Pintu rumah terbuka mendadak. Udara dingin malam menyeruak masuk, bersamaan dengan langkah tergesa dan suara berat dari sepatu yang menghentak lantai marmer. Diajeng yang tengah duduk di ujung ranjang sontak bangkit, tubuhnya gemetar saat mendengar suara itu. Langkah yang ia kenal. Langkah yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Tapi malam ini—langkah itu justru membawa kecemasan yang mencengkeram kuat jantungnya. “Mas…” gumamnya lirih, nyaris tak bersuara. Ia berlari kecil ke ruang tamu, dan pandangannya seketika membeku. Bhaskara berdiri tertatih, dibopong oleh dua pria—Bara dan Maven. Bajunya masih sama seperti pagi tadi, kini penuh noda darah dan alkohol. Tangan kirinya dibalut perban seadanya, sementara wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Matanya tampak sayu,

