44

1269 Kata

Sudah beberapa menit berlalu, namun Diajeng belum juga menyentuh makanannya. Sendok di tangannya hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk tanpa arah. Padahal itu adalah menu favoritnya—masakan rumah yang selalu ia rindukan tiap kali jauh dari kedua orang tuanya. Dari rasa, tentu tak ada yang salah. Masakan Ibu selalu menjadi juara di hatinya. Tapi pagi ini, entah kenapa, selera makannya seperti lenyap bersama pikirannya yang melayang-layang ke tempat lain. “Ndut, dari tadi kok cuma diudek-udek makanannya?” komentar Bu Ana yang sedari tadi memperhatikan tingkah putri sulungnya itu. “Mangan kuwi nduk, dudu dolanan. Dimaem, ora ilok diudek tok.” Diajeng mengangkat wajahnya sedikit, tersenyum lemah. “Mbak, kamu sakit?” tanya Kaia, adik perempuannya yang duduk di seberangnya. Mata bulat gadis itu

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN