Marsha merasakan sensasi yang sungguh tak pernah dapat dibayangkan sebelumnya, diliputi reaksi kelegaan luar biasa. Napasnya masih tersengal dan dia bersandar di sofa. Keilana pun duduk di sampingnya, masih berpakaian lengkap. Menyeka sudut bibirnya sambil tersenyum sensual.
“Kamu yakin enggak mau?” tanya Marsha, Keilana menggeleng. Marsha mengambil kemejanya dan memakainya secara asal.
“Aneh ya?” tanya Keilana. Marsha menggeleng tak mengerti.
“Kamu mau mandi?” tanya Keilana. Marsha pun mengangguk, dia sudah memperlihatkan tubuhnya yang tak berbusana pada pria itu, lalu untuk apa dia malu dan menutupinya? Dipunguti pakaiannya yang terceceran dan dia melangkah masuk ke kamarnya.
Keilana mengambil remote televisi, dia menyalakan televisi untuk melihat barang kali ada channel yang ingin ditontonnya.
Marsha mandi cukup lama, setengah jam. Dia bahkan sempat mengeringkan rambutnya, dan kini dia memakai pakaian santai ala rumahan. Berjalan menuju dapur yang memang menyatu dengan ruang televisi itu. Dihangatkan makanan yang tadi sempat dia beli bersama Keilana.
Keilana menghampiri Marsha yang sudah menyiapkan makanan untuk mereka berdua, dia pun menarik kursi dan menunggu di meja makan tersebut.
“Kamu selalu seperti itu?” tanya Marsha. Keilana mengangguk, wanita itu meletakkan dua piring makanan di meja, rambutnya yang tergerai itu dihempaskan ke belakang sambil duduk di samping Keilana.
“Lalu kamu enggak ngeluarin?” tanya Marsha.
“Sudah cukup puas melakukan itu, ya kadang pengen juga, tapi lebih suka menjilatinya,” ucapnya masih sedikit canggung. Meskipun perasaannya sangat membuncah, dia begitu senang menikmati tubuh Marsha tadi.
“Sekarang aku mengerti kenapa pacar kamu minta putus?” ujar Marsha sambil menikmati makanannya.
“Dia mungkin berpikir aku menderita kelainan, enggak normal. Ya aku bisa penetrasi juga, tapi enggak mau aja. Entah kenapa?” Keilana pun membuka tentang dirinya, seperti membuka lebar pintu yang selama ini dia tutup rapat.
“Memangnya begitu menyenangkan untukmu seperti tadi?” tanya Marsha, mengingatnya membuat tengkuk Marsha meremang. Rasanya hampir tak bisa dibayangkan, seorang atasannya, temannya di tempat kerja telah mencumbunya dan membuatnya melambung tinggi dengan hasratnya yang menggelora.
“Sangat sangat menyenangkan,” ucap Keilana antusias. “Kapan terakhir kali kamu mendapat pelepasan? Apa suka main hmmm sendiri?” tanya Keilana.
“Pernah main sendiri, tapi enggak nyaman aja. Aku juga enggak menjalin hubungan dengan pria lain, aku trauma pacaran,” tutur Marsha.
“Kenapa?”
“Ada alasan pribadi yang enggak bisa aku ceritakan.”
“Sorry,” ucap Keilana.
“Enggak apa-apa, menurut kamu apa aku bisa capai target dari pak Prayoga?” ujar Marsha mengalihkan pembicaraan. Membicarakan kisah cinta di masa lalunya hanya akan membuat hatinya sesak, terlebih tadi dia sempat bertemu dengan orang yang pernah sangat menghinanya di masa lalu. Meskipun rasa resahnya jauh berkurang setelah dia mendapatkan pelepasan dari yang dilakukan Keilana terhadapnya.
“Pasti bisa, stand lantai dua tadi sangat ramai, strategi kamu berhasil,” ucap Keilana.
“Terima kasih atas bantuannya,” ucap Marsha.
“Bantuan penjualan atau bantuan mengeluarkan?” goda Keilana. Marsha hanya mendengus.
“Apa kita perlu membuat kode rahasia?” tanya Marsha.
“Wah aku sangat menyukai itu,” ujar Keilana semakin antusias, senyumnya terlihat sangat lebar dan begitu mempesona.
“Jika salah satu dari kita menginginkannya, kita harus memberi sinyal atau tanda, kira-kira tandanya apa ya?”
“Aku akan mengendurkan ikatan dasiku,” ucap Keilana.
“Hmmm, kalau gitu aku akan memakai bando,” ucap Marsha. Dia memang memiliki satu bando berwarna biru yang biasa dia pakai jika dia harus mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi agar rambutnya tak mengganggunya.
“Ide bagus, jujur ya Marsha ... aku sangat antusias dan ini sangat menyenangkan. Aku enggak menyangka kamu menerima permintaanku yang cenderung aneh,” ucap Keilana tulus.
“Habiskan makanan kamu, setelah itu kamu pulang, aku ada pekerjaan,” ujar Marsha.
“Siap, di mana pun kamu mau nanti, aku akan siap melakukannya,” kekeh Keilana.
“Hmmm, kita bicarakan nanti.”
Keilana mengatupkan mulutnya, Marsha terlihat begitu tegas, padahal wajahnya tadi saat menikmati lumatannya begitu menggairahkan. Dia terlihat berbeda, sedikit nakal dan judes namun ekspresi kelegaan yang terpancar benar-benar membuat Keilana bahagia.
Setelah makan, Keilana membawa piringnya dan piring Marsha ke wastafel dia bahkan mencucinya, Marsha tak melarangnya, justru dia masuk kamar untuk mengambil laptop dan membawa ke ruang televisi.
Keilana mengambil vestnya yang ditinggal di sofa tadi, Marsha mengantar sampai pintu.
“Apa kita perlu melakukan ciuman atau pelukan perpisahan?” tanya Keilana.
“Jangan berlebihan dan dramatic!” seloroh Marsha membuat Keilana tertawa.
“Oke, terima kasih untuk yang tadi ya, aku enggak sabar menantikan yang berikutnya,” ucap Keilana.
“Hmmm sama-sama, sudah sana pulang,” usir Marsha. Keilana menghela napas panjang dan melambaikan tangan, baru satu langkah berjalan terdengar suara daun pintu tertutup diiringi suara kunci otomatis.
Keilana memasukkan tangannya ke saku celana, dia lagi-lagi tersenyum. “Rasanya manis banget,” ucap Keilana pelan. Tak pernah terbayangkan dia bisa menikmati itu lagi, sungguh dia sangat bahagia malam ini, terlebih dia bisa melakukannya dengan Marsha, wanita judes yang membuatnya sangat penasaran.
Meski Marsha masih tampak sinis dan menutup rapat dirinya, namun Keilana berpikir bahwa suatu waktu nanti Marsha bisa lebih terbuka terhadapnya.
***
Keilana tiba di rumah sudah cukup malam, ibu dan ayahnya masih menonton televisi lalu menoleh ke arah sang putra yang menyalami mereka dengan sopan.
“Tadi ibu membereskan kamar kamu,” ucap sang ibu membuat Keilana tertegun dan lehernya menengok kaku.
“Lalu?” tanyanya.
“Brankas kamu isinya apa sih? Uang? Pakai kunci sidik jari segala,” ujar sang ibu membuat Keilana tertawa.
“Rahasia, yang pasti bukan barang berharga,” kekehnya menahan rasa penasaran apa yang ibunya lakukan di kamarnya? Berharap sang ibu tak menemukan benda aneh miliknya.
“Kei, minggu depan ada acara keluarga di rumah, kamu jangan kabur terus, temui para sepupu jauhmu,” ujar sang ayah.
“Ayah masih berharap aku bisa menikah dengan salah satu dari mereka?” cebik Keilana yang masih berdiri.
“Usia kamu sudah matang untuk menikah Kei,” ucap sang ayah membuat ibunya menggeleng sedih. Dia tak mau menuntut anaknya, namun usia mereka tak muda lagi, mereka khawatir Tuhan memanggil mereka pulang sebelum sempat menyaksikan putranya menikah.
“Ya kalau memang ada jodoh juga pasti menikah, santai saja. Sekarang masih banyak hal yang aku mau lakukan,” ucap Keilana sambil mengedipkan matanya lalu dia masuk ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya. Dia membuka lemari gantung, ada brankasnya di sana.
Diletakkan ibu jarinya hingga kunci lemari besi itu terbuka. Dia menatap barang-barang miliknya, tak ada yang berubah.
Satu buah tablet berisi video-video oral yang disimpannya, satu buah mainan dari karet berbentuk milik wanita yang sering dibawanya tidur, mungkin memang dia sangat terobsesi dengan hal itu. Ada juga foto-foto perempuan naked yang dibelinya dari situs khusus. Dengan pose yang ... mirip seperti Marsha tadi.
Ah mengingat Marsha membuatnya tersenyum lagi, wanita itu sangat harum dan miliknya begitu sempurna, begitu indah. Keilana yang berjongkok mengusap pangkal pahanya sendiri. Malam ini dia akan tertidur dengan mimpi indah. Pikirnya.
***
Keesokan harinya, Marsha mendapat tamu yang tidak diundang. Ya Adeva dan anak serta suaminya. Mereka datang untuk menumpang renang, karena Marsha pemilik salah satu apartmen yang tentu saja mendapat fasilitas kolam renang gratis itu membuat Adeva memutuskan untuk mengajak anak-anaknya ke sana.
Marsha pun mengantar anak dan suami Adeva ke kolam renang, mencatat namanya di meja resepsionis lalu meninggalkan mereka di kolam renang, karena dia perlu kembali ke apartmennya yang tentu saja diikuti oleh Adeva.
Adeva bisa melihat wajah risau Marsha, dia pun duduk di sofa ruang televisi itu. Marsha mengambilkan makanan ringan dan minuman bersoda, lalu duduk di samping Adeva, sekilas teringat kejadian semalam yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya.
“Kamu tahu kemarin aku bertemu siapa?” tanya Marsha.
“Kei?” tebak Adeva membuat Marsha melengos, itu sih jangan tanya! Mereka tak hanya bertemu, namun Marsha dibuat klimaks oleh cumbuannya yang memabukkan!
“Ibu dari Ivander!”
“Hah!!! Di mall?” tanya Adeva menaruh perhatian penuh pada sahabatnya. Marsha mengangguk pelan.
“Kamu ... baik-baik saja kan?” tanya Adeva.
“Enggak, aku gemetar meski aku masih bisa menguasai diri. Dan kamu tahu plot twistnya?” tanya Marsha membuat Adeva menggelengkan kepalanya.
“Dia ke mall dengan cucunya, anak Ivander. Enak ya, setelah menghancurkan aku, kini dia sudah berkeluarga dan memiliki anak,” dengus Marsha.
“Kamu yakin itu anak Ivander?” tanya Adeva.
“Siapa lagi? Ivander kan anak tunggal, cucunya berarti anak Ivander lah,” tukas Marsha.
“Sha, sabar ya. Mungkin ini pertanda bahwa kamu juga harus mulai melanjutkan hidup kamu yang sempat terhenti. Temui seorang pria baik dan berkencan dengannya, enggak harus berumah tangga jika itu masih membuat kamu trauma. Cukup perlahan sembuhkan hati kamu.”
“Bagaimana kalau pria itu ... justru akan membuatku jatuh lebih dalam?” tanya Marsha seolah pada dirinya sendiri.
Adeva menatap sahabatnya dengan pendangan sedih, dia merasa sangat kasihan pada Marsha meski dia telah memiliki segalanya sekarang, namun hatinya pasti terasa hampa.
Marsha memandang ke arah jendela, ada burung merpati singgah di atas pagar balkonnya, dihampiri pasangannya dan mereka kemudian terbang bersama. Apakah Marsha bisa mencintai seseorang lagi? Setelah dulu cinta sucinya direnggut oleh orang yang tidak bertanggung jawab, salahnya mencintai seorang sebanyak seratus persen, hingga ketika orang itu menyakitinya, hatinya benar-benar terasa remuk!
Marsha bertanya-tanya, perlukah dia mulai mencari pasangan? Seperti sepasang merpati itu.
***