Ruang kerja itu sunyi, hanya ditemani suara detik jam dan desiran hujan yang masih mengguyur Surabaya dari balik kaca jendela besar. Ruangan bernuansa abu-abu dengan sentuhan maskulin itu menjadi saksi bisu lamunan seorang pria yang duduk sendiri di belakang meja kerjanya—Mavendra Kawangga. Setelan kemeja birunya sudah sedikit kusut, dasi tergantung longgar di leher. Matanya menatap kosong ke arah hujan, tapi pikirannya jelas tidak sedang berada di sana. Bukan pada laporan kerjasama yang berserakan di mejanya, bukan pula pada grafik bisnis Edward Corp Indonesia yang ia pimpin—melainkan pada wanita itu. Paramita Anjani. Maven mengepal tangannya di atas meja, lalu menghela napas pelan. “Kamu membuatku gila, Mita…” desisnya. Bibirnya menyungging senyum miris. “Gila karena kamu sahabat man

