Pagi hari di hari senin yang tampak cerah di langit kota, sementara itu di dalam ruang kantor mall Olimpus semua karyawan sudah berkutat dengan pekerjaan masing-masing, hingga Prayoga datang bersama Keilana, di belakangnya berdiri dua orang yang tampak masih muda.
Seorang pria memakai setelan kemeja fit body, tubuhnya tinggi meski agak kurus, wajahnya tirus dengan hidung yang mancung, sorot matanya tampak ramah dan senyumnya memiliki ciri khas karena berlesung pipi.
Di sampingnya ada seorang wanita yang memakai pakaian kerja semi formal, roknya cukup pendek dan tubuhnya begitu molek meski tak terlalu tinggi, dia mengenakan stiletto cukup tinggi yang menunjang tubuhnya. Blazer beludru itu disampirkan di tangannya, memakai make up look modern yang tampak pas dikenakannya.
“Semuanya, mulai hari ini ada dua orang karyawan baru yang akan bergabung dengan kita, selama tiga bulan mereka akan mengambil masa training sebelum keputusan untuk status mereka. Yang laki-laki bernama Darel, sementara yang perempuan bernama Sandrina. Darel nanti akan masuk di tim Marsha sementara Sandrina masuk di tim Mitha, silakan kalian perkenalkan diri kalian,” ucap Prayoga.
Semua karyawan yang menatap kedua orang itu dengan seksama pun memperhatikan ketika Darel secara gentle maju lebih dulu.
“Selamat pagi semuanya,” sapanya ramah dan ceria, “nama saya Darel, usia dua puluh lima tahun, sebelumnya saya bekerja di Supermarket sebagai supervisor selama tiga tahun. Besar harapan saya bisa menjadi karyawan tetap di mall Olimpus dan mendapat banyak pelajaran berharga dari mall ini dan teman kerja semua, mohon bantuannya,” imbuhnya seraya menunduk sopan.
Lalu wanita bernama Sandrina itu mengedarkan pandangan ke sekitar seolah menelisik, dia tersenyum sedikit terpaksa, mungkin karena gugup, “halo nama saya Sandrina, usia dua puluh dua tahun saya baru lulus dan ini akan menjadi pengalaman pertama saya, mohon bantuannya,” ucap wanita itu sambil tersenyum lebih lebar, dia tampak cantik namun sorot matanya seperti tak ramah.
Para karyawan termasuk Marsha bertepuk tangan menyambut mereka berdua, Prayoga meminta mereka duduk di meja kosong yang memang sudah disiapkan. Mitha melirik ke arah Marsha yang membalas lirikannya dengan mengangguk pelan, mereka memberi kode untuk ke rooftop saat coffee break nanti.
“Keilana, titip mereka ya, dibantu pekerjaannya,” ujar Prayoga tersenyum penuh arti. Keilana hanya mengiyakan dan membalas senyuman sang atasan.
Pria tua itu pun meninggalkan ruangan tersebut, Marsha bersalaman dengan Darel yang vibesnya tampak positif.
“Kalau ada yang kamu kurang mengerti tanya saja, nanti setelah makan siang akan saya ajak berkeliling ke bagian kita,” tukas Marsha.
“Baik, Bu,” ucap Darel.
“Panggil Mbak saja, usia saya hanya beda lima tahun dari kamu,” ucap Marsha tanpa senyuman tentunya.
“Ah iya Mbak, maaf saya grogi kalau ngobrol sama perempuan cantik,” ucap Darel menggaruk tengkuknya. Marsha tersenyum tipis dan menyuruhnya membuka laptop.
Keilana memperhatikan Marsha yang menjelaskan pekerjaannya terhadap Darel, pria mungkin mengetahui isi pikiran pria lainnya, dia melihat Darel dengan pandangan waspada, sepertinya Darel menatap Marsha dengan pandangan berbeda.
Dua jam sebelum makan siang, Mitha mengajak Marsha ke rooftop, ada beberapa karyawan dari divisi lain yang tengah merokok di sana. Mitha duduk di kursi besi itu di samping Marsha.
“Feelingku enggak enak dengan mereka berdua,” ujar Mitha.
“Feeling kamu kan selalu salah,” ujar Marsha membuat Mitha mendengus, sudah biasa wanita itu ketus terhadapnya.
“Lihat pakaian Sandrina, ya ampun pendek banget. Aku juga suka pakai rok pendek tapi enggak sependek dia, dan her boops, ah gila sih aku yakin silikon,” ujarnya.
“Kan ada orang-orang yang memang punya anugerah itunya besar,” celetuk Marsha.
“Memangnya mbak enggak curiga saat Darel dikenalkan ke mbak Marsha?”
“Curiga kenapa?”
“Bagaimana kalau dia disiapkan untuk mengganti posisi Mbak Marsha? Tahu sendiri kan si bapak Prayoga itu kurang suka sama mbak,” dengus Mitha. Marsha sebenarnya sempat berpikir seperti itu, Prayoga memang selalu mengutamakan para pria, entah apa alasannya? Yang Marsha tahu dia tak pernah mau memberi nilai besar pada para wanita, mungkin terkecuali sekretarisnya dan Mitha.
Untuk Mitha pun nilainya tak terlalu tinggi. Sedangkan untuk kenaikan gaji dan bonus semua berdasarkan penilaian dari atasan terkait.
Darel masih membuka portofolio pekerjaan yang diberikan Marsha, ketika dia menyadari seorang pria berdiri di belakangnya. Pria yang pagi tadi dikenalkan padanya sebelum pada karyawan lain.
“Mas Keilana,” sapa Darel. Keilana tersenyum padanya yang hendak berdiri, dia menekan bahu pria itu.
“Duduk saja santai,” ucap Keilana. “Kamu perokok?” tanyanya lagi.
“Enggak Mas,” jawab Darel.
“Ngopi?”
“Suka sih tapi enggak sering,” ujar Darel seraya tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat kian jelas.
“Ayo beli kopi,” ajak Keilana. Sandrina yang mendengar itu pun ikut berdiri.
“Aku ikut,” ucapnya padahal tidak diajak.
“Ayo,” jawab Keilana. Melihat Sandrina yang berpakaian seksi itu membuatnya menghela napas panjang. Padahal di kantor ini Mitha dan sekretaris Pak Prayoga sudah berpakaian paling pendek menurutnya, namun ternyata ada yang jauh lebih pendek lagi.
Keilana tak bisa melarang wanita itu, apa haknya melarang pakaian seseorang? Di kantor ini pun tak ada peraturan tertulis mengenai cara berpakaian, semua pakaian boleh dipakai kecuali non jeans. Alasan Keilana memakai dasi karena dia sering bertemu dengan para atasan lainnya. Juga terkadang dia menemani investor yang datang hendak berinvestasi. Kepiawaiannya berbicara, jelas menjadi poin plus baginya.
Sepanjang jalan, beberapa karyawan counter menyapa Keilana yang berbicara dengan Darel sementara Sandrina berjalan di belakang sambil memainkan ponselnya. Apakah benar dia anak salah satu pemegang saham?
Keilana sering bertemu para anak konglomerat, namun pakaiannya tak seperti Sandrina. Mereka jauh lebih sopan dalam berpakaian, terkecuali mungkin saat ke club.
“Ya Sayang? Iya aku sudah mulai bekerja,” ucap Sandrina terdengar di telinga Keilana hingga pria itu menoleh ke belakang dan melihat Sandrina yang menerima telepon.
Keilana dan Darel berjalan santai menuju coffee shop, baru lah Sandrina memutuskan panggilan itu setelah tiba di tempat membeli kopi itu.
“Kamu mau minum kopi apa?” tanya Keilana pada Darel yang tampak memperhatikan menu dengan seksama, sepertinya dia tak terlalu gemar membeli kopi.
“Yang kopi s**u saja,” ujar Darel pada akhirnya lalu Keilana menoleh pada Sandrina.
“Kamu?” tanya Keilana.
“Americano,” jawab Sandrina sambil tersenyum, “pakai gula?” tanya Keilana lagi.
“Ya gulanya normal,” jawab Sandrina. Keilana menyebutkan pesanan untuk mereka bertiga, lalu dia teringat Marsha dan membelikan satu kopi americano tanpa gula, juga kopi yang sama dengan kopi pesanannya untuk Mitha. Tak mungkin dia hanya membelikan Marsha saja kan? Padahal mereka berdua tak ikut memesan.
Setelah kopinya siap, mereka bertiga kembali naik ke ruang kerja, Marsha dan Mitha sudah duduk di mejanya masing-masing. Keilana memberikan satu kopi pada Mitha yang berterima kasih dengan wajah sumringah bahagia itu, sementara Marsha hanya mengucap terima kasih secara singkat. Keilana sudah hapal dengan tabiatnya.
Darel duduk di samping Marsha, “mas Keilana itu tahu semua kesukaan karyawan ya?” tanya Darel yang takjub karena Keilana membelikan pesanan untuk Marsha seperti yang mungkin diinginkan wanita itu.
“Ya dia pemerhati,” ucap Marsha singkat, terus mengetik di laptopnya.
“Enggak pahit mbak minum kopi tanpa gula?” tanya Darel.
“Sudah biasa, lebih pahit kehidupan kayaknya,” celetuk Marsha membuat Darel tertawa.
“Mbak Marsha bisa aja,” kekehnya.
“Kamu bawa bekal?” tanya Marsha. Darel menggeleng.
“Nanti makan sama mas Keilana saja ya, saya bawa bekal soalnya. Biasanya dia makan sama Mitha juga,” ujar Marsha.
“Baik, Mbak,” ucap Darel. Sementara itu Sandrina meneguk kopinya dan menyilang kaki, menatap Mitha yang sedang menjelaskan tentang pekerjaan mereka nantinya.
“Mbak,” panggil Sandrina ketika Mitha selesai menjelaskan pekerjaannya.
“Ya?”
“Mas Keilana itu sudah menikah?” tanya Sandrina membuat kening Mitha berkernyit, wah sepertinya dia akan mendapat saingan baru nih.
“Belum. Kenapa?”
“Dia ganteng ya, aku basah kalau dekat dia,” kekeh Sandrina membuat Mitha membelalakkan matanya.
“Hei!”
“Hehe maaf mbak, sesama perempuan enggak apa-apa lah bahas kayak ini, memangnya mbak enggak nafsu lihat dia? Badannya bagus banget, bibirnya juga ciumable,” ucap Sandrina. Mitha ikut memperhatikan Keilana, sudah lama dia mengaguminya, namun dia tak pernah berani membayangkan bermesraan dengannya seperti Sandrina yang gamblang.
“Dia bukan tipe seperti itu, sebaiknya jangan macam-macam. Biasanya orang yang terlihat ramah dan mudah didekati justru kalau marah seram lho,” tukas Mitha setengah mengancam.
“Duh seru pasti,” ucap Mitha. “Lagian kamu belum menikah kan? Memangnya kamu pernah kayak gituan?” tanyanya penasaran.
“Belum menikah bukan berarti belum pernah, Kan? aku minimal seminggu tiga kali. Kalau enggak, bisa pusing kepalaku,” keluh Sandrina.
“Astaga anak jaman sekarang,” decak Mitha.
“Memangnya mbak belum pernah?” pertanyaan Sandrina dijawab gelengan kepala oleh Mitha, “kalau hanya grepe-grepe sih pernah, tapi aku enggak mau lebih lah, rugi aja belum menikah sudah dikasih hubungan suami istri,” ujar Mitha.
“Ih Mbak ketinggalan jaman, lagian enggak rugi Mbak, enak kok,” kekeh Sandrina. Mitha hanya menggeleng, dia bukan tipe perempuan seperti itu. Terserahlah orang mau bilang ketinggalan jaman. Memang dia suka memakai pakaian pendek, tapi dia tak pernah terlibat free seks.
“Kamu kalau melakukan itu di mana memangnya?”
“Rumah,” jawab Sandrina santai.
“Rumah? Orang tua kamu enggak marah?” tanya Mitha. Sandrina memudarkan senyumnya dan menunduk. Lalu dia tersenyum lebar.
“Mbak mau aku kenalkan ke cowok, punyanya pulen,” ujar Sandrina membuat Mitha bergidik ngeri.
“Bahas yang lain saja,” ucap Mitha.
Sebelum jam makan siang berlangsung, Marsha justru mendapat telepon dari Prayoga yang memintanya mengerjakan pekerjaan urgent membuat wanita itu menghela napas kasar. Jika menyangkut pekerjaan saja, dia adalah orang yang paling dicari!
Marsha mengambil bando karena rambutnya berantakan, Keilana menatap Marsha dengan pandangan tertarik. Apakah wanita itu sedang menginginkannya? Haruskah dia mengajaknya ke mobil?
Hingga ketika jam makan siang semua karyawan sudah pergi, Keilana masuk kembali dan menarik kursi di samping Marsha membuat wanita itu menoleh.
“Kenapa?” tanya Marsha.
“Kita lakukan di mobil saja,” ajak Keilana melirik bando di kepala Marsha.
“Astaga, aku yang beri kode aku yang lupa. Ini bukan kode untuk itu, aku hanya sedang gerah,” ujar Marsha membuat Keilana mencibirkan bibirnya.
“Aku kira kamu pengen, aku sudah senang saja.”
“Enggak kok, kamu makan sana temani yang lain.”
“Kamu bawa bekal?” tanya Keilana, Marsha mengeluarkan bekalnya. Tomat cherry yang memenuhi kotak makan siangnya.
“Hanya itu?”
“Ya, ini juga kenyang.”
“Nanti aku belikan bando warna lain ya, agar lebih gampang,” tukas Keilana, Marsha hanya mengangguk.
“Yakin enggak mau?” tanya Keilana lagi sambil berdiri. Marsha menggeleng. Keilana pun mengusap punggung Marsha lembut dan meninggalkan wanita itu setelah berpamitan.
Marsha menoleh sampai punggung Keilana menjauh, “apa-apaan itu main pegang-pegang aja,” seloroh Marsha sambil mendengus. Kalau dia tiba-tiba berhasrat sekarang bagaimana? Seenaknya disentuh!
***