9. Tidak Segila Itu

1357 Kata
Pada keesokan pagi, ketika Marsha tiba di ruang kerja, dia mendapati sebuah bando berwarna merah ada di mejanya. Dia menoleh ke arah meja Keilana. Meja itu masih rapih, belum ada tanda-tanda pria itu sudah datang. Kapan dia meletakannya? Apa semalam? “Wah bando baru,” ujar Mitha yang baru tiba, di belakangnya menyusul Keilana yang sepertinya baru saja datang, dia tampak sangat rapih dan harum. “Selamat pagi,” sapanya pada Mitha dan Marsha. “Pagi mas, wah cerah banget pakai kemeja merah,” ujar Mitha. Keilana menatap bando yang dipegang Marsha. “Sama warnanya kayak bando Marsha,” ujar Keilana sambil tersenyum. “Hmmm kayaknya aku harus pakai aksesoris merah nih biar tim kita kompak,” ujar Mitha, Keilana hanya menggeleng geli. Marsha meletakkan bando itu di atas kubikel meja kerjanya. Lalu dia melihat ada notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Chat dari Keilana yang mengatakan, “bando merah jika sedang ingin.” Marsha melirik ke arah Keilana yang menatap dari meja kerjanya, dia tersenyum lebar membuat Marsha menggelembungkan pipinya. Lalu membalas dengan satu huruf. Ya satu huruf saja yaitu huruf Y. Tak berapa lama Darel datang dengan riang dan menyapa semua karyawan yang sudah tiba. “Pagi Mbak Marsha,” ucap Darel menarik kursi di samping Marsha, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Mbak mau Sandwich? Saya enggak sempat sarapan tadi, ini buat dua sekaligus,” tawar Darel. Marsha menggelengkan kepalanya. “Kamu makan saja, saya enggak terbiasa sarapan,” ucap Marsha. “Ups, maaf,” ujar Darel tak enak hati, ditarik lagi kotak tempat makannya yang tak disentuh sama sekali oleh Marsha. “Enggak apa-apa,” jawab Marsha pelan yang kemudian menyiapkan pekerjaan untuk hari ini karena jam sepuluh ada meeting rutin mingguan seperti biasanya. *** Sementara itu di kediaman Ivander, pria bertubuh tinggi dan berpakaian rapih dengan setelan kemeja kerja itu menarik kursi dan duduk di ruang makan, putrinya yang balita tengah disuapi makan oleh pengasuhnya. Sementara Selly, sang ibu menatapnya dengan pandangan menelisik, keningnya berkernyit. “Sampai kapan Viola di luar negeri?” tanya Selly menyebut nama menantunya. “Minggu depan juga sudah kembali, kenapa? Mama enggak suka aku menginap lebih lama?” tanya Ivander dengan nada sedikit sinis. “Cih, kalian kan jarang berkunjung tentu mama suka, terutama pada Dhea cucu mama,” ucap sang ibu melihat ke arah cucunya. Seorang pria paruh baya pun tiba, ayah Ivander. Kumis tebalnya tampak rapih karena selalu dirawatnya. Katanya kumis itu adalah kebanggaannya. “Bi, kopi,” ujar Feri, sang ayah yang merupakan seorang pengusaha. Meminta kopi paginya dibuatkan oleh asisten rumah tangga yang ada di sana. “Belum lama mama ke mall sama Dhea, dan kamu tahu siapa yang mama lihat?” tanya Selly membuat Ivander menggeleng dengan tak menaruh minat pada pembicaraan sang ibu. “Wanita itu! Marsha. Dia ternyata bekerja sebagai SPG, memang sih dia pantas melakukan pekerjaan itu,” ujarnya terkekeh. Ucapan sang ibu membuat Ivander menghentikan kunyahannya. Tenggorokannya terasa tercekat, ayahnya tak terlihat ingin membahasnya, dia lebih suka membaca koran harian, sang asisten rumah tangga mengantarkan kopi untuknya hingga aromanya menyeruak. “Mall apa?” tanya Ivander. “Kamu jangan macam-macam lho Van. Ingat, karena keluarga istrimu, maka usaha papamu bisa diselamatkan sehingga kita enggak jadi miskin,” kecam ibunya. “Aku hanya tanya Ma, agar aku bisa menghindari mall itu nantinya,” tukas Ivander. “Olimpus di ibu kota,” ucap ibunya. Ivander hanya mengangguk pelan lalu perlahan melanjutkan makannya meski pikirannya kini berkecamuk. Sepuluh tahun lalu! Dia merasa sangat ketakutan ketika Marsha mengatakan bahwa dia tengah mengandung anak mereka. Dia belum siap untuk menjadi seorang ayah namun dia sangat mencintai Marsha. Dia mengadukan hal ini pada orang tuanya, berharap mendapat dukungan dan dinikahkan dengan Marsha. Dia pikir jika memang Marsha sudah mengandung anaknya maka orang tuanya akan luluh dan menerimanya, namun dia salah. Orang tuanya begitu marah padanya, padahal dia di usia yang boleh menikah, bukan di bawah umur. Mereka sangat marah dan terus mengancam Ivander, ancamannya bukan pada Ivander melainkan pada pasangannya, mereka mengancam akan menyakiti Marsha jika Ivander tetap ingin bersamanya. Ivander yang begitu menyayangi Marsha tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih dia masih terlalu muda untuk berpikir jernih. dia juga merasa tidak mampu jika berdiri di atas kakinya sendiri, selama ini hidup selalu disetir orang tuanya membuatnya menjadi seorang yang pengecut, dia pun melarikan diri ke luar negeri. Hingga dia mendapat kabar Marsha kecelakaan dan kehilangan janinnya. Ya dia mendapat kabar itu dari suami Adeva, yang merupakan temannya juga. Seharusnya Ivander tenang karena tak perlu bertanggung jawab pada bayi dalam kandungan Marsha, namun dia salah. Dia dihantui rasa bersalah. Dia membulatkan tekad bahwa setelah kuliah dia akan bekerja dan meminta Marsha kembali padanya. Akan tetapi, sungguh semua di luar kuasanya. Usaha ayahnya nyaris bankrut beberapa bulan setelah dia lulus, hingga perusahaan itu ditolong oleh ayah Viola dan sayangnya ayah Viola melakukan itu karena ingin menjodohkan Ivander dan putrinya yang memang sudah menyukai Ivander sejak lama. Ivander tak bisa menolak perjodohan itu karena tidak mau melihat keluarganya hancur, terlebih menjadi jatuh miskin. Dia tak sanggup. Hilang sudah tekadnya untuk mengajak Marsha kembali, dia berusaha mengubur rapat keinginan itu, meski terkadang dia masih sangat merindukan Marsha dan menganggap Viola adalah Marsha. “Kamu berangkat siang? Kenapa melamun?” ujar ayahnya yang sudah bangkit sambil meletakkan koran di atas meja. “Enggak, ini mau berangkat,” ucap Ivander, dia saat ini bahkan bekerja di perusahaan keluarga Viola yang merupakan anak tunggal juga. Berpamitan pada putrinya lalu dia melajukan mobilnya, hari ini tidak ada meeting pagi, apakah boleh jika dia singgah ke Olimpus Mall? Dia hanya ingin melihat keadaan Marsha. Tidak lebih. Berputar-putar di mall besar tersebut tak membuat Ivander kelelahan, dia mencari Marsha di semua outlet, namun tak mendapati sosok wanita itu. Apakah Marsha sudah menikah? Atau sudah memiliki kekasih? Dia tak mendapat kabar apa-apa lagi tentang Marsha. Dia tak mau mencari tahu ke teman kampus karena tak mau ada gosip murahan menerpanya terlebih dia sudah menikah. Dia juga tak mungkin bertanya pada suami Adeva, karena pria itu sudah memusuhinya dan mengatainya pengecut karena lari dari tanggung jawab, tidak sepertinya yang memutuskan untuk menikahi Adeva. Orang yang dicari oleh Ivander rupanya sudah masuk ruang meeting, dia menatap buku agendanya lalu mengalihkan perhatian ke arah Prayoga yang sudah berbicara di depan. Dia berbicara terlalu banyak, hal-hal klise yang sering dibahasnya. Marsha berusaha mengerti, mungkin karena ada dua karyawan baru sehingga Prayoga kembali membahas hal dasar tentang mall ini. “Ya sekian dari saya, mungkin ada bagian lain yang ingin menambahkan?” tanya Prayoga. Marsha mengangkat tangannya. “Ada yang lain?” tanya Prayoga seolah mengabaikan Marsha. “Saya, Pak!” ujar Marsha lantang, Prayoga mau tak mau menoleh ke arahnya. “Ya, Marsha?” ujarnya. “Pak, omset counter saya meningkat bahkan lebih dari sepuluh persen. Apa bapak akan menunaikan janji bapak?” tanya Marsha. “Saya sudah mengajukannya pada HRD dan direktur terkait, masalah bonus nanti akan dipertimbangkan,” ucap Prayoga. Marsha tersenyum miring seolah sudah paham dengan tabiat sang atasan. Keilana menatap wajah Marsha yang tampak menyeramkan, “Pak,” panggil Keilana. “Ya Keilana, silakan?” ujar Prayoga yang tampak berbeda ketika berbicara dengan Keilana, wajahnya lebih cerah, tidak asam seperti yang dia tampilkan ketika berbicara dengan Marsha. “Untuk masalah bonus, sepertinya itu adalah hak Marsha, dan saya pikir jika Marsha mendapat bonus atas kinerjanya, maka akan memotivasi para karyawan baru untuk mencontoh kegigihannya meningkatkan omset,” ujar Keilana dengan penuh keyakinan. “Begitu menurut kamu?” tanya Prayoga. Keilana menoleh ke arah Darel dan Sandrina seraya tersenyum manis, “ya kan?” tanyanya. Kedua orang itu mengiyakan dan mengangguk setuju. “Baik, jika menurut kalian seperti itu, saya akan push pihak terkait untuk menyetujui pengajuan bonus bagi Marsha. Selamat Marsha atas pencapaiannya, kita beri tepuk tangan,” ucap Prayoga sambil tertawa, semua karyawan yang hadir di meeting itu pun bertepuk tangan. Marsha hanya menggelengkan kepala dengan wajah malas. Sulit sekali berkompromi dengan Prayoga yang memang mendiskriminasi dirinya. Keilana mengendurkan dasinya sambil menatap Marsha. Marsha memberi tatapan tajam menusuk seolah ingin menyerang Keilana dengan sumpah serapahnya hingga Keilana langsung mengencangkan simpul dasinya. Mau macam-macam di kantor? Marsha tidak segila itu! Setidaknya tidak untuk sekarang! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN