Matahari senja mulai terlihat, malam pun akan mulai menjelang.
Aroma asin dan kebebasan, berpadu dengan semilir angin yang membuat pepohonan palem melambai.
Suara deburan ombak seperti nyanyian yang sempurna untuk malam ini, malam api unggun.
Di dalam kamar resortnya, Zelaza menatap pantulan dirinya di cermin besar yang menempel di lemari.
Sebuah senyum kecil mengembang di bibirnya. Dia memilih jumpsuit kulot pendek berwarna khaki tua.
Bahannya yang flowy dan nyaman membuatnya terlihat casual santai, namun potongan yang tepat di tubuhnya menciptakan kesan elegan yang sebenarnya tak disengaja.
Bagian yang paling mencolok, dan dia menyadarinya, adalah bagaimana jumpsuit itu memperlihatkan kaki-kaki jenjangnya yang halus dan terawat baik, warisan genetik yang selalu dipuji banyak orang.
Dia mengikat rambutnya dan membentuk sanggul kecil yang agak berantakan, membiarkan beberapa helai poni melayang di keningnya.
Dia juga memakai aksesoris sederhana berupa anting mutiara kecil dan sebuah gelang kulit tipis yang melengkapi penampilannya.
Zelaza tidak ingin terlihat berusaha terlalu keras untuk menarik perhatian, tetapi juga tidak ingin terlihat acak-acakan di depan Donzello.
Dan penampilannya itu sangat cocok untuk malam santai acara api unggun di pantai, duduk di atas tikar, menikmati musik akustik, dan Donzello tentunya.
Nama itu saja sudah cukup untuk membuat jantungnya berdegup sedikit lebih kencang.
Donzello dengan senyumnya yang tipis dan misterius, caranya berbicara yang tenang, dan matanya yang memandangnya begitu dalam.
Kemudian, Zelaza menyemprotkan parfum dengan wangi vanilla di lekuk leher dan pergelangan tangannya, lalu mengambil tas anyaman kecilnya.
Satu pandangan terakhir ke cermin.
“Ya, ini sempurna,” gumamnya sambil tersenyum.
Hatinya begitu ringan seakan mau pergi kencan pertama seperti waktu remaja dulu.
*
*
Zelaza membuka pintu kamar resortnya, siap menyambut udara malam yang segar dan langkah-langkah menuju pantai.
Senyumnya masih mengembang, ekspresi kegembiraan berkilau di matanya.
Tapi semua itu membeku, menguap, dan hancur berantakan secara tiba-tiba.
Karena di sana, di depannya, persis di depan pintunya, ada sebuah siluet yang begitu familiar di matanya, hantu dari masa lalunya yang paling menyakitkan.
Alehandro.
Pria itu berdiri di sana, dengan celana putih dan kemeia biru yang sedikit terbuka di lehernya.
Tampak santai, seolah dia adalah tamu yang diundang. Matanya, menatap penuh permohonan padanya, membekukan darahnya yang tadinya mengalir hangat.
Zelaza terpaku di tempatnya. Kakinya seperti tertanam. Dunia di sekitarnya seakan diam, senyap, hanya menyisakan dirinya dan pria di depannya.
"Sayang," ucap Alehandro, suaranya masih sama, serak dan seperti selalu mengandung janji manis seperti dulu. "Kau tidak bisa bayangkan betapa sulitnya mencarimu. Ini karena cintaku yang besar padamu. Lihatlah perjuanganku untuk menyusulmu kemari."
Zelaza akhirnya menarik napas, napas pertama yang terasa seperti pecahan kaca di paru-parunya. "Apa …" suaranya serak. “Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku ingin memberimu kejutan. Aku ingin kau tahh betapa aku mencintaimu," katanya, dengan senyum kecil yang dulu bisa melelehkannya, tetapi sekarang sama sekali tak berarti baginya.
Dia melangkah mendekat, dan Zelaza secara refleks mundur selangkah, punggungnya hampir menyentuh pintu yang terbuka.
"Jangan mendekat," desisnya, suaranya terdengar tegas kali ini, dipenuhi kemarahan dan ketakutan. "Jawab pertanyaanku. Bagaimana kau tahu aku di sini? Bagaimana kau bisa menemukanku?"
Alehandro mengangkat tangannya, sebuah gesture yang dulu berarti menyuruhnya tenang, tapi sekarang terlihat palsu.
"Aku selalu bisa menemukanmu, Sayang. Kau tahu itu. Dan aku tahu aku harus datang karena aku ingin memperbaiki hubungan kita."
Rasa mual menyerang Zelaza. “Aku tidak ingin kau di sini. Pergi!! Dan kita tak akan pernah berhubungan lagi. Aku benar-benar jijik padamu!” katanya, mencoba membuat suaranya tetap datar dan tegas, meskipun tangannya gemetar.
Wajah Alehandro berubah, senyumnya pudar berubah menjadi ekspresi sedih yang dramatis, sebuah ekspresi yang dulu selalu berhasil membuatnya luluh dan memaafkan segalanya.
"Sayanh, tolong. Kita perlu bicara. Aku datang jauh-jauh hanya untuk melihatmu. Untuk memohon padamu."
"Berhenti memanggilku seperti itu! Memohon?" Zelaza berwajah sinis, dan suaranya begitu getir dan marah. "Memohon apa, hah? Agar aku menerima pengkhianatanmu? Agar aku pura-pura lupa bagaimana kau dan wanita jalang itu melakukan hal tak senonoh hingga tersebar di dunia maya?”
"Dia bukan apa-apa!" kata Alehandro, suaranya mulai meninggi. "Itu adalah kesalahan bodoh yang pernah kubuat. Sebuah kesenangan sesaat. Dia tidak berarti apa-apa sama sekali bagiku. Kau berbeda dan dia tak bisa dibandingkan denganmu. Lihatlah dirimu …" Matanya menyapu tubuh Zelaza, dari ujung rambut hingga ujung jari kakinya yang beralaskan sandal flat. "Kau begitu cantik. Selalu. Kau adalah cinta hidupku, Zelaza. Aku menyesal. Aku benar-benar menyesal."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti lapisan madu yang sebenarnya terdapat racun di dalamnya.
Zelaza tak akan pernah bisa memaafkan perselingkuhan, dengan bukti-bukti nyata yang tidak bisa Alehandro sangkal lagi.
"Cih! Kau menyesal karena ketahuan," Zelaza membalas, wajahnya begitu dingin. "Bukan karena melakukannya. Dan sekarang, setelah aku pergi, setelah aku akhirnya mengumpulkan sisa-sisa harga diriku dan pergi, kau muncul lagi? Kau pikir dengan muncul tiba-tiba di liburanku, dengan wajah tak bersalah dan kata-kata manismu, aku akan luluh? Kau benar-benar tidak tahu malu! Kau brengseeek!"
Zelaza mencoba untuk berjalan melewatinya, menuju tangga yang menurun ke jalan setapak menuju pantai.
Donzello mungkin sudah menunggu. Dia harus pergi. Tapi Alehandro dengan cepat menangkap lengannya.
Sentuhannya membakar kulitnya, memicu memori-memori sentuhan yang sama yang dulu dia rindukan, tetapi sekarang terasa menodainya.
(JANGAN LUPA KOMEN YANG BANYAAAK YAAAK… PAKE EMOT JUGA GAPAPA)