Dekapan Donzello

940 Kata
“Lepaskan!" geram Zelaza, mencoba melepaskan diri. "Tidak. Dengarkan aku. Hanya lima menit," pinta Alehandro, cengkeramannya semakin kuat dan tak ada niat untuk melepaskan. Mata Alehandro memancarkan keputusasaan yang palsu. "Aku sudah berubah. Aku sudah memutuskan segala hubungan dengan dia. Aku bahkan sudah mendepaknya dari film-ku. Lihat apa yang telah kulakukan untukmu. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan karena dirimu. Hidupku hancur tanpamu. Kita bisa memperbaiki ini. Kita bisa memulainya dari awal. Di sini, di pulau yang indah ini. Kita bisa …" "Kau sedang melantur?" Zelaza memotong, suaranya bergetar karena emosi yang makin meninggi. "Kau tidak bisa makan dan tidur? Cih! Kau mungkin sudah mati atau masuk ICU jika hal itu terjadi. Lepaskan aku!" Zelaza menarik lengannya dengan sekuat tenaga, dan akhirnya berhasil melepaskan diri. Dia berdiri dengan napas tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. Alehandro hanya menatapnya, seakan tak percaya dengan perlawanannya. "Aku mencintaimu, Sayang.” Alehandro tak menyerah. "Tidak! Hentikan kata-kata busukmu itu!" bantah Zelaza, matanya berkaca-kaca tapi tidak ada air mata yang jatuh. Itu karena emosi yang sangat besar di dadanya. Dan Zelaza tidak akan memberinya kepuasan untuk melihatnya menangis. "Kau tidak mencintaiku. Kau mencintai dirimu sendiri. Kerena cinta tidak menyakiti. Cinta tidak menghancurkan. Dan yang kau lakukan bukanlah cinta." Zelaza memutar tubuhnya, tidak lagi ingin melihatnya. "Pergilah! Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara kita. Semuanya sudah selesai. Benar-benar selesai." Zelaza melangkah menuruni tangga kayu, kakinya masih gemetar. Dia harus segera menjauh. Sekarang juga. “Apakah ada orang lain?" tanya Alehandro tiba-tiba dari atas, suaranya sudah tidak memohon, berubah menjadi dingin dan penuh kecurigaan. "Itukah alasannya? Kau sudah ada yang lain? Aku sangat tahu bahwa kau sangat mencintaiku dan berniat menikah denganku." Zelaza berhenti sejenak. Dia membayangkan Donzello, menunggu di dekat api unggun. Dia ingin berteriak, ‘Ya, ada! Seseorang yang tidak membuatku merasa seperti bahwa aku satu-satunya yang mendapat perhatiannya!’ Tapi Zelaza tidak melakukannya. Itu bukan urusan Alehandro. Hidupnya bukan lagi urusan Alehandro. Zelaza menoleh, cukup untuk melihat bayangannya yang masih berdiri di beranda, dikelilingi oleh cahaya lampu resort yang sedikit temaram. "Alasannya adalah kau. Hanya kau. Dan pilihan-pilihan bodoh yang kau buat." Kali ini, Zelaza tidak menunggu jawabannya. Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang diterangi lampu-lampu taman, menjauh dari resort, menuju suara deburan ombak dan gemericik api unggun yang jauh. Langkahnya terasa berat, seolah bayangan Alehandro masih menahan pergelangan kakinya. Kegembiraan yang dirasakannya sepuluh menit yang lalu telah digantikan oleh kegelisahan dan amarah yang menggelegak. Kedamaian yang dia kira telah dia temukan di pulau ini ternyata masih begitu rapuh, mudah ditembus oleh seorang pengganggu dari masa lalunya. * * Zelaza akhirnya sampai di persimpangan jalan. Di sebelah kiri, jalan menuju pantai dan api unggun, di mana Donzello pasti menunggu. Di sebelah kanan, jalan memutar yang lebih panjang dan sepi, mengitari bukit kecil, menuju pantai yang lain. Dia berhenti seketika. Keinginan untuk melihat Donzello masih kuat. Tapi dia juga merasa hatinya sedang tak baik-baik saja setelah kedatangan Alehandro yang membuatnya emosi. Kegembiraannya malam ini seah tercemar oleh kehadiran Alehandro. Dia tidak bisa datang pada Donzello dengan perasaan emosi seperti ini. Hatinya masih penuh amarah. Akhirnya Zelaza mengambil jalan ke kanan, jalan yang lebih sepi. Dia butuh waktu untuk sendiri. Zelaza menarik napas dalam-dalam. Dia ingin mengunci kembali semua kenangan menyakitkan yang berhasil dikeluarkan oleh Alehandro dari kotaknya tadi. Dia perlu menenangkan diri sebelum dia bisa memaksakan senyum, apalagi menikmati sebuah kencan bersama Donzello. Zelaza berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, hanya diterangi oleh bulan purnama dan beberapa lampu taman. Suara ombak semakin keras. Pikirannya mulai berpikir yang tidak-tidak. Apakah Alehandro akan mengikutinya? Apakah pria itu akan menunggu di kamarnya? Rasa takut dan jijik menyelimutinya. Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Cepat. Mendekat. Jantungnya berdegup kencang. Apakah itu Alehandro? Apakah dia mengikutinya? Apakah dia tidak menerima penolakannya dan mulai berani bermain kasar? Zelaza mempercepat langkahnya, tanpa berani menengok. Suara langkah itu juga semakin cepat. Panik mulai dirasakannya. Dia berada di jalur yang sepi. Tidak ada seorang pun di sekitar sana. "Zee?" Suara itu bukan suara Alehandro. Hal itu membuatnya berhenti dan berbalik, jantungnya masih berdebar kencang. Dan di sana, berdiri beberapa meter darinya, dengan wajah heran, adalah Donzello. "Zelo?" ucapnya, terkejut. "Apa … apa yang kau lakukan di sini?" "Aku melihatmu dari kejauhan di api unggun," katanya, mendekat. Napasnya sedikit terengah, seolah dia berjalan cepat atau bahkan berlari karena menyusul Zelaza. "Kau terlihat … tergesa-gesa. Dan kau menuju ke arah yang salah. Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi. Apakah kau baik-baik saja?" Melihat Donzello justru membuatnya merasa tak bisa menahan lagi tangisnya. Zelaza mengeluarkan air matanya lalu menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Donzello tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak bertanya ada apa? atau kenapa menangis. Pria itu hanya menutup jarak di antara mereka dan tanpa ragu, merengkuh Zelaza dalam pelukannya. Itu bukan pelukan romantis yang penuh gairah. Itu adalah pelukan yang aman, kuat, dan menenangkan. Sebuah tempat berlindung untuk Zelaza. Dia membiarkan Zelaza menangis di bahunya, tangannya dengan lembut mengusap punggungnya lalu membelai rambutnya. "Menangislah jika itu membuatmu lebih lega," bisiknya dengan suara yang tenang, seperti membelainya. "Aku di sini. Kau tidak sendiri di pulau ini." Setelah kejutan, kemarahan, dan ketakutan, Zelaza akhirnya merasa aman. Dia mungkin selesai dengan Alehandro, sebuah bayangan buruk dari masa lalunya. Tapi kini dia menemukan Donzello, yang mungkin bisa membuatnya melupakan masa lalunya yang buruk. Dia tidak tahu bagaimana caranya menceritakan segalanya. Dia tidak tahu apakah Donzello akan mengerti. Tapi untuk saat ini, di dalam pelukan hangat Donzello, baginya itu sudah cukup. Cukup untuk membuatnya bertahan. Cukup untuk memberinya harapan bahwa malam ini akan berakhir lebih baik meskipun tadi ternodai dengan kedatangan Alehandro yang membuyarkan mood-nya. (JANGAN LUPA KOMEN YANG BANYAK YAAAK.. HARI INI AUTHOR BOOM UP HARI INI)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN