4

1148 Kata
"Jeng, dipanggil bos tuh." Diajeng yang sedang serius menatap layar laptopnya menoleh dengan alis bertaut. Dari balik pintu, Niel menyandarkan tubuhnya dengan santai sambil menyeringai. "Ngapain? Bukannya laporan udah gue kasih ke Pak Yanto tadi?" Diajeng mengernyit, merasa tidak ada alasan lagi untuk dipanggil. "Bukan Pak Yanto, tapi Pak Bhaskara." Diajeng langsung terdiam. Seketika, hawa di ruangan terasa berubah. Niel yang tidak menyadari perubahan ekspresi Diajeng malah melangkah mendekat, lalu mengacak rambut sahabatnya itu dengan iseng. "Udah gih, buruan ke atas. Jangan sampai bos baru ngerok lo nanti." "Tangan lo, Niel! Rambut gue berantakan kan!" Keluh Diajeng sambil buru-buru merapikan anak rambutnya. "Udah cantik kok. Mau gue kepang sekalian?" goda Niel. Diajeng mendelik, lalu menjulurkan lidahnya. "Bisa aja lo! Nggak kena ye!" Ia buru-buru menghindar sebelum Niel bisa mengacak rambutnya lagi. Gelak tawa kecil terdengar di antara mereka. Begitulah hubungan antara Diajeng, Mita, Niel, dan Radit. Empat sekawan yang selalu kompak—baik dalam hal kerja maupun dalam hal mengusik satu sama lain. Di setiap divisi, mereka dikenal sebagai penghidup suasana. Namun kali ini, Diajeng tidak bisa bercanda terlalu lama. Dengan langkah sedikit berat, ia berjalan menyusuri koridor menuju lantai paling atas, tempat ruangan CEO berada. Sepanjang perjalanan, ia menggerutu dalam hati. Untuk apa sih dia manggil gue? Apa ada masalah sama laporan? Tapi tadi gue udah periksa, nggak ada yang salah... Atau dia cuma mau menyebalkan seperti biasa? Pikirannya terus berputar hingga tanpa sadar, ia sudah sampai di depan pintu besar dengan tulisan "Jayanta Bhaskara – CEO" yang terukir jelas di plakat logamnya. Diajeng menelan ludah, mengumpulkan keberanian. Ia mengangkat tangannya, mengetuk pintu dua kali. Tok. Tok. Hening sesaat. Lalu, terdengar suara bariton yang dalam dan dingin dari dalam ruangan. "Masuk." Diajeng menarik napas panjang sebelum akhirnya mendorong pintu itu perlahan. Ruangan itu terasa lebih luas dan megah dibanding yang ia bayangkan sebelumnya. Dengan desain interior modern yang didominasi warna hitam dan abu-abu, ruang kerja Bhaskara benar-benar mencerminkan kepribadian pemiliknya—dingin dan tidak tersentuh. Dan di sanalah pria itu, duduk di balik meja kerja besar, kepalanya sedikit menunduk, sibuk mencoret-coret tumpukan kertas dengan ekspresi serius. "Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Diajeng sopan, menjaga nada profesionalnya. Bhaskara tidak langsung menjawab. Tangannya masih sibuk menandatangani beberapa dokumen, seolah keberadaan Diajeng di ruangan ini bukanlah sesuatu yang penting. "Duduk." Suara bariton itu terdengar begitu berat dan penuh perintah. Diajeng mengerjap sebelum akhirnya memilih duduk di sofa yang terletak agak jauh dari meja Bhaskara. Jujur saja, ia tak nyaman jika harus terlalu dekat dengan pria itu. Apalagi setelah sikapnya yang kasar beberapa hari terakhir. Tapi tunggu, batinnya, memangnya dia pernah bersikap lembut? Sepertinya tidak. Sambil menunggu, Diajeng memainkan jari-jarinya di atas pangkuan, sesekali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Meja kerja yang rapi, rak buku besar yang penuh dengan buku bisnis dan hukum, serta satu lukisan abstrak yang entah kenapa terasa begitu kontras dengan kesan kaku di ruangan ini. Satu menit berlalu. Dua menit. Hingga akhirnya, bosan mulai merayap. "Pak, sepertinya Bapak masih sibuk. Jadi lebih baik saya kembali ke tempat saya," ucap Diajeng seraya berdiri, berniat meninggalkan ruangan. Namun langkahnya terhenti saat suara berat itu kembali menyapanya. "Siapa yang menyuruh kamu pergi?" Diajeng menoleh. Bhaskara kini sudah berdiri, berjalan keluar dari balik mejanya, bersandar santai di depannya dengan kedua tangan yang terlipat di d**a. Mata gelapnya meneliti Diajeng dengan intensitas yang sulit diartikan. "Ya Bapak nggak ngomong apa-apa, jadi saya pikir lebih baik saya keluar. Saya masih ada pekerjaan, Pak." Bhaskara menyipitkan mata. "Kenapa kamu menolak untuk pindah ke divisi saya?" Diajeng mendesah pelan. "Oalah, cuma itu toh?" gumamnya jengah, sebelum melanjutkan, "Karena saya nggak mau, Pak." "Kamu berani menolak perintah saya?" "Lah, kenapa nggak berani? Saya nggak melakukan kesalahan apa pun. Justru saya bertanggung jawab dengan pekerjaan saya sekarang." Bhaskara mendecakkan lidah ke dinding mulutnya, sedikit terkejut dengan keberanian Diajeng yang dulu ia kenal begitu penurut. "Sudahlah, Pak. Bapak cari sekretaris lain saja, jangan saya. Jujur, saya bosan. Di rumah ketemu Bapak, di kantor juga ketemu Bapak. Nggak ada selingan." Sindiran itu terdengar santai, tapi jelas punya maksud. Tatapan Bhaskara menggelap. Ia mendorong tubuhnya dari meja, berjalan perlahan mendekati Diajeng hingga berdiri tepat di hadapannya. "Jaga bicara kamu, Diajeng." Suara itu rendah dan sarat peringatan. "Saya tidak mau ada orang lain tau tentang hubungan kita" Bhaskara menunduk, menatap wajah Diajeng yang pura-pura tidak berdosa dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Shit! Bhaskara mengumpat dalam hati. Kenapa dia harus terlihat begitu...? "Saya juga nggak mau, kok, Pak, ada yang tahu. Apalagi gebetan saya. Rugi dong saya." Diajeng tersenyum kecil, beralasan saja. Nyatanya, ia memang tidak punya waktu untuk pacaran, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya. Bhaskara menegang. "Apa katamu?" Diajeng mengedikkan bahu. "Maaf, Pak. Nggak ada siaran ulang. Kalau nggak ada yang penting lagi, saya permisi—" Belum sempat ia berbalik, tubuhnya ditarik dengan kasar. "Akh!" Diajeng tersentak ketika punggungnya membentur d**a bidang Bhaskara. Pria itu mencengkeram pinggangnya erat, sementara tatapan gelapnya mengunci Diajeng di tempat. "Bhaskara, lepas! Apa yang kamu lakukan?" seru Diajeng, mencoba memberontak. Namun Bhaskara tidak menggubrisnya. Dengan cepat, pria itu menurunkan wajahnya dan menekan bibirnya ke bibir Diajeng. Ciuman itu kasar dan menuntut. Diajeng berusaha menolak, memukul d**a Bhaskara dengan kedua tangannya, tapi pria itu justru semakin menahan tubuhnya erat. "Mmmph!" Ia berontak, mencoba mendorong, tapi Bhaskara lebih kuat. Sampai akhirnya, setelah beberapa detik, ciuman itu melunak. Dari yang awalnya agresif, kini berubah menjadi lebih lembut, seolah Bhaskara tengah mengeksplorasi bibirnya dengan sabar. Diajeng merasa napasnya tercekat. Pria itu terlalu mahir, terlalu berbahaya. Sensasi aneh menjalari tubuhnya saat Bhaskara semakin dalam menyelaraskan ritme mereka. Tidak! Dengan sekuat tenaga, Diajeng akhirnya berhasil mendorong d**a Bhaskara dan menjauhkan wajahnya. Napasnya memburu, pipinya memanas karena emosi dan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. "Kamu gila!" desisnya. Bhaskara hanya menyeringai, menyapu bibirnya dengan ibu jarinya. "Kita lihat, siapa yang akan kalah lebih dulu, hmm?" Diajeng menggeram sebelum akhirnya berbalik, berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat—meninggalkan Bhaskara yang masih menatapnya dengan penuh ketertarikan. Diajeng berjalan cepat menyusuri koridor kantor, napasnya masih memburu. Ia tidak peduli dengan beberapa rekan kerja yang menatapnya heran. Tujuannya hanya satu—toilet. Begitu masuk ke dalam, ia langsung memastikan pintu terkunci, lalu berjalan ke depan wastafel. "Sialan! Dasar laknat!" umpatnya seraya menyalakan keran dan mencipratkan air ke wajahnya. Tangannya gemetar saat ia menyeka bibirnya yang masih terasa panas akibat ciuman barusan. "b******k!" Diajeng mengusap bibirnya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus jejak Bhaskara di sana. "Apa-apaan tadi? Kenapa dia seenaknya?" Ia menatap bayangannya di cermin, melihat bagaimana pipinya memerah, matanya membulat karena marah—dan mungkin sedikit shock. Tidak. Ia tidak akan membiarkan Bhaskara menang! "Oke, Diajeng. Tarik napas. Ini bukan apa-apa," gumamnya pada dirinya sendiri. Tapi bagaimana bisa itu bukan apa-apa jika jantungnya masih berdebar kencang? "b******k," gerutunya lagi, kali ini lebih lirih, sebelum menyalakan keran sekali lagi dan membasuh bibirnya dengan air. Namun, bahkan air dingin pun tidak bisa menghapus sensasi yang masih tersisa di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN