3

1444 Kata
"Bhas, bangun," suara Diajeng terdengar pelan, namun cukup jelas di dalam kamar yang masih remang-remang. Ia mengguncangkan tubuh Bhaskara yang meringkuk di bawah selimut tebal. Pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Napasnya berat dan dalam, seolah enggan kembali ke dunia nyata. Diajeng menghela napas. Ia mendekat sedikit, hendak mencoba lagi, namun tiba-tiba aroma alkohol menusuk hidungnya. Ia mengernyit. Jadi ini alasan Bhaskara pulang larut malam? Mabuk? "Bhas, kamu ngantor nggak?" tanyanya lagi, suaranya lebih tegas. "Hmm..." hanya gumaman samar yang keluar dari bibir pria itu. Sedikit menggeliat, tapi tidak cukup untuk bangun sepenuhnya. Diajeng menghela napas panjang. "Bangun, aku ambilin jahe anget buat kamu." Ia berbalik, berniat keluar untuk mengambil minuman hangat yang mungkin bisa membantu mengusir sisa alkohol dari tubuh suaminya. Namun, sebelum ia sempat melangkah, sebuah tangan besar menangkap pergelangan tangannya. Dalam sekejap, tubuhnya tertarik hingga jatuh ke atas pangkuan Bhaskara yang kini sudah terduduk di pinggiran ranjang. "Mau ke mana, hmm?" suara Bhaskara parau, bercampur dengan aroma alkohol dan parfum mahalnya yang masih melekat di kulitnya. Diajeng menegang. "Mau apa kamu? Lepas." Ia berusaha meronta, tapi genggaman Bhaskara terlalu kuat. Tangan pria itu mulai bergerak, menyusup ke dalam kemeja yang dikenakan Diajeng. Wanita itu sontak menepisnya dengan kasar. "Saya ingin pewaris," ucap Bhaskara, tatapan matanya penuh intensitas yang mengancam. "Bisa saya lakukan sekarang?" Diajeng mengatupkan rahangnya, menahan dorongan untuk menampar pria itu. Napasnya memburu karena marah. "Kamu habis mabuk, kan?" suaranya penuh ejekan. "Kenapa nggak sekalian cari wanita lain? Suruh dia yang menghasilkan anak untukmu. Lebih mudah, bukan?" Mata Bhaskara menyipit. Dalam hitungan detik, cengkeramannya pada Diajeng berubah lebih erat, menghimpit dagu dan pinggang rampingnya dengan cara yang membuat wanita itu meringis. "Kamu pikir aku semurah itu, Diajeng? Jaga bicaramu." Diajeng menatapnya penuh perlawanan, meski rahangnya terasa ngilu karena genggaman pria itu. Jika Bhaskara berpikir ia akan menyerah, pria itu salah besar. Senyum kecil terukir di sudut bibirnya. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan menyusuri rahang Bhaskara, jemarinya bergerak dengan lembut, turun melewati jakun pria itu, hingga menyentuh d**a bidangnya yang hangat. Bhaskara memejamkan mata, menghela napas dalam, seakan terbawa oleh sentuhan itu. Namun, sebelum pria itu bisa menikmati lebih lama, Diajeng tiba-tiba menjambak rambutnya dengan kasar. "Akhh! s**t!" Bhaskara menggeram, matanya kembali terbuka, menatap Diajeng dengan sorot tajam penuh kemarahan. Diajeng mendekatkan bibirnya ke telinga Bhaskara, berbisik pelan namun penuh tantangan, "Kita lihat saja, Bhas, aku yang tunduk atau kamu yang kalah." Dengan senyum penuh kemenangan, ia melepaskan genggamannya, melangkah mundur, lalu merapikan kemejanya yang sedikit berantakan. "Oke, semua kebutuhan kamu sudah aku siapin. Selamat pagi, Tuan Bhaskara," ucapnya ringan, penuh nada meremehkan, sebelum melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Bhaskara yang masih terduduk dengan rahang mengatup erat. Pria itu mengusap rambutnya yang kusut, menghela napas berat. Sial. Diajeng bukan lagi gadis kecil yang dulu ia kenal. Dan itu membuat segalanya jauh lebih rumit. *** Diajeng memarkirkan Honda Civic miliknya di basement gedung Dewangga Group, tempatnya bekerja. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang investasi, properti, dan manajemen bisnis, Dewangga Group merupakan salah satu korporasi besar yang memiliki pengaruh kuat di dunia usaha. Dengan balutan kemeja navy dan celana kulot hitam, Diajeng tampak anggun dan profesional seperti biasanya. Rambutnya tergerai rapi, menambah aura elegan yang selalu ia pancarkan. Begitu keluar dari mobil, langkahnya segera disambut oleh seorang pria dengan senyum manis yang khas. Radit—sahabat sekaligus rekan kerjanya, yang tanpa Diajeng tau memiliki ketertarikan padanya, berdiri tidak jauh darinya. "Segar banget yang baru balik cuti," sapa Radit dengan nada menggoda. Senyum lesung pipinya semakin mempertegas ketampanannya. Diajeng terkekeh. "Bisa aja lo," balasnya ringan. "Gimana, jadi ada rapat buat bagian internal perusahaan?" Radit mengangguk sambil berjalan beriringan dengannya. "Udah cek grup kan? Akan ada pergantian pimpinan baru." Diajeng menghela napas dan mengangguk. Isu mengenai pergantian kepemimpinan memang sudah beredar beberapa waktu terakhir. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Melihat Diajeng membawa beberapa kantong, Radit dengan sigap mengambilnya. "Sini, Gue bawain oleh-olehnya?" godanya sambil mengangkat kantong tersebut. "Thanks, Dit," ucap Diajeng tulus, memberikan senyum manisnya—senyum yang selalu mampu membuat orang di sekitarnya meleleh. Termasuk seseorang yang saat ini tengah menatapnya dari kejauhan, tanpa ia sadari. Radit dan Diajeng pun melangkah ke ruang rapat besar, tempat pertemuan penting akan berlangsung. Saat mereka tiba, ruangan sudah cukup ramai. Beberapa rekan kerja mereka, termasuk Mita dan Niel, sahabat Diajeng, sudah lebih dulu berada di sana. "Akhirnya lo datang juga," bisik Mita, menyenggol lengan Diajeng dengan penuh semangat. Diajeng tersenyum tipis, lalu mengambil tempat di deretan kursi tengah. Suasana dalam ruangan masih dipenuhi percakapan kecil di antara karyawan, hingga beberapa menit kemudian, seorang pria dengan kemeja abu-abu dan jas navy melangkah masuk dengan penuh wibawa. Itu adalah Pak Adrian, Wakil CEO Dewangga Group yang mereka kenal selama ini. Begitu ia berdiri di podium, suasana ruangan langsung hening. "Selamat pagi semuanya," sapanya dengan senyum kecil. "Terima kasih sudah hadir hari ini. Seperti yang sudah diinformasikan sebelumnya, hari ini adalah hari yang cukup besar bagi kita semua. Saya ingin mengumumkan bahwa mulai hari ini, Dewangga Group resmi diambil alih oleh perusahaan baru dan berganti nama menjadi Bagaskara Group." Diajeng, yang awalnya mendengarkan dengan santai, tiba-tiba menegang. Kata-kata itu langsung membuat darahnya berdesir cepat. Bagaskara Group? Pikiran Diajeng berputar cepat. Apakah ini berarti...? Tidak. Tidak mungkin. Belum sempat ia memproses semuanya, suara Pak Adrian kembali terdengar. "Dan untuk itu, izinkan saya memperkenalkan CEO baru kita—Bapak Jayanta Bhaskara." Seisi ruangan sempat hening sebelum akhirnya diikuti tepuk tangan dari para karyawan. Namun, Diajeng tidak ikut bertepuk tangan. Ia hanya bisa membelalakkan mata, jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat. Lalu, di depan sana, berdirilah sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Jayanta Bhaskara. Suaminya sendiri. Pria itu tampak begitu tenang, ekspresi wajahnya dingin dan tak terbaca. Tatapannya menyapu ruangan sebelum akhirnya bertemu dengan mata Diajeng. Jayanta Bhaskara berdiri tegap di depan ruangan, matanya menyapu seluruh peserta rapat dengan tatapan tajam dan berwibawa. Dengan setelan jas hitam yang Diajeng siapkan, pria itu memancarkan aura dingin dan dominan—sesuatu yang sangat khas darinya. "Mulai hari ini, Dewangga Group secara resmi berada di bawah naungan Bagaskara Group," ucap Bhaskara dengan suara rendah, tetapi tegas. "Saya tidak akan bertele-tele. Saya percaya dalam dunia bisnis, yang paling dibutuhkan adalah efisiensi dan efektivitas." Diajeng diam, menahan diri agar tidak menunjukkan keterkejutannya. Meski sudah menikah dengan Bhaskara, ia sama sekali tidak tahu kalau pria itu akan mengambil alih perusahaannya. "Saya akan melakukan restrukturisasi di beberapa divisi, termasuk manajemen proyek dan pengembangan bisnis," lanjut Bhaskara. "Tim yang tidak mampu beradaptasi dengan sistem baru yang saya bawa, saya tidak akan ragu untuk menggantinya." Ruangan langsung dipenuhi gumaman. Beberapa karyawan saling bertukar pandang, jelas tidak menyangka bahwa perubahan ini akan begitu drastis. "Loyalitas dan kompetensi adalah dua hal yang saya prioritaskan," lanjut Bhaskara dengan ekspresi dinginnya. "Dan saya tidak akan mentolerir ketidakprofesionalan dalam bentuk apa pun." Tatapan Bhaskara beredar di ruangan, sampai akhirnya matanya berhenti tepat di tempat Diajeng duduk. Mata mereka bertemu sesaat. Tidak ada ekspresi spesial di wajahnya—seolah mereka tidak memiliki hubungan apa pun. Diajeng meneguk ludah. Ia bisa merasakan atmosfer di ruangan ini semakin berat. Setelah Bhaskara selesai berbicara, suasana di dalam ruang rapat mulai dipenuhi bisikan dan diskusi kecil. Dan di antara suara-suara itu, Diajeng menangkap beberapa komentar yang membuatnya terdiam. "Gila, CEO baru kita hot banget!" suara salah satu rekan kerja perempuan terdengar antusias. "Bukan cuma hot, tapi juga dominan. Aku nggak keberatan kalau dimarahin tiap hari kalau bosnya kayak gini." "Dia tipe alpha male yang beneran bikin jantung deg-degan. Gimana kalau tatapan langsung?" Diajeng merasakan perutnya sedikit bergejolak. Ia tahu bahwa suaminya memang pria tampan, seperti yang ada di novel-novel tetapi mendengar komentar seperti itu dari rekan-rekan kerjanya tetap saja terasa aneh. Dan yang paling mengejutkan, ia mendengar suara Mita ikut berbisik dengan nada penuh kekaguman. "Astaga, ini sih CEO yang nggak akan pernah bisa ditolak. " Diajeng menoleh cepat, menatap Mita dengan ekspresi tidak percaya. Namun, sahabatnya itu hanya mengedikkan bahu tanpa merasa bersalah. "Kenapa?" bisik Mita. "Lo harus akui, dia bener-bener paket lengkap. Ganteng, tajir, punya aura dingin yang bikin penasaran..." "Stop," potong Diajeng cepat, suaranya lebih rendah dari biasanya. Mita mengerjap, lalu terkekeh. "Oke, oke. Tapi serius, Ajeng... lo nggak deg-degan kerja di bawah kepemimpinan bos baru kayak dia?" Diajeng menekan napasnya yang hampir tercekat. Mita tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Sejak tadi, ia dengan hati-hati menyembunyikan ekspresi apa pun yang bisa memberi petunjuk tentang hubungannya dengan Bhaskara. Statusnya sebagai istri pria itu bukan sesuatu yang ingin ia umbar—terutama saat ia sendiri tidak yakin bagaimana semuanya akan berjalan ke depan. Jadi, Diajeng hanya tersenyum tipis, berpura-pura tenang. "Kita lihat saja nanti," ucapnya ringan. Padahal dalam hatinya, ia tahu. Dengan Bhaskara sebagai CEO, semuanya akan berubah. Dan ia tidak yakin apakah itu hal yang baik atau buruk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN