan berat. “Yang Saya tanyakan… siapa yang memberi izin menyentuh putra CEO Wiratama Group seperti itu?”
Suara itu—nada bariton rendah yang nyaris sama seperti suara yang pernah menghantui mimpinya—membuat Nindya refleks mundur setapak. Matanya sempat bergetar, seolah berusaha memastikan pria ini nyata atau hanya bayangan masa lalu.
Sekar menatap Raka, sempat tertegun. Ia mendengar sendiri nada protektif yang tak biasa, menyebut Rana sebagai ‘putra CEO’ dengan penekanan yang membuat siapapun paham, anak ini berada di bawah perlindungannya.
Tatapan mata Sekar masih memindahi Raka yang ada di depannya. Dengan tangannya yang masih mengelus lembut putranya agar tak ketakutan dan merasa lebih baik.
Nayla mencoba tersenyum, namun jelas gugup. “M-maksud saya, saya cuma—”
Raka mengangkat sebelah tangan, memotong. Gerakannya lambat, tapi sarat ancaman tak kasat mata. “Jangan jelaskan padaku. Jelaskan saja pada pengacara, nanti.” Tatapannya menusuk, membuat Nayla menelan ludah.
Lalu ia beralih pada Sekar, tatapannya sedikit melunak, namun suaranya tetap berat. “Sekar. Bawa anakmu. Kita selesai di sini.”
Sekar ingin protes—ingin mengatakan bahwa ia mampu mengurus urusannya sendiri. Tapi sorot mata Raka saat itu… berbeda. Bukan sekadar dingin atau angkuh, tapi seperti janji diam-diam bahwa siapa pun yang menyakiti dirinya atau Rana akan hilang dari dunia ini tanpa jejak.
Raka menoleh sekali lagi ke arah Nindya, menahan tatapannya selama beberapa detik. Tatapan itu bagaikan pisau yang menelusup ke masa lalu wanita tua itu, seolah berkata, dirinya tahu persis siapa wanita itu, dan dirinya tahu cara menghancurkannya.
Nindya menggenggam tasnya erat-erat, berusaha menelan kegugupannya. Tapi tatapannya tak bisa lepas dari wajah Raka. Tuhan… jika bukan Adyatma, kenapa dia bisa mirip sekali?
Tanpa menunggu reaksi, Raka berbalik, berjalan di sisi Sekar, mengawal mereka keluar lobi. Langkahnya santai, namun tiap gerakannya memancarkan satu pesan jelas—dia adalah kuasa yang tak bisa disentuh, dan mereka yang mencoba akan menyesal seumur hidup.
Rana yang sedari tadi menatap Raka dengan mata bulat polos, dengan perasaan senang karena bertemu dengan pria baik ini lagi, tiba-tiba berlari kecil lalu memeluk kaki jenjang pria itu. Pelukannya erat, seakan ingin berterima kasih pada sosok asing yang lagi-lagi dia temui dan memberi kesan yang membuat bocah itu nyaman.
“Terima kasih, Papa…” suaranya kecil, lalu buru-buru ia koreksi, “Eh… Om Raka.”
Sekar sempat menegang, kaget dengan sebutan yang nyaris keluar dari mulut putranya. Dua kali bertemu dan dua kali memanggil pria yang memang mirip dengan mendiang suaminya itu dengan sebutan 'Papa'.
Raka menunduk, satu lututnya menyentuh lantai marmer lobby, lalu berjongkok sejajar dengan tinggi tubuh Rana. Jemari panjangnya mengacak rambut halus bocah itu, dan di balik kacamata hitamnya, mata Raka bergetar.
Astaga… anak ini… setiap garis wajahnya seperti bercermin pada masa kecilku. Maafkan Papa, sayang. Tunggu sebentar lagi. Papa akan kembalikan semuanya padamu.
“Iya, sama-sama, Rana,” jawabnya lembut.
Sekar hendak menarik Rana, namun Raka berdiri, kini suaranya berubah lebih tegas, seakan tidak suka dengan keadaan yang baru saja menimpa bocah itu. “Kenapa kamu harus bawa anakmu ke pertemuan seperti ini?”
Nada itu membuat Sekar mengeraskan rahangnya. “Itu bukan urusan kamu, Tuan Raksadana.” Suaranya dingin, dengan tatapan menusuknya.
Raka menatapnya tanpa berkedip. “Kalau menyangkut keselamatan anak, itu urusan semua orang yang waras, Sekar.”
Sekar mendengus pelan, lalu membungkuk mengangkat Rana ke pelukannya. “Terima kasih sudah ikut campur, tapi kami bisa urus diri sendiri.”
Belum sempat ia berbalik, Raka mengulurkan kedua tangannya. “Biar Rana denganku”
Sekar menatapnya tajam. “Tidak perlu.”
Tapi Rana—tanpa ragu—membuka tangannya ke arah Raka, wajahnya sumringah. “Om Raka gendong!”
Sekar terdiam sepersekian detik, kalah oleh tatapan memohon putranya sendiri. Akhirnya ia menyerahkan Rana, meski matanya mengisyaratkan bahwa ia tidak suka.
Raka menggendong Rana dengan posisi protektif, seolah bocah itu adalah harta paling berharga yang pernah ia miliki.
Tanpa berkata lagi, ia mulai melangkah keluar lebih dari lobby, meninggalkan Sekar yang msih terpaku di tempatnya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa putranya bisa langsung nempel pada Raka? Ada apa ini?
Pertanyaan itu terus berputar di pikiran Sekar. Sekar tau putranya tak gampang dekat dengan seseirang. Apalagi oada orang yang tak oernah bertemu dengan bocah itu. Sekar menghela napas, ia mengikuti dari belakang, dengan hati yang anehnya berdebar.