5

1191 Kata
Diajeng duduk di kantin kantor, menatap makanannya dengan malas. Sendok di tangannya hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk tanpa niatan untuk menyuapinya ke mulut. Pikirannya masih berkutat pada kejadian pagi ini—di ruangan itu, di bawah d******i Bhaskara. Bayangan bibir pria itu yang dengan seenaknya menyesap bibirnya masih melekat jelas di benaknya. Bahkan sekarang, ia merasa bibirnya masih panas. "Cuk!!" pekiknya tiba-tiba, tanpa sadar. Mita dan Radit sontak menoleh ke arahnya, begitu juga dengan Niel yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Lapo, woy?" Mita menepuk pipi Diajeng, membuatnya tersadar dari lamunannya. "Sakit, Mit!" gerutu Diajeng, mengusap pipinya yang baru saja kena tamparan ringan. "Lo kenapa, Jeng?" Radit memiringkan kepalanya, menatap wanita di depannya dengan curiga. "Nggak, gue nggak papa." "Nggak papa kok mesoh?" Niel menyela dengan logat Surabayanya yang kental. Diajeng memilih diam. Ia sedang tidak ingin berbicara. Mood-nya sudah buruk, dan sekarang semakin hancur gara-gara pikirannya sendiri. Dan seperti tak cukup menyebalkan, datanglah satu sosok yang paling enggan ia lihat—Jesika. Si pulu-pulu. Wanita itu adalah tipe yang selalu haus perhatian, terutama dari Niel dan Radit. Dan seperti biasa, jika ada Diajeng di sana, ia pasti langsung nyolot. Seperti sekarang. Tanpa permisi, Jesika langsung mengambil tempat di antara Diajeng dan Niel, nyaris membuat Diajeng tersungkur dari kursinya. "Jancok! Apaan sih lo, Jes?!" Diajeng langsung berang. "Minggir, gue mau duduk deket Niel," sahut Jesika enteng, menyilangkan kakinya dengan angkuh. "Heh! Mata lo rabun? Atau udah buta sekalian?! Nggak liat ada gue di sini?!" sentak Diajeng, bersiap memberi Jesika pelajaran. Namun, sebelum perang bisa dimulai, Mita buru-buru menarik lengan Diajeng. "Jeng, udah, jeng! Jangan ribut di kantin!" bisik Mita panik. Radit juga sigap membantu, menahan Diajeng yang nyaris jatuh akibat gerakan mendadak Jesika. Tapi tepat di saat itu, sesuatu terjadi. Jesika, entah sengaja atau tidak, mendorong Diajeng lebih keras. Dan akibatnya, tubuh Diajeng benar-benar kehilangan keseimbangan. Bruk! Diajeng jatuh ke arah Radit, dan pria itu refleks menangkapnya. Namun, posisi mereka sekarang jadi cukup intim—Radit memeluk Diajeng erat, sementara kepala Diajeng bersandar di dadanya. Suasana yang awalnya ramai tiba-tiba hening. Diajeng hendak bangkit, tapi ekspresi Radit yang kaget bukanlah satu-satunya hal yang ia lihat. Di sana, tak jauh dari tempat mereka berdiri, seorang pria berdiri tak jauh dari mereka. Jayanta Bhaskara. Mata pria itu menatap lurus ke arah mereka. Dingin. Tajam. Dan berbahaya. Diajeng tahu, pria itu sedang menahan geram. Rahangnya mengatup rapat, kepalan tangannya terlihat mencengkram keras. Diajeng mengepalkan tangannya di bawah meja. Dadanya sudah naik turun menahan emosi. Sudah cukup hari ini dipenuhi hal-hal menyebalkan, dan sekarang Jesika malah makin menjadi. Si pulu-pulu itu bahkan tidak merasa bersalah telah mendorongnya, malah cengengesan seolah tidak terjadi apa-apa. "Astaga, Jeng. Drama banget sih lo," Jesika mengibas-ngibaskan tangannya dengan gaya sok elegan. "Jatuh aja sampai segitunya. Nyari perhatian, ya?" Brengsek. Diajeng menatap Jesika dengan tatapan yang jelas penuh amarah. Mita sudah bersiap menahan temannya itu jika sesuatu terjadi. Namun, sepertinya terlambat. Tanpa pikir panjang, Diajeng meraih gelas berisi teh dingin di meja, dan dalam satu gerakan cepat— "Byuurrr!" Teh dingin itu langsung menghantam wajah Jesika. Suasana kantin langsung sunyi. Jesika membeku di tempatnya, tetesan teh mengalir turun dari rambut dan wajahnya yang kini menegang. Beberapa karyawan yang tadinya hanya menonton mulai membelalakkan mata, tak percaya Diajeng benar-benar melakukan itu. Sementara Diajeng? Ia hanya meletakkan gelas kosongnya kembali ke meja, menghentakkannya hingga berbunyi nyaring. "Kalau lo masih kurang dingin, kasih tahu aja. Gue tambahin lagi pakai es batu." Setelah itu, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Jesika yang masih terdiam di tempat. Mita yang dari tadi menahan tawa akhirnya buru-buru menyusul Diajeng. Namun, saat mereka melewati ambang pintu kantin, mata Diajeng dan Bhaskara kembali bertemu. Pria itu masih berdiri di sana, menatapnya. Tatapannya masih sama—tajam, menusuk, seolah bisa menelanjangi setiap pikirannya. Namun, berbeda dengan sebelumnya, kali ini ada sesuatu yang lain di matanya. Seperti ketertarikan dan sedikit rasa cemburu. Namun Diajeng tak peduli. Ia bahkan tak berhenti untuk sekadar melirik. Biarkan saja suaminya itu marah. Ia tidak peduli. "Jeng, lo gila sih! Gue kira lo cuma bakal nyakar atau nyubit dia, tapi lo malah nyiram teh! Gue salut banget!" Mita tertawa tertahan saat mereka berjalan di koridor. Diajeng hanya mendengus, masih kesal. "Dia yang mulai duluan, Mit." Sementara itu, di dalam kantin, suasana kembali ramai setelah keheningan singkat. Jesika masih terdiam, shock dengan kejadian barusan. Sementara yang lain mulai berbisik-bisik, entah memuji keberanian Diajeng atau hanya sekadar mengomentari insiden tadi. Namun, semua itu berhenti saat suara berat dan dingin bergema di ruangan. "Cukup." Hanya satu kata, namun langsung membuat semua orang terdiam. Jayanta Bhaskara kini telah melangkah masuk ke kantin, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Aura berbahaya memancar dari tubuhnya. Mata hitamnya menyapu seluruh ruangan, sebelum akhirnya berhenti pada Jesika yang masih berdiri kaku dengan pakaian basah. "Saya tidak mau melihat drama kekanak-kanakan seperti ini di perusahaan saya. Jika kalian lebih suka bermain-main daripada bekerja, kalian bisa keluar sekarang." Suara beratnya menggema, dingin dan penuh ketegasan. Beberapa wanita yang tadi sibuk memuja-muja ketampanannya kini menundukkan kepala, ketakutan. Sementara Jesika, yang biasanya banyak bicara, kini hanya bisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa malu. Suasana kantin benar-benar berubah. Tidak ada lagi bisikan, tidak ada lagi tatapan kekaguman yang terang-terangan. Dan dalam keheningan itu, Bhaskara kembali menatap pintu tempat Diajeng tadi menghilang. Bibirnya sedikit melengkung. Oh, dia memang sedang marah. Tapi, entah kenapa, insiden barusan justru semakin membuatnya tertarik pada wanita itu. *** Diajeng baru saja merebahkan tubuhnya di sofa ketika ponselnya bergetar di atas meja. Dengan malas, ia meraihnya dan melihat nama pengirim pesan yang muncul di layar. Bhaskara. Matanya menyipit. Tidak biasanya pria itu menghubunginya melalui chat kecuali jika memang benar-benar perlu. Dengan sedikit enggan, ia membuka pesannya. --- Bhaskara: Jam 7 malam, datang ke mansion utama. Jangan telat. Diajeng mengernyit. Mansion utama? Untuk apa? Biasanya mereka hanya bertemu di rumah mereka sendiri, bukan di rumah keluarga besar Bhaskara. Sebelum ia sempat mengetik balasan, pesan lain masuk. Bhaskara: Pakai sesuatu yang pantas. Aku tidak mau istriku terlihat berantakan saat makan malam keluarga. Mata Diajeng langsung membelalak. Makan malam keluarga?!Sejak kapan pria itu punya ide seperti ini? Dan kenapa baru diberi tahu sekarang? Lagi-lagi, sebelum ia bisa mengetik balasan, pesan lain masuk. Bhaskara: Dan satu lagi… Diajeng menelan ludah. Seperti bisa menebak apa yang akan ditulis pria itu. --- Bhaskara: Pastikan bajumu tidak mengandung bau pria lain. Aku tidak ingin keluargaku berpikir istriku lebih suka berpelukan dengan pria lain dibanding suaminya sendiri. --- Diajeng langsung mendengus keras. Tangannya mencengkeram ponselnya erat, nyaris ingin melemparkannya ke dinding. Brengsek. Laki-laki itu benar-benar tidak bisa menahan diri untuk menyindir, ya? Jarinya langsung mengetik balasan dengan cepat. --- Diajeng: Tenang saja, Pak CEO. Saya tidak punya waktu untuk memilih-milih pria. Berpelukan dengan Radit pun terjadi karena AKIBAT dari si pulu-pulu yang Anda lihat tadi. Bhaskara: Bagus kalau begitu. Sampai ketemu nanti malam, Sayang. --- Diajeng menggigit bibirnya kesal. Matanya menatap layar ponselnya yang kini sudah tak menampilkan balasan dari Bhaskara lagi. Sialan. Memangnya aku punya pilihan lain selain datang? Dengan napas berat, ia akhirnya bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar. Sepertinya ia harus mulai bersiap. Walaupun hatinya masih mengumpat, ia tahu satu hal pasti— Malam ini akan jadi malam yang panjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN