10. Bonus

1714 Kata
Keilana menatap Marsha beberapa saat, tampak mempertimbangkan sesuatu hingga dia akhirnya berdiri dari meja kerjanya dan menghampiri Marsha. Wanita itu menoleh, merasa ada seorang yang berdiri di belakangnya. Lalu wajah Keilana menghiasi pandangannya. “Marsha bisa ikut saya sebentar ke ruang meeting? Bawa laptop kamu,” ujar Keilana tegas. Marsha menutup laptopnya. “Baik,” ujar Marsha. Di ruangan itu juga terdapat ruang meeting berukuran kecil, hanya bisa digunakan untuk lima sampai enam orang dengan meja berbentuk lingkaran. Keilana masuk ke dalam ruang rapat dan menekan remote untuk mengganti tampilan kaca menjadi buram agar tak terlihat dari luar. Marsha kembali membuka laptopnya di dalam ruangan rapat tersebut dan Keilana menarik kursi untuk duduk di sampingnya. Marsha terlihat acuh dan menunggu pembicaraan dari Keilana. “Sudah dua minggu setelah hari itu, kenapa kamu enggak pernah sekali pun mengajakku melakukannya lagi? Apa kamu enggak mau melakukannya?” tanya Keilana. Marsha menghela napas panjang dan menggeleng, “apa kamu sedang menyalahgunakan kekuasaan?” tanya Marsha. Keilana sepertinya sudah kehilangan cara untuk berbicara dengannya, dia menghindari pembicaraan sensitif seperti itu melalui chat karena tulisan mungkin bisa dibaca orang lain atau menjadi bukti yang suatu saat bisa merugikannya. “Baiklah,” jawab Keilana mengalah, “kemarin pak Prayoga mengajakku berbicara, dia berkata kalau aku harus lebih memperhatikan Darel dan mengajarinya banyak hal, kurasa dia ingin membuat Darel menggantikan posisimu.” “Kurang ajar memang laki-laki tua itu,” seloroh Marsha geram membuat Keilana terkekeh. “Apakah lucu?” tanya Marsha. “Hmmm, sedikit. Sebenarnya kamu ada masalah apa sih sama beliau?” tanya Keilana. “Enggak ada, dia hanya enggak suka aja sama kepemimpinan perempuan, mungkin di rumahnya istrinya yang memimpin!” cebik Marsha dengan bibir yang dimajukan membuat Keilana sangat gemas, ruangan ini kedap suara, bahkan tak terlihat dari luar, apakah dia bisa menciumnya saat ini? “Satu lagi,” ujar Keilana. “Apa lagi?” tanya Marsha sinis. “Sandrina ... katanya dia itu anak dari salah satu pemegang saham.” “Aku enggak yakin,” tutur Marsha, melihat penampilan Sandrina yang menurutnya justru terkesan norak, membuatnya tidak percaya bahwa wanita itu adalah anak pemegang saham yang pasti berasal dari kalangan konglomerat. “Entah, hanya pak Prayoga dan pemilik saham itu yang tahu,” ucap Keilana, dia memperhatikan jam tangannya seperti menghitung mundur. Lalu dia kembali menoleh pada Marsha. “Coba cek rekening kamu, hari ini harusnya bonus keluar. Jika enggak sesuai aku bisa mengajukan banding ke pak Prayoga atau tim keuangan.” Marsha mengambil ponsel yang tergeletak di meja, Keilana memperhatikan wallpaper ponsel Marsha, tidak ada yang menarik, dia hanya memakai wallpaper warna hitam polos. Keilana merasa tak perlu melihat rekening seseorang karena itu privasi dari orang tersebut, dia memilih mengecek bonusnya sendiri, namun sudut matanya menangkap senyum tipis di wajah Marsha, mengapa dia tak ekspresif seperti orang lain? Pertama kali Marsha terlihat ekspresif yaitu pada saat dia berhasil mengaduk gairahnya dan membuatnya terbang tinggi, Marsha tak menutupi wajahnya lagi dan tampak sangat puas. Meski dia juga melihat sedikit binar kecewa karena mereka tak melakukan penyatuan tubuh mereka setelah lumatan panas itu. “Bagaimana?” tanya Keilana, dia kembali menutup kunci layar ponselnya. “Yah bagus kok angka yang masuk, mungkin dia takut kamu protes lagi,” tukas Marsha. “Syukurlah, oiya rekap bulanan bagaimana?” tanya Keilana. Marsha menunjukkan hasil pekerjaannya di laptop. Keilana semakin mendekatkan tubuh, menarik kursi hingga posisi duduknya hampir menempel dengan Marsha. Dia bisa menghirup aroma harum dari parfum yang dipakai wanita itu, begitu elegant dan menenangkan. Ketika Marsha menjelaskan tentang pekerjaannya, Keilana menatapnya sangat lekat, dia begitu tertarik dengan wajah itu, wajah yang cantik tanpa make up berlebihan. Dia tampak begitu serius berbicara, Keilana hampir tak menyimak pembicaraannya karena dia lebih fokus pada wajah yang membuatnya begitu kagum. “Kamu nyimak enggak sih?” tanya Marsha. Keilana bahkan menopang dagu dengan tangannya dan menggeleng. Marsha mencebikkan bibirnya, Keilana memegang pipi Marsha dan mengusapnya lembut, seperti terhipnotis Marsha tak menjauh, justru terpaku ketika Keilana memajukan wajahnya dan mengecup bibir manis Marsha. Marsha memejamkan mata, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang sedikit berhasrat. Marsha secara alami mengusap paha Keilana dan sedikit meremasnya, dia menghisap bibir itu dan Keilana semakin memperdalam ciuman mereka, mengusap tengkuk Marsha dengan sangat lembut dan sedikit lenguhan lolos dari bibirnya. Marsha pun tersadar mereka berada di mana? Mengapa dia bisa hanyut? Apakah karena dia yang hampir mendapat tamu bulanannya sehingga libidonya sedang naik saat ini? Marsha memutuskan melepas lumatannya sebelum menginginkan lebih. Keilana masih menatap wajahnya. “Ayo keluar, bahaya jika berduaan seperti ini,” tukas Marsha menutup laptopnya. “Apa malam ini aku boleh ke apartmen kamu?” tanya Keilana. Marsha mengangkat bahunya acuh. Dia keluar lebih dulu dari ruang meeting. Keilana kembali mengganti tampilan kaca di ruangan tersebut hingga menjadi transparan. Ketika Marsha keluar dari ruang meeting, semua teman kerjanya tampak bahagia, senyum mereka begitu lebar dan saling bersenda gurau, Marsha bisa melihat raut wajah mereka yang kesenangan. Mitha menoleh ke arah Marsha yang melewatinya. “Mbak, sudah cek saldo rekening? Nambah mbak,” kekeh Mitha. Sandrina yang berada di sampingnya hanya melihat ke arah Marsha dengan pandangan datar. “Sudah,” jawab Marsha acuh lalu melewati meja Mitha yang tersenyum lebar meski senyumnya tak berbalas. “Dia memang selalu judes ya?” tanya Sandrina pada Mitha, padahal Mitha tahu Marsha mungkin dapat mendengar ucapannya. “Tapi dia baik kok aslinya,” ucap Mitha tak mau hari baiknya menjadi buruk karena pendapat orang lain terhadap Marsha. “Makan siang hari ini aku traktir, mau?” ujar Mitha. “Enggak bisa Mbak, aku mau keluar,” ucap Sandrina. “Oke deh kalau gitu, next time ya,” tutur Mitha. Sandrina hanya mengangguk pelan. Marsha yang duduk di meja kerjanya itu menoleh pada Darel yang fokus dengan pekerjaannya. Pria itu memang cukup cekatan dan dia mendapat informasi dari para staff di bawah bawa Darel begitu perhatian dan sangat membantu mereka dalam pekerjaan. Membuat Marsha berpikir, mungkin yang dikatakan Keilana adalah benar, bahwa Prayoga menginginkan Darel menggantikan posisinya. Lalu membuatnya tidak betah agar bisa segera mengangkat Darel. Jika memang Prayoga menginginkan perang, maka Marsha akan melawannya. Namun, dia harus berpikir perang memakai cara yang elegant. Dia harus mawas diri, dia harus lebih waspada terhadap pekerjaannya ini. Marsha memakai bando berwarna merah, ketika Keilana melewatinya. Pria itu tersenyum lebar dan tampak senang, sepertinya Marsha memberinya kesempatan lagi. *** Sandrina dijemput oleh seorang sopir tepat di depan lobby mall, mobil yang harganya dibandrol diatas dua milyar itu memang begitu mencolok. Para petugas keamanan pun mengaguminya. Dan dengan angkuh wanita itu masuk ke dalam mobil dan membiarkan mobil itu melaju. Dia menuju apartmennya, membuka kunci pintunya. Tampak seorang pria paruh baya melakukan panggilan telepon dan mengangkat satu tangannya meminta Sandrina tak bersuara. “Iya anak papa, berapa yang kamu butuhkan? Oke papa transfer sekarang ya, selesaikan kuliah kamu dengan baik,” tukas pria tua yang sudah melepaskan jasnya itu. Wajahnya tampak berkharisma, meski usianya tak muda lagi namun rambutnya masih tampak hitam, dia pasti menyemirnya agar rambut itu tak terlihat sudah beruban. Sandrina duduk di samping pria itu dan mengusap dadanya lembut sambil menatap pria yang kini membuka aplikasi perbankan di ponselnya. Jemari nakal Sandrina turun terus ke bawah dan membuka resleting celana pria itu, dengan lembut dia mengeluarkan benda yang masih tampak lemah itu, dia menurunkan wajahnya dan mencumbu benda itu hingga ukurannya berubah. Pria itu mengusap rambut Sandrina dan mendesah karena lumatan Sandrina. “Pindah kamar,” ajaknya. Sandrina melepas kulumannya dan menarik tangan pria berkharisma itu untuk ke kamarnya. Dia bahkan sudah melucuti pakaiannya dan pakaian sang pria dengan wajah penuh hasrat ketika pria itu membalik tubuhnya, dia memutar bola matanya malas, lalu wajahnya dengan cepat berubah menjadi b*******h lagi saat ditatap oleh pria yang kini berbaring di ranjang itu. Sandrina duduk di atasnya, menyatukan tubuh mereka dan bergerak dengan liar. Desahan lolos dari bibirnya. Pria yang berbaring itu terus melenguh karena pergulatan panas mereka. Sandrina membiarkan milik pria itu menyemburkan cairan hangat di leher rahimnya. Dia sebenarnya belum mencapai puncaknya, namun memang pria tua itu sudah selesai, membuatnya harus berpura-pura puas. “Mas,” panggil Sandrina manja. “Iya, Sayang,” jawab pria yang menjadikannya simpanan itu, ya salah satu pemegang saham di Olimpus. Pria bernama Eduardo itu menatap Sandrina lekat. Cukup lama dia menyimpannya, sejak wanita itu lulus SMA, membiayai semua kebutuhannya. Dia bahkan yang pertama menggagahi wanita itu. “Hari ini semua teman kerja dapat bonus, tapi karena aku belum sebulan jadi aku belum dapat,” ucap Sandrina. “Ya keputusan perusahaan seperti itu, Sayang,” jawab Eduardo. Tubuhnya memang tak gendut seperti Prayoga, bahkan Sandrina cukup bangga jika jalan bersama pria itu karena wajahnya masih tampak berkharisma dan sosoknya yang berwibawa. “Aku enggak dapat bonus juga?” tanya Sandrina manja. “Dapat dong, Sayang. Ayo turun dulu,” ucap Eduardo memegang tangan Sandrina. Wanita itu turun dari pangkuannya dan membiarkan lelehan cairan itu keluar dari miliknya, dia berbaring di samping pria itu dan mendekapnya erat. Eduardo mengambil ponselnya dan mengirim sejumlah uang pada Sandrina. “Sudah masuk,” ucap Eduardo menunjukkan nominal uang yang dikirim, Sandrina tersenyum lebar dan mengecup pipinya seraya berterima kasih, bonus yang dia dapat mungkin jauh lebih besar dibanding para karyawan lainnya. “Kantor aman kan? Kalau ada yang macam-macam denganmu, kamu bisa lapor, biar saya bisa meminta atasan kamu memecatnya,” ujar Eduardo. “Ada yang judes sih, tapi nanti saja deh lagi pula aku masih karyawan baru.” “Siapa namanya?” “Marsha, tapi jangan ambil keputusan dulu dia masih dalam tahap wajar,” ucap Sandrina. “Oke noted, Marsha ya. Saya akan minta Prayoga lebih memperhatikan kamu dan menjauhi dari wanita itu,” ungkap Eduardo, dia melihat jam di ponselnya. Sepertinya dia harus segera pergi untuk urusannya. Dia pun menuju toilet dan meninggalkan Sandrina sendirian. Wanita itu membuka laci di nakasnya, mengambil mainan kesayangannya, mainan yang bentuknya mirip seperti milik lelaki itu dilesakkan di liang gairahnya setelah dia menekan tombol on yang membuat benda itu bisa bergetar. Dia menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang ikut bergetar karena sensasi dari mainan itu. Eduardo sudah memakai pakaian rapih dan menghampiri Sandrina yang mengubah ekspresinya. Dia berpamitan dan meninggalkan wanita itu, yang sepeninggal Eduardo langsung membuka selimutnya. Dia melenguh dan memejamkan mata, “sialan mas Kei, enak sekali punya kamu!” ujarnya membayangkan milik Keilana yang menyatu dengannya! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN